Minggu, 07 Desember 2014

, ,

Resensi Bulan Terbelah di Langit Amerika: Petualangan Mencari (Kebenaran) Berita

Petualangan Hanum dan Rangga di Amerika bermula ketika Hanum mendapatkan tugas dari kantornya untuk membuat artikel tentang kejadian 11 September 2001 dengan temawould the world be better without Islam?”  dan di saat yang sama Rangga juga ditugaskan oleh professornya untuk menghadiri Konferensi di Washington DC.

Petualangnan mereka berdua semakin seru ketika hendak menuju Washington DC mereka tersesat akibat kerumunan massa yang sedang berdemo tentang peringatan hari 9/11 di New York. Ternyata dari terpisahnya mereka berdua, mereka menemukan pelajaran berharga antara hubungan Islam dan Amerika, serta menemukan hal-hal yang sangat berharga yang dibutuhkan Hanum untuk artikelnya.

Buku Bulan Terbelah di Langit Amerika (BTdLA) karya Hanum Salsabiela Rais dan suaminya Rangga Almahendra ini kembali mengajak kita untuk melihat cahaya Islam di negeri Paman Sam ini melalui kejadian 9 September 2001. Jika pada buku 99 Cahaya di Langit Eropa (99 Cahaya), gaya penulisan hanya berorientasi pada cerita Hanum, maka kali ini mereka membuat gaya penulisan dalam buku ini lebih menarik dengan mengambil sudut pandang kedua penulis (Hanum dan Rangga) dan beberapa narasi kejadian berdasarkan tanggal.

Hanum dan Rangga begitu apik dalam menceritakan kejadian demi kejadian yang mereka alami saat terpisah di Washington DC. Narasi tentang kejadian 9/11 juga digambarkan dengan sangat baik, sehingga membawa pembaca seolah-olah sedang melihat dan merasakan langsung kejadian tersebut. Mereka juga memberikan beberapa fakta dan logika tentang kejadian tersebut melalui tokoh antar tokoh saat Hanum melakukan wawancara, seperti “kenapa bangunan yang begitu tinggi dan kuat tersebut bisa jatuh” dan “terdengar bunyi ledakan bom di lantai bawah gedung padahal pesawat jatuh dari atas”.

Keterkaitan antar tokoh dalam novel ini menambah nuansa dalam petualangan Hanum dan Rangga. Seperti Jones yang sangat membenci Islam karena Istrinya meninggal akibat kejadian tersebut dan Julia seorang mualaf yang juga ditinggal mati oleh suaminya akibat kejadian yang sama merupakan narasumber Hanum dan istri dan suami mereka yang meninggal memiliki hubungan sebagai karyawan Phillipus Brown yang merupakan pemateri Konferensi Rangga ketika di Washington DC.

Tidak hanya soal keterkaitan 9/11 yang selama ini menyudutkan islam yang dibahas Hanum dan Rangga dalam kaitan Islam dan Amerika, mereka juga menemukan fakta lainnya seperti sejarah singkat berdirinya benua Amerika, Thomas Jefferson yang bisa berbahasa Arab dan juga memperlajari Al-Qur’an, simbol-simbol Islam yang digunakan di kantor-kantor pengadilan Amerika, salah satu terjemahan ayat suci Al-Qur’an yang dipajang di pintu masuk gerbang Fakultas Hukum Harvard University, dan lainnya.

Walaupun untuk cerita-cerita awal novel ini sempat membosankan, tapi begitu mengikuti petualangan mereka di Amerika, novel ini semakin menarik. Pada intinya, novel BTdLA lagi-lagi memberikan khazanah pengetahuan yang baru tentang sejarah Islam dan memberikan bukti lainnya yang membuat kita semakin bangga dengan agama ini.
Continue reading Resensi Bulan Terbelah di Langit Amerika: Petualangan Mencari (Kebenaran) Berita

Minggu, 23 November 2014

, ,

Kompetisi Melahirkan Pertemanan

Tidak disangka selesai menulis catatan perjalanan pertama ke Makassar di blog, saya pergi lagi ke kota Anging Marimi ini. Hal yang membuat saya makin begeistert (excited) adalah saya pergi ke Makassar sebagai mahasiswa untuk kompetisi mewakili kampus bersama dua teman saya, Gustaf dan Bayu. Satu impian saya berhasil tercoret. Ini adalah pengalaman pertama saya mengikuti lomba di luar kota dan berhadapan dengan peserta lainnya karena biasanya saya hanya ikut lomba di depan laptop.

Gustaf, saya, dan Bayu
setelah pembukaan acara Inovasi Unhas 2014
Saya pun lagi-lagi tak menyangka akan singgah di kampus merah yang pernah saya lewati saat hendak menuju bandara beberapa bulan lalu selama tiga hari ke depan. Saya akan singgah di kampus terbaik di Indonesia bagian Timur.

Serasa pembicaraan beberapa bulan lalu bersama keluarga di Makassar menjadi kenyataan. Salah satunya ketika Paman meminta saya untuk datang lagi bersama teman yang asik diajak ngobrol dan hari ini saya datang lagi bersama dua orang teman saya. Harapan saya waktu itu adalah membawa teman sekamar saya di kosan tetapi saya membawa dua orang teman lelaki untuk berkompetisi.

Jalan menuju ke Makassar inipun penuh dengan cobaan. Dimulai dari meminta dana ke Pembantu Rektor (PR) III yang ternyata sudah tutup buku dan jumlah dana yang diberikan oleh fakultas yang tidak sesuai dengan permohonan karena sistem di setiap fakultas di kampus saya berbeda dalam meminta dana. Beruntung Allah memberkahi saya dengan PA, sekaligus Dosen Pembimbing LKTI, sekaligus Kajur saya yang murah hati mau memberikan dana pribadinya untuk lomba ini.

Cobaan lainnya adalah di malam kami akan berangkat ke Makassar pada Kamis malam, tepung ikan teri dan tepung lele yang Bayu buat hilang entah di mana. Padahal kami harus membuat kue yang harus dibawa saat presentasi di Makassar karena LKTI kami menghasilkan sebuah produk bernama BISLERI, yaitu biskuit yang dibuat dari campuran tepung ikan lele dan teri sebagai alternatif pangan darurat untuk anak. Akhirnya Bayu dan Gustaf pun pergi ke Kramat Jati untuk membeli Ikan Lele dan Teri yang akan dibuat lagi malam itu di rumah Bayu. Kami pun memutuskan untuk membuat kue di rumah Paman saya di Makassar.

Karena kami menggunakan pesawat Lion Air yang berangkat pukul 05.00 WIB dan harus sampai di bandara sekitar pukul 03.00, maka saya menginap di LKM dan berangkat pukul 02.30 dengan taksi bersama Bayu. Kami pun menunggu Gustaf hingga pukul 03.30 dan ketika ia tiba, tadaaaaa.. handphonenya ketinggalan di taksi. Masalahnya lagi, ia bukan naik taksi Bluebird atau Express, which is ga akan mau mengembalikan HP-nya. Setelah mencoba menelpon HP-nya berkali-kali, Gustaf pun mengikhlaskan telponnya dengan berat hati.

Jumat, 14 November 2014

Well, berangkat ke luar kota bareng teman adalah hal yang menyenangkan. Apalagi kalau perginya sama orang yang rame seperti kedua teman saya ini. Ada aja hal yang dibicarakan sepanjang perjalanan dari mulai hal-hal konyol sampai yang hal yang serius untuk didiskusikan. Mau foto-foto juga ga perlu pake malu karena malunya ditanggung bareng-bareng. Haha

Heading to Makassar
Selama perjalanan ke Makassar kami lebih banyak tidur. Tapi begitu pesawat sudah mulai tiba di langit Makassar, kami semangat banget melihat Makassar dari jendela pesawat. Saya pun dengan jelas bisa melihat jembatan kembar yang saya lewati ketika hendak ke Kampung Jeneponto beberapa bulan lalu.

Akhirnya kami pun tiba di Bandara Hasanuddin, kami di jemput Paman saya dengan mobilnya. Tidak beberapa lama setelah tiba di rumah Paman, kami pun segera membuat kue dengan bahan-bahan yang sepupu saya beli. Beruntungnya kakak sepupu saya ini hobi sekali masak dan bikin kue. Jadi kami cukup tertolong untuk membuat bahan presentasi ini.

Gustaf adalah chef pembuat biskuit ini. Saya dan Bayu cuma bantu sekedarnya saja. Saya sampai diledekin sepupu saya karena belum bisa bikin kue dan cuma bisa makan aja. Kue pun akhirnya selesai dibuat. Awalnya aroma kue ini masih ada mau ikan terinya, tapi lama-lama baunya jadi hilang. Sampai-sampai keponakan saya sebagai tester awal sempat menolak kue yang kami beli dari toko karena „trauma“ dengan bau ikan pada kue ikan yang kami berikan sebelumnya.

This is it, BISLERI ala Chef Gustaf


Setelah selesai sholat Ashar kamipun diantar ke Rusunawa Universitas Hasanuddin tempat kami akan menginap. Perjalanan yang seharusnya hanya ditempuh sekitar 30-45 menit berubah menjadi 2 jam lamanya karena macet yang panjang di Makassar. Kemacetan ini terjadi karena kami berangkat di jam orang-orang pulang bekerja dan ditambah mahasiswa Makassar yang sedang berdemo menolak kenaikan BBM.

Kami tiba di Rusunawa pukul 6 sore dan saya mendapatkan kamar dengan dua anak Unhas. Bayu dan Gustaf tidur di kamar yang sama. Saya sekamar dengan Armawati Arsyad dari Kedokteran Unhas 2012 dan Firnawati dari Argikultural 2013. Mereka adalah teman yang asik. Arma ternyata berasal dari Bone dan Firna dari Toraja. Kamipun sharing tentang kampus dan Makassar.

Malam pertama saya masih belum nyaman dengan suasana di sini. Setiap mau makan dan setelah technical meeting, saya masih saja sering main ke kamar Gustaf dan Bayu untuk mencari teman ngobrol dan juga untuk latihan presentasi. BTW, saat technical meeting banyak yang kaget ketika saya memperkenalkan diri dari jurusan Bahasa Jerman.

Sabtu, 15 November 2014

Hari ini adalah waktunya kami mempresentasikan karya tulis kami. Presentasi akan dilaksanakan di gedung rektorat Unhas. Sebelum berangkat saya dan teman sekamar saya menyempatkan waktu untuk selfie sambil menunggu seluruh peserta berkumpul di Rusunawa untuk berjalan bersama ke gedung rektorat.

Arma dan saya
Semua menggunakan Almamater kampusnya dan membawa peralatan yang dibutuhkan untuk presentasi. Kami juga kagum ketika melihat mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) membawa replika program mereka untuk presentasi.

Ruang presentasi untuk LKTI dan LKTM berada dalam satu gedung, sedangkan lomba Orasi Ilmiah berada di teras luar Gedung Rektorat. Tidak ada sekat yang membatasi LKTI dan LKTM. Dalam presentasi pun kami tidak menggunakan microphone. Alhasil, kami tidak bisa mendengar dengan jelas presentasi peserta lain. Yang menarik, untuk babak pertama peserta LKTS suaranya sangat lantang dibandingkan dengan LKTM. Tetapi lama kelamaan, makin siang suara peserta LKTS justru semakin menurun dan peseta LKTM semakin keren dalam presentasi.

Awalnya kami cukup percaya diri dengan presentasi kami, walaupun kami sempat kurang kompak saat penutupan dan hal ini malah bikin peserta lainnya tertawa melihat kami. Ditambah lagi komentar salah satu juri yang bilang tim kami bagus dan jawaban bagus dari Gustaf dan Bayu saat menjawab pertanyaan juri. Tapi melihat presentasi peserta lainnya kami jadi hilang percaya diri karena mereka semua keren banget.

Seluruh Peseta LKTM
Selesai presentasi, kami pun dikumpulkan untuk membuat satu kelompok dari tiga universitas untuk persiapan membuat penampilan di acara Sara Sehan nanti malam. Kami satu kelompok dengan Universitas Tadulako (Untad), Palu dan Unair. Mereka adalah Rukmana dan Nur dari  Kesehatan Masyarakat Untad berserta mas Luinta, mas Yanuar, dan mas Nara dari Kedokteran Hewan Unair. Mereka punya selera humor yang luar biasa bikin kelompok ini jadi rame. Kami pun berdiskusi apa yang harus kami tampilkan untuk sara sehan nanti. Setelah memikirkan ini dan itu, Rukmana yang selalu menyumbang ide, memberikan ide yang kami setujui untuk membuat parodi presentasi yang kami lakukan siang tadi.

Tapi sayangnya sampai acara sara sehan dimulai, kami masih juga bingung apa yang mau ditampilkan dan percakapan apa saja yang harus diucapkan. Sampai akhirnya kelompok kami adalah kelompok yang pertama tampil dan menghasilkan kegaringan. Kamipun jadi menertawakan kelompok kami sendiri. Ternyata kebingungan dengan apa yang mau ditampilakan saat sara sehan tidak hanya dialami oleh kelompok kami, 2 kelompok LKTM lainnya juga seperti itu. Tapi ada satu kelompok yang menjadi  Best Performace yang menampilakan Parodi yang menarik. Mereka gabungan dari Unhas, Unsoed, dan ITS. Mereka menampilkan parodi tentang Indonesian Idol.

Sara sehan malam ini cukup ampuh untuk mendekatkan kami semua. Saya jadi dekat dengan Nur dan Rukmana, kami pun sempat sharing tentang kampus dan daerah masing-masing. Begitu juga dengan Gustaf dan Bayu bersama mas-mas dari Unair.

Minggu, 16 November 2014

Hari ini adalah hari terakhir kegiatan INOVASI UNHAS 2014. Acara hari ini adalah Seminar Nasional tentang pangan dan pengumuman pemenang seluruh lomba. Tempat acaranya di Baruga atau kita biasa sebut Aula. Tempat ini bisa menampung sekitar 5000 orang dan biasa digunakan untuk wisuda.

Pembicara seminarnya adalah salah satu orang penting dari Kementerian Kedaulatan Pangan dan Pertanian dan MITI. Banyak orang-orang penting yang seharusnya hadir dalam rundown acara tapi ternyata mereka hanya tertulis di atas kertas saja (red: tidak datang) seperti Menteri Kedaulatan Pangan dan Pertanian dan Bupati Kabupaten Bantaeng. Secara garis besar seminarnya mengajak kami untuk mencintai pangan lokal dan menghindari makanan cepat saji serta mengurangi konsumsi beras.

Saat seminar masih berlangsung, saya dan Bayu iseng mengeluarkan kata-kata yang ada di bungkus permen Kis yang kemarin diberikan panitia.  Bayu pun berkata, "Ayo za, kira-kira apa yang keluar dari kantong gue yang berhubungan dengan LKTM kita." Keluarlah permen dari saku Bayu dan kata-kata yang muncul adalah „Tingkatkan Prestasi“. Kami pun kaget dan mangambil kesimpulan "jangan-jangan kita ga menang dan maka dari itu kita harus meningkatkan prestasi lagi“. Pikiran kami berdua menjadi tidak fokus namun berusaha tetap tenang dan menerima hasil apapun.

Sepertinya "ramalan“ permen Kis Bayu itu menjadi kenyataan. Tim kami memang benar-benar tidak menang. Ini mungkin karena harapan awal kami "yang penting sampai Makassar dan ga menang pun ga masalah“ tapi berubah jadi mau menang karena ongkos ke Makassar yang lumayan menguras kantong dan kejadian HPnya Gustaf yang hilang. 

Namun walaupun tidak menang, menjadi 15 finalis sudah cukup membanggakan. Kami juga tetap mendapatkan cenderamata dari Panitia berupa kupu-kupu yang diawetkan dari Banti Murung, tempat yang pengen banget saya datangi. Saya ikut berbahagia teman-teman dari ITS meraih juara pertama, Unsoed juara kedua, dan Unair juara ketiga. Juara Harapan juga diraih oleh salah satu tim dari UB, Unhas, dan UMY. Selamat untuk prestasi mereka!

Peserta LKTM bersama Panitia Inovasi

Acara selanjutnya adalah Field Trip. Tapi karena hujan turun, kegiatan ini ditunda sampai ashar bertepatan dengan berhentinya hujan. Rencana awal panitia, kita akan mengunjungi Fort Rotterdam, pusat oleh-oleh, dan Pantai Losari, tapi karena waktu yang tidak memungkinkan kami tidak bisa mengunjungi Fort Rotterdam. 

Dari pusat oleh-oleh kami pun langsung diantar ke Pantai Losari tidak jauh dari sini. Kami memasuki Pantai Losari dari sisi kanan. Ini adalah sisi kanan pertama yang saya lewati karena sebelumnya saya hanya mengelilingi pantai ini dari sisi sebelah kiri dekat masjid terapung sampai anjungan tulisan Pantai Losari.

Kami sangat beruntung datang ke Pantai Losari di minggu sore ini karena di saat yang sama sedang ada acara pemecahan rekor memanggang Pisang Epe terpanjang dan terbanyak di dunia. Jadi kami bisa menikmati Pisang Epe sepuasnya secara gratis. Apalagi ini adalah hal yang diidamkan Bayu, bernostalgia dengan masa kecilnya.




Sampai adzan maghrib, kami berjalan sepanjang Pantai Losari menuju masjid terapung, setiap beberapa meter kami selalu berhenti untuk berfoto-foto. Kamipun tersadar betapa jauhnya kami berjalan dari ujung ke ujung Pantai Losari ini ketika kembali ke Rusunawa dengan Mobil. Namun jauhnya jarak itu tidak terasa karena kami selalu berfoto. Haha


Bersama Panitia, Peserta dari UMY dan UNTAD
Karena pemintaan para peserta, sebelum kembali ke Rusunawa kami mampir ke Restoran untuk menikmati Coto Makassar. Saya duduk bersama anak-anak UB, Unair, UMY, dan ITS. Sambil menunggu makanana datang, kami pun berbincang-bincang. Walaupun duduk dengan peserta dari berbagai universitas, tapi kami jadi seperti membentuk kelompok tersendiri, saya dan Gustaf berbincang dengan mba April dari UB, mas Rizki dari Unsoed, dan LO Unhas. Mba Melly membahas masalah pangan dengan mas Yanuar, dan Bayu berbincang masalah teknik dengan anak-anak ITS, UB, dan UMY.

Gustaf bersama Mas Yanuar, Mas Nara, dan Mas Luinta dari Unair

Saat perjalanan kembali ke Rusunawa, dalam hati saya membatin, “acaranya udah selesai ya? Berarti akan menghadapi dunia nyata sebentar lagi.” Maksudnya harus kembali ke Jakarta dan berkuliah lagi. Yang pada awalnya saya tidak betah, lama-lama saya menikmati ini semua dan rasanya ga mau berakhir.

Malam ini juga kami harus check out dari Rususnawa dan ketika mengambil barang di kamar, Arma dan Umrah memberikan saya hadiah kenang-kenang. Saya senang sekali tapi malu juga karena saya tidak memberikan apa-apa untuk mereka sebagai balasan. Saya berniat memberikan sesuatu ketika tiba di Jakarta nanti.  Paman saya pun akhirnya tiba untuk menjemput saya, tapi Gustaf harus menunggu karena akan dijemput suadaranya. Sedangkan Bayu memilih untuk menginap di kosan salah satu peserta LKTM dari Unhas. Ia ingin merasakan jadi mahasiswa Unhas katanya, makanya ia menolak untuk bermalam di rumah paman saya atau pun saudaranya Gustaf.


Senin, 17 November 2014

Hari terakhir di Makassar awalnya saya berencana mengunjungi ke Banti Murung, tapi saya urungkan karena hari minggu kemarin saudara dari kampung datang ke kota untuk menemui saya. Namun kami tidak dapat bertemu karena saya masih ada acara di Unhas. Maka saya berencana untuk memilih ke kampung daripada ke Banti Murung, jika waktu memungkinkan. Tapi ternyata karena saya harus Check in di bandara pukul 17.00, saya tidak bisa ke mana-mana di hari ini. Alhasil saya cuma bisa mengerjakan tugas desain dari Yayasan Kita dan Buah Hati.

Berhubung ini adalah hari senin, saya diantar ke bandara oleh paman saya sekaligus menjemput Bayu di Unhas pukul 14.45. Khawatir macet karena demo dan orang-orang pulang kerja. Lagi-lagi perjalanan menuju bandara hujan turun, sama seperti beberapa waktu lalu. Benar saja, di Unhas sedang terjadi demo menuntut PR III diturunkan karena kasus narkoba. Mereka menutup jalan sehingga seluruh mobil harus masuk melewati kompleks Unhas. Puncak macetnya memang berada di dalam Unhas karena ketika keluar kompleks, jalanan justru lengang. Tapi kalau tidak begitu, saya tidak bisa lihat keseluruhan kompleks Unhas yang luas ini. Mereka juga punya rumah sakit mungkin seperti RSCM untuk kedokteran UI.

Kami tiba di bandara pukul 16.30 dan kami langsung masuk tanpa menunggu Gustaf. Karena kami sudah check in online untuk booking tempat duduk dan Gustaf sudah memegang tiketnya, jadi kami memutuskan untuk bertemu di dalam bandara saja.

Gustaf tiba pukul 17.30 dan kami langsung menuju Gate untuk duduk di pesawat. Sepanjang perjalanan kami terus mengobrol hal-hal tentang LKTM kemarin, cerita hal-hal yang dilewati hari ini, diskusi tentang LKM, dan hal-hal lainnya.

Setiba di bandara teman-teman finalis LKTM banyak yang mengirim pesan, menanyakan apakah kami sudah tiba di Jakarta. Mereka sangat perhatian sekali. Saya sangat bahagia punya teman-teman baru dari berbagai daerah seperti mereka. Jadi kalau kita mau keluar kota, kita bisa saling mengunjungi nantinya. Ditambah lagi punya teman baru di Makassar seperti Arma dan lainnya. Jadi di Makassar ada orang lain yang saya kenal selain keluarga saya.

Pengalaman LKTM Nasional seperti ini memang bikin ketagihan kalau bukan karena susahnya minta uang ke universitas rasanya mau ikut acara seperti ini terus deh. Saya berharap bisa bertemu dengan teman-teman dan finalis LKTM Inovasi Unhas dilain waktu. Satu lagi yang ga boleh terlupa, ucapan terima kasih untuk Ningsih, LO kami yang baik hati mau membawakan oleh-oleh saya saat di Pantai Losari, memberikan obat batuk untuk saya, dan sabar menghadapi teman-teman saya yang heboh banget.

Bersama LO Ningsih
Manusia memang tidak pernah puas, begitu juga saya, setelah merasakan (sedikit) atmosfer mahasiswa di Unhas, sekarang saya penasaran dengan atmosfer mahasiswa di pulau jawa dan pulau lainnya. Selanjutnya saya bisa mengunjungi seluruh tempat dan kampus di Indonesia. Serta satu hal lagi, semoga bisa kembali lagi ke Makassar menikmati waktu bersama keluarga dan teman baru.




Continue reading Kompetisi Melahirkan Pertemanan

Selasa, 11 November 2014

,

Tiongkok: Dulu, Kini, dan di Sini

Ketertarikan saya dengan sejarah dan budaya Tiongkok bermula saat saya menyaksikan drama sejarah Korea Goddess of Fire, Joeng Yi yang menceritakan tentang wanita pembuat tembikar pertama di Korea. Dalam drama ini menyajikan hubungan diplomatik antara Dinasti Joseon dari Korea dan Dinasti Ming dari Tiongkok. Konflik dalam drama ini ditambah dengan hadirnya Kerajaan Jepang yang menyerang Korea untuk menculik si wanita pembuat tembikar ini.

Dari drama itu, saya jadi bertanya-tanya tentang hubungan dari ketiga negara tersebut. Mereka memiliki banyak kesamaan. Dari mulai ras, budaya, dan bahkan mereka menggunakan bahasa aksara yang hampir sama. Hingga saya sempat mengambil hipotesa sendiri (tanpa membaca referensi literatur) bahwa akar budaya dari ketiga negara ini adalah negara Tiongkok.

Hipotesa ini saya ambil karena sejarah panjang Tiongkok yang sudah lahir sejak sebelum masehi dan sepadan dengan masa Mesopotamia dan Mesir Kuno. Selain itu, Jepang dan Korea membuat bahasa aksara mereka sendiri karena rakyat mereka kesulitan dalam mempelajari bahasa mandarin. Tiongkok juga merupakan guru dari Jepang, walaupun pada akhirnya Jepang pernah menyerang Tiongkok saat diserang oleh bangsa asing pada perang candu.

Sejarah panjang Tiongkok mengantarkan masyarakatnya menjelajahi dunia pada masa Dinasti Ming yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho pada abad ke 14. Bumi nusantara pun tak luput dari penjelajahan mereka. Ketika Cheng Ho ke Indonesia ternyata penduduk Tiongkok sudah mendiami Indonesia lebih dulu. Nio Joe Lan dalam bukunya Tiongkok Sepanjang Abad menceritakan bahwa ketika Cheng Ho tiba di Palembang ia disambut oleh Raja Palembang yang merupakan orang Tionghoa bernama Chen Tsu I.

Keberadaan Chen Tsu I sebagai Raja Palembang mengindikasikan bahwa masyarakat Tiongkok memang sudah lama hidup bersama dengan masyarakat pribumi. Diperkirakan sejak abad ke-5 mereka telah mengunjungi Indonesia untuk mencari rempah-rempah dan menetap disini, hingga akhirnya mereka berakulturasi dengan pribumi.

Kehadiran masyarakat Tionghoa di Indonesia mengingatkan kembali tentang masa kecil saya yang tidak terlepas dari orang Tionghoa. Sejak saya bersekolah di bangku SD sampai di perguruan tinggi, saya selalu berteman baik dengan mereka. Tetangga di rumah atau bahkan setiap menikmati perjalanan selalu ditemukan orang Tionghoa. Pada intinya kita hidup berdampingan dengan mereka.
Di daerah Tangerang tempat saya tinggal terdapat komunitas Tionghoa yang sangat terkenal. Mereka adalah komunitas Cina Benteng yang merupakan cikal bakal hidupnya daerah kota Tangerang. Merekalah yang mengurusi daerah tersebut ketika masih berupa lahan kosong saat “diusir” secara halus oleh Belanda untuk mengurusi daerah Tangerang yang sebelumnya masih berupa hutan belukar. Hingga banyak masyarakat dari wilayah Nusantara lainnya datang meramaikan tempat ini. Orang pribumi Nusantara inipun menikah dengan orang Tiongkok totok ini dan menghasilkan Tiongkok peranakan.

Namun Eddy Prabowo Witanto MA, seorang sinolog dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa sejarah Cina Benteng berada karena banyaknya orang Tionghoa yang mengungsi ke daerah luar Batavia seperti Tangerang akibat serangan Belanda. Serangan Belanda ini terjadi pada tahun 1740 karena pemberontakan oleh orang Tionghoa akibat keputusan VOC yang ingin membuang orang-orang Tiongkok ke Sri Langka untuk bekerja di kebun milik VOC.

Secara penampilan orang-orang dari komunitas Cina Benteng ini tidak sama dengan orang Tionghoa kebanyakan yang berkulit putih dan bermata sipit. Sebaliknya, justru mereka sangat mirip dengan pribumi dengan wajahnya yang kecoklatan dan tidak bermata sipit. Warna kulit mereka yang terang berubah kecoklatan karena mereka bekerja sebagai petani menanami sayur-sayuran. Dari segi ekonomi pun, kebanyakan dari mereka adalah orang dari menengah kebawah.

Kata Benteng dari penamaan komunitas ini sendiri berasal dari nama Benteng Makassar yang dahulu pernah berdiri di tepi Sungai Cisadane, Tangerang. Dahulu benteng ini dikuasai oleh orang-orang asal Bone, Makassar yang dipimpin oleh Aru Palaka untuk mencegah direbutnya wilayah ini ke tangan VOC. Namun sayangnya Benteng ini sudah rata dengan tanah.

Sampai saat ini orang-orang dari Cina Benteng masih hidup berdampingan bersama pribumi dengan baik. Dalam percakapan sehari-hari pun mereka menggunakan bahasa Indonesia dan memang kebanyakan dari mereka sudah tidak bisa berbahasa mandarin. Logat bicara mereka pun sudah tercampur dengan logat Betawi Tangerang.

Di Tangerang sendiri terdapat acara budaya tahunan bernama Festival Cisadane. Acara budaya ini menampilkan kreatifitas masyarakat Tangerang dan juga kearifan lokal kota ini. Puncak acara dari festival ini adalah perayaan Pe Chun dan perlombaan perahu naga yang merupakan kebudayaan Tiongkok. Tidak lupa penampilan Barongsai dan Lion menjadi pertunjukkan favorit masyarakat sekitar.

Perayaan Tiongkok yang ditampilkan dalam acara budaya Festival Cisadane ini menunjukkan bahwa Kota Tangerang memang lahir dari budaya Tiongkok dan mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan kota ini. Kesenian Tari Cokek yang merupakan tari khas Tangerang sebenarnya adalah hasil akulturasi masyarakat sunda dengan Tiongkok. Begitu pula musik gambang kromong yang selalu ditampilkan dalam acara pernikahan. Makanan seperti asinan, capcay, kwetiau yang merupakan makanan khas Tiongkok pun sudah sering kita nikmati.


Secara keseluruhan kehadiran orang Tionghoa ini merupakan salah satu etnis yang tidak bisa dipisahkan dari bangsa Indonesia. Namun, sayang keberadaan mereka masih sering mendapat diskriminasi oleh pribumi. Entah karena mereka yang menguasai perekonomian di Indonesia, dilihat dari banyaknya perusahaan-perusahaan besar dan toko-toko yang pemiliknya adalah orang Tionghoa atau karena generalisasi sifat-sifat mereka. 
Continue reading Tiongkok: Dulu, Kini, dan di Sini
,

Komplizierter Oktober

Am Oktober schrieb ich keine Posten in meinem Blog, obwohl es viele Sache gab, die schon passierte.

1.       Am anfang dieses Monats, am 3. Oktober sammelte ich den Vorschlag für PKM (Program Kreativitas Mahasiswa). Das ist ein Vorschlag, den die Studenten an der Universität gemacht worden haben, um Problem in der Staat aufzulösen. Ich sammelte in dem letzten Tag aber ich fand meine Vertreterins Dekan III und Vertreterins Rektor III nicht. Zum Glück, die Leute, die für Vertreters Rektor III arbeiten, hatten der Stempel der Unterschrifts Vertreterins Rektor III. Dann musste ich auch auf und ab von der Fakultät zum Rektorat Büro und Fotocopy Geschäft.

Das tragische Ende dieses Freitags war, ich habe mein Handy in der Haltestelle verloren, als ich auf den Bus wartete. Das war mein Android Handy, das ich fast ein Jahr kaufte. Ich mochte weinen aber ich konnte das nicht. Ich hoffe, Allah will mir das neue und bessere Handy gibt. Aamiin.

2.       Das zweite Woche (10.10.) furh ich mit den neuen Mitgliedern und Ausschuss von LKM UNJ nach Batu Jaya, Karawang für OCAB. Das war eine Orientierung für die neue Milgliedern, um in LKM UNJ zu beitreten.  Wir machten Spaß und besuchte ich zwei Candis in der Nähe Pension. Wir gaben die neue Mitgliedern „Unterrichten“, die mit LKM UNJ verbindete. Nämlich die Philosophie, die Schreibweise, Public Speaking, und Organisation. Wie kochten auch für die Teilnehmer (die neuen Mitgliedern), die Absolventen, und Ausschuss.

Aber wir mangelte an Wasser zum Baden oder zum Waschen. Dann mussten wir Wassr von PDAM zum Baden und Waschen kaufen. Schade, als wir OCAB fertig machten und zu Hause kammen, juckten unsere Körper. Aber nur die Leute, die in der letzte Tag in Pension badete. Trotzdem freute ich über unseren Zusammenhalt. Wir sind Familie von LKM UNJ. Ich liebe die Leute in LKM UNJ.

3.       Wieder ich sammelte einen Vorschlag im letzen Tag. Aber jetzt sammelte ich den Vorschlag für ein Wettbewerb von Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Hier sagt man LKTM (Lomba Karya Tulis Mahasiswa). Es war genauso wie PKM. Wir mussten ein Problem auflösen aber es ist für das Nahrungmittel. Das war das Thema.

Mein Gruppe besteht aus Gustaf, Bayu, und Ich. Weil Gustaf in diesem Tag in Semarang war, muss ich eine Führerin werden und Bayu musste nach Puncak fahren. Dann ich arbeitete allein. Ich hatte nicht genug Geld, aber ich mussten die Fotokopie der Vorschlag bezahlen und ihn nach Makassar schicken. Glücklig, fand ich meine Fruendin, die von der Klasse herauskam. Ich lieh ihr Geld und in LKM ich lieh Ka Dewan Geld. Alhamdulillah war der Vorschlag endlich geshickt. Nachdem ich den Volschlag geschickt hatte, ging zu Hause, zu meine Eltern in Tangerang.

4.       Circa zehn Tage mussten ich und meine Gruppe auf das Ergebnis von dem Wettbewerb in Unhas warten. Und am letze Dienstag morgen rief Gustaf mich an. Er sagte, dass wir nach Makassar fliegen will, um der Vorschlag zu präsentieren, weil unser Vorschlag eins von 15 beste Vorschlag ist. Darüber freue ich mich. Ich wird meine erste Zeit eine Vertretung von meiner Uni werden. Außerdem, was ich besonders interessant ist,  ich will zu meiner Heimatland fliegen.

Das Ergebnis von dem Wettbewerb in Unhas war eine schöne Nachrict, diese Monat zu beenden. Ich hoffe, wir können dem Wettbewerb gewinnen.

Continue reading Komplizierter Oktober

Minggu, 28 September 2014

,

Resensi Buku “Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir” : Sambil Berjalan Sambil Bercerita

Konflik antara Israel dan Palestina hingga saat ini belum menemukan titik temu. Perebutan batas wilayah yang dilakukan Israel untuk merebut Jalur Gaza masih terus juga dilakukan. Sebaliknya Palestina tidak tinggal diam. Mereka juga melakukan serangan balasan untuk membela hak tempat tinggal mereka.

Pertempuran yang terjadi dalam perebutan wilayah di Jerusalem ini tentu menjadi perhatian semua masyrakat dunia. Bukan hanya karena masalah kemanusiaan yang telah menelan banyak korban jiwa dan berbagai kerusakan lainnya, tetapi juga karena masalah agama yang menjadi persoalan kedua belah pihak.

Permasalahan dalam konflik yang terus berlarut membuat kita penasaran, apa sebenarnya keistimewaan Jerusalem hingga diperebutkan oleh kedua agama ini. Terutama bagi mereka yang memang belum mengetahui keistimewaannya, entah dari latar sejarah, agama ataupun politik. Maka, melalui buku “Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir” karya Trias Kuncahyono ini, kita bisa mengetahui itu semua.

Dimulai dengan cerita masa kecilnya, Trias menceritakan bagaimana ibu dan ayahnya mengenalkannya pada Jerusalem. Membangun rasa cinta dan impian untuk bisa berkunjung ke kota ini. Ibunya menceritakan lewat buku dan ayahnya menyampaikan melalui lukisan kota-kota di Jerusalem. Semua itu ia paparkan dengan pengalamannya saat mendapatkan kesempatan untuk berkunjung meliput kota ini.

Tidak mudah rupanya untuk memasuki Jerusalem yang secara militer dikuasai oleh Israel. Ketika berangkat dengan Pesawat Al El milik maskapai penerbangan Israel dan tiba di bandara Bon di Tel Aviv, ia diberondong berbagai pertanyaan untuk proses keamanan.

Untuk sampai ke Kota Jerusalem, Trias harus melewati beberapa kota penting yang sarat akan sejarah. Dalam perjalanannya inilah ia menceritakan kondisi di setiap kota yang ia singgahi dan mengkaitkannya dengan sejarah dari sudut pandang dirinya sebagai seorang kristiani.

Begitu memasuki Kota Lama Jerusalem, Trias sangat detail dalam menjelaskan bagian-bagian yang terdapat di dalam kota ini. Keindahan arsitektur kuno dan sejarah sejak masa sebelum masehi begitu terasa saat ia menginjakkan kaki di tempat ini.

Kota Lama Jerusalem rupanya dikelilingi tembok sepanjang empat kilometer dan setinggi 12 meter. Di setiap temboknya terdapat delapan gerbang yang dibangun sejak abad kedua dan menjadi pintu masuk ke di setiap wilayah di Jerusalem dan salah satu pintu gerbang ini menghubungkan kota Jerusalem dengan kota Damaskus.  

Jerusalem sendiri terbagi atas 4 wilayah. Wilayah Muslim, Kristen, Yahudi, dan Armenia. Pembagian wilayah ini bukan berarti wilayah tersebut diisi oleh penduduk yang menganut agama sesuai dengan nama wilayahnya. Justru Gereja Makam Kristus berada di Wilayah Muslim, begitu juga denganj alan yang dilalui Yesus ketika harus memanggul salib hingga ke Bukit Golgota.

Hal yang membuat Jerusalem begitu berharga adalah banyaknya simbol tiga agama samawi yang berada di sini. Gereja Makam Kristus yang merupakan tempat penyaliban dan makam Yesus Kristus menjadi tempat peziarahan kaum kristiani. Tembok Ratapan atau yang saat ini disebut dengan Tembok Barat menjadi tempat ibadah kaum Yahudi. Serta Masjidil Aqsa dan Dome of Rock yang menjadi simbol bagi umat islam.

Trias menceritakan sejarah Jerusalem sejak zaman sebelum masehi. Dari mulai masalah bangsa Yahudi pada zaman Babilonia, zaman para nabi,  Perang Salib yang terjadi pada tahun 1096, hingga pertikaian politik yang terus berlangsung hingga saat ini. Walaupun tidak dijelaskan secara rinci, namun ia tetap menceritakan bagian terpenting dari sejarah kota ini.

Ia juga menjelaskan secara objektif bagaimana istimewanya Jerusalem bagi umat Yahudi, Kristen, dan Islam. Dalil dalam kitab suci ataupun pendapat para petinggi dari masing-masing agama dikemukakan pula dalam perkuat keistimewaan tersebut.

Bagi Yahudi, keistimewaan Jerusalem merupakan warisan dari para leluhur mereka sejak dibangunnya Kenizah Allah sejak zaman Nabi Daud. Maka mereka berniat untuk berebut kembali Jerusalem. Sedangkan bagi umat Kristiani, Jerusalem begitu berarti karena merupakan tempat di mana Yesus hidup dalam menyampaikan ajarannya. Bagi Islam sendiri, Jerusalem adalah kota tersuci setelah Mekkah dan Madinah. Tempat Nabi Muhammad SAW melaksanakan perjalanan Isra dan Mi’raj. Dari perjalanan inilah umat islam memperoleh perintah untuk melaksanakan ibadah sholat lima waktu.

Itulah keistimewaan Jerusalem bagi tiga agama ini. Perdamaian dan pergolakan dalam perebutan kota ini silih berganti terus terjadi. Sejak sebelum zaman Perang Salib bahkan hingga usainya Perang 6 hari yang melahirkan negara Israel, konflik itu belum juga berujung pada perdamaian yang sejati.

Berbagai kesepakatan dan resolusi untuk menghentikan konflik sudah juga dilakukan oleh PBB, tapi belum juga menuai hasil. Dalam memandang hal ini, secara tegas Trias mengkritik sikap PBB yang lebih memihak kepada Israel.Terlihat dari segi bahasa yang digunakan dalam pembuatan resolusi oleh PBB ataupun perlakuan PBB dalam menghadapi sikap bebal Israel yang tak mau menurut dalam setiap perjanjian dan resolusi yang telah dibuat dan disepakati.


Lalu kapankah konflik antara Israel dan Palestina akan berakhir? Sehingga kedamaian di Timur-Tengah ini bisa terpancar ke penjuru dunia. Agar tidak ada lagi dentuman bunyi bom, tangisan bayi, hancurnya rumah-rumah penduduk ataupun darah yang bercucuran.
Continue reading Resensi Buku “Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir” : Sambil Berjalan Sambil Bercerita

Sabtu, 27 September 2014

Schönes Wochenende

Minggu lalu merupakan minggu yang menyenangkan bagi saya. Namun bukan berarti minggu ini tidak menyenangkan. Agaknya ucapan “shoenes Wochenende” yang sering dikatakan dosen di kelas setiap kali selesai mata kuliah di hari jumat itu, benar-benar menjadi akhir pekan yang indah. Bahkan keindahan itu dimulai di hari jumat malam, ketika seluruh aktivitas weekdays berakhir.

19. September 2014

Sore ini menjadi sore yang sudah saya tunggu-tunggu sejak lama. Berbicara langsung dengan native speaker bahasa jerman. Mereka memang tidak berdarah jerman, tapi karena mereka sejak lahir berada di jerman, maka biacara lidah mereka pun sudah sangat jerman sekali.

Mereka adalah Anoscha (Ano) dan Äjem, peserta Aiesec yang menjadi volunteer di Ana Klangit Tangerang. Anoscha berdarah Afghanistan dan Äjem adalah keturunan turki yang mereka sejak lahir sudah berada di Jerman. Mereka berdua adalah teman satu kelas di salah satu universitas di Nürnberg.

Saya tahu keberadaan mereka disini berkat teman saya yang juga menjadi volunteer di Ana Klangit. Ini memang bukan kali pertama saya berbicara dengan native speaker jerman. Sebelumnya saya punya dosen PKL asal jerman saat semester 1.

Kata-kata dalam bahasa jerman pun sudah tertata dalam otak saya. Kira-kira saya akan berkata ini dan itu jika bertemu mereka. Namun segala bentuk tata bahasa yang terancang akan terlupakan ketika langsung berhadapan dengan mereka.

Sebelum bertemu dengan Ano, saya sudah sempat ber-Line ria dengannya menggunakan bahasa jerman. Saat di Line dan bertemu langsung pun dia bilang bahasa jerman saya bagus. Tapi saya bilang jujur saja, mungkin hanya sekedar tulisan saja, tapi untuk mundlich saya masih harus banyak berlatih salah satunya dengan bertemu mereka.

Mereka sangat ramah dan antusias dengan saya karena mungkin bisa berbahasa jerman. Mereka sangat menghargai sekali. Sayangnya saya tidak bisa berbincang lama dengan mereka karena mereka harus kembali ke apartemen mereka.

20. September 2014

Permintaan untuk menjadi pengganti mentor dadakan untuk acara MSC di YKBH membuat saya harus berangkat pagi hari ke stasiun di pagi hari. Tapi itu bukan masalah bagi saya karena justru hari ini adalah pengalaman baru lainnya yang ditawarkan YKBH yang sangat menyenangkan bagi saya.

Tema MSC kali ini adalah Money Intelligence, mengajarkan anak bagaimana cara mengatur uang. Tidak hanya itu, dalam MSC ini anak-anak langsung terjun di lapangan bagaimana sulitnya mencari pekerjaan dan melakukan pekerjaan untuk mendapatkan uang. Mereka pun diajarkan betapa pentingnya untuk menginfakkan dan menabung uang yang mereka miliki.

Walaupun matahari saat itu sangat terik, mereka tidak patah semangat untuk mencari pekerjaan di sekitar kantor YKBH. Malah, ketika satu pekerjaan telah selesai, mereka dengan semangat ingin mencari pekerjaan di tempat lain.

Celoteh dan pemikiran mereka saat sharing dan coaching hari itu membuat saya sangat menyayangi anak-anak kecil ini. Kebersamaan dengan mereka sangat menyenangkan walaupun melelahkan. Betapa mereka adalah anak-anak polos dan lucu yang harus kita bentuk dengan baik. Kitalah sebagai orang dewasa harus membimbing mereka dengan baik untuk menjadi anak yang cemerlang akal dan akhlaknya untuk agama dan bangsa.

21. September 2014

Akhir pekan ini ditutup dengan acara Heart to Heart (H2H) dari organisasi kampus saya, LKM. Acara ini khusus diadakan untuk mempererat hubungan antar pengurus. Museum Nasional yang berada di depan Monumen Nasional menjadi tempat acara kami ini. Lagi-lagi ini adalah pertama kalinya saya ke mengunjungi museum ini setelah sering kali saya hanya melewati tempat ini dengan transpotasi umum.

Bukan LKM namanya kalau mencurahkan perasaan bukan lewat tulisan. Untuk mengikuti acara H2H ini, para pengurus baik yang hadir atau tidak harus membuat tulisan tentang kesan dan pesan mereka selama di LKM. Tulisan tersebut tentu dibuat tanpa nama karena semua tulisan akan dibaca secara acak.

Saling tebak-menebak setiap tulisan yang dibacakan pun terjadi. Entah karena gaya bahasanya yang telah menjadi ciri khas setiap pengurus ataupun dari pengalaman yang ditulis oleh penulisnya itu sendiri.


Acara ditutup dengan tukar kado berupa buku dan foto bersama di halaman Museum Nasional.
Continue reading Schönes Wochenende

Jumat, 19 September 2014

,

Kunjugan Pertama Ke Makassar (III)

Kewajiban utama datang ke Makassar untuk menziarahi makam kakek dan nenek sudah terlaksana. Kini saatnya untuk kembali ke kota Makassar menikmati hari-hari terakhir di sini dengan mengunjungi beberapa tempat wisata. Namun, karena kami tiba di rumah paman di Kota Makassar hampir mendekati sore, rencana awal untuk mengunjungi Tempat Wisata Banti Murung terpaksa dibatalkan karena jaraknya yang cukup jauh jika harus ditempuh sore hari. Padahal saya ingin sekali mengunjungi tempat penangkaran kupu-kupu ini, walaupun dilarang oleh sepupu di kampung karena katanya tempat ini memiliki keanehan. 

Alhasil, kami pun pergi ke Benteng Fort Rotterdam yang tidak jauh dari Pantai Losari. Benteng Rotterdam ini adalah rekomendasi teman saya yang berkuliah di jurusan sejarah di salah satu universitas di Bandung. Begitu ia merekomendasikannya, Benteng Rotterdam menjadi tempat yang harus saya kunjungi setelah Pantai Losari.


Benteng Fort Rotterdam ini adalah benteng peninggalan kerajaan Gowa dan Tallo yang berdiri sejak tahun 1545. Nama awal benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang. Namun akibat perjanjian Bongaya, benteng ini terpaksa diberikan kepada Belanda dan mereka mengubah nama benteng ini menjadi Benteng Fort Rotterdam.

Untuk memasuki tempat ini, kami harus mengisi daftar pengunjung dan memberikan uang seikhlasnya sebagai bantuan untuk mengurus sarana dan prasarana tempat ini.


Ketika menginjakkan kaki memasuki tempat ini, kita akan disambut dengan arsitektur kuno bangunan yang indah dan megah. Taman dengan rerumputan hijau pun menghiasi di tengah tempat ini. Di tengah taman ini juga terdapat bangunan yang cukup besar, namun karena tidak ada guide yang mendampingi, saya tidak tahu bangunan apa yang berdiri di tengah taman ini.


Arsitektur bangunan tempat ini cukup unik. Setelah melewati pintu masuk, jika kita belok ke arah kanan atau kiri akan terdapat tanjakan yang akan mengantarkan kita ke pinggir tembok benteng ini. Pinggir tembok inipun seperti taman karena dihiasi rumput hijau dan terdapat puing-puing benteng zaman dulu yang masih tersisa.


Dari pinggir tembok ini kita dapat melihat keseluruhan Benteng Fort Rotterdam dari atas, walaupun tidak terlalu tinggi. Pinggiran tembok ini juga hampir mengelilingi keseluruhan bangunan Benteng Fort Rotterdam. Terdapat jalur seperti parit menghiasi tembok ini yang katanya digunakan oleh para prajurit untuk berlindung dan berpindah tempat.

Setelah puas menikmati pemandangan dari atas, kami pun beranjak untuk mengelilingi luasnya Benteng Fort Rotterdam. Banyak sekali pengunjung yang datang untuk menikmati sore hari yang indah di Kota Makassar dengan duduk di taman. Terlihat juga beberapa turis asing yang datang. Benteng ini mirip dengan Kota Tua di Jakarta. Terdapat penjara untuk pribumi di lorong-lorong bangunan. Gedung tempat ruang tahanan Pangeran Diponegoro saat dibuang oleh Belanda juga berada di sini.



Bangunan Benteng Fort Rotterdam juga dijadikan tempat museum yang berisi peninggalan sejarah dan kebudayaan yang ada di Kota Makassar serta beberapa kota lainnya di Sulawesi Selatan. Ternyata untuk masuk ke dalam museum ini kami dipungut biaya lagi dengan kategori yang berbeda untuk anak dan dewasa.

Museum ini menampilkan benda-benda pusaka yang ada pada zaman Kerajaan Gowa-Tallo seperti perhiasan yang dipakai pada zaman tersebut dan mahkota kerajaan juga terdapat di museum ini. Pakaian Adat Baju Bodo dan Tradisi Pernikahan adat Makassar, Rumah Adat Tongkonan, peralatan bertani, miniatur kapal pinisi, jaring yang digunakan untuk menangkap ikan juga ditampilkan di museum ini. Museum ini bisa menjadi tempat yang cocok untuk lebih mengenal sejarah dan kebudayaan Makassar secara singkat.






Waktu yang sudah semakin gelap, memaksa kami untuk meninggalkan Benteng Fort Rotterdam. Sebelum pulang ke rumah, paman mengajak saya beserta anak dan cucunya untuk menikmati kuliner khas Makassar lainnya, yakni Pisang Epe. Pisang Epe adalah pisang yang dipanggang gepeng dan diberi saus dari gula jawa atau gula aren.

Sebenarnya saya sudah menikmati Pisang Epe buatan tante sebelum pergi ke kampung di hari kedua di Makassar. Namun, sepupu saya menyuruh untuk mencicipi Pisang Epe yang banyak dijual di pinggir jalan Kota Makassar karena memiliki rasa yang bervariasi. Tidak hanya dengan saus dari gula jawa saja seperti yang dibuat di rumah.

Saya pun memesan Pisang Epe rasa keju dan coklat. Walapun rasanya keju dan coklat, pisang epe ini tetap disajikan dengan saus gula jawa. Keaslian resep ini tetap terjaga rupanya. Pisang Epe ini disajikan dalam porsi kecil berisi dua pisang yang cukup mengenyangkan perut saya. Malahan keponakan saya yang  masih kecil tidak sanggup menghabiskannya.

Pantai Akarena

Hari ini akan benar-benar menjadi hari terakhir saya di Makassar. Sebelum kembali ke Jakarta, sepupu saya mengajak saya ke Pantai Akarena bersama sepupu dan keponakan lainnya. Salah satu alasan mengapa sepupu saya mengajak ke sini karena ada acara dari tempat ia membeli rumah. Beruntungnya karena acara tersebut kami tidak perlu membayar tiket masuk yang harganya kurang lebih sekitar Rp 10.000,- /orang.



Jika di Pantai Losari kita tidak menemukan pasir seperti pantai pada umumnya, maka di Pantai Akarena ini kita dapat menemukan pasir berwarna hitam. Tidak ada yang terlalu istimewa dari tempat ini. Hanya pantai yang dipenuhi anak-anak yang berenang di sana sini, pohon kelapa yang mengelilingi pantai dan ada juga tempat bermain anak-anak di dekatnya. Tempat ini juga memiliki dermaga, untuk melihat laut dari tengah atas pantai.

Angin sepoi-sepoi dan ombak yang naik turun menambah semangat saya berada di tempat ini walaupun panas begitu terik. Ombak pantai pun mengingatkan masa kecil saya yang sering mengejar ombak ketika mereka turun dan lari ke pantai ketika ombak itu naik. 

Melihat ombak dan air di pantai, ingin sekali rasanya saya berenang dan bermain dengan air. Tapi ada daya, saya tidak membawa baju ganti saat itu dan situasi tidak memungkinkan untuk melakukannya. Saya pun hanya bisa menikmati pemandangan laut dari atas dermaga dan bermain dengan ombak seadanya.



Tidak terlalu lama kami berada di pantai ini, begitu acara sepupu saya selesai, kami pun langsung beranjak pulang. Di rumah telah menanti satu box berisi Pisang Ijo untuk dibawa pulang ke Jakarta sebagai oleh-oleh dan tentunya mencicipi satu piring terlebih dahulu sebelum dibawa pulang. Selain Pisang Ijo, paman juga memberikan kami oleh-oleh berupa sirup markisa, kacang mete, dan jagung disko.

Kembali ke Jakarta

Setelah melaksanakan sholat ashar, kami pun bersiap menuju bandara Di antar oleh paman dan sepupu saya, kami pun berangkat dengan Toyota Carry. Sepupu dan keponakan dari kampung pun menyusul menggunakan motor karena belum sempat berjumpa untuk pamit ketika kami pergi ke kota.

Belum juga sampai di Bandara, paman saya sudah meneteskan air mata karena harus berpisah dengan kami. Paman saya ini sebenarnya bukanlah tipe orang yang mudah menangis. Kata ayah hanya orang yang hebat yang bisa membuatnya menangis. Dan itu adalah saat kepergian kami karena paman saya ini mencintai saya seperti anaknya sendiri. Sama seperti sayangnya paman kepada ayah saya.
Air mata paman dan sepupu saya pun semakin deras begitu kami akan masuk bandara. Berpisah dengan mereka pun membuat saya ikut menangis.

Saya hanya bisa berharap akan bisa sesering mungkin mengunjungi tempat kelahiran ayah ini. Bagaimanapun darah Makassar mengalir di dalam tubuh saya dan saya pun sangat menyukainya. Makassar dengan pesonanya dan keramahan orang-orangnya terutama kebaikan keluarga saya membuat saya jatuh cinta pada kunjungan pertama ini.




Bis bald, Makassar! See you next time!

Lihat Juga :
Kunjugan Pertama Ke Makassar (II)
Kunjugan Pertama Ke Makassar (I)
Continue reading Kunjugan Pertama Ke Makassar (III)

Senin, 08 September 2014

, ,

Kunjugan Pertama Ke Makassar (II)

Akhirnya setelah tertunda hampir lebih dari sebulan, bagian kedua ini berhasil ditulis jugaa.... selamat membaca!

Sesuai dengan rencana semula, hari kedua di Makassar kami akan mengunjungi keluarga ayah di kampung Kabupaten Jeneponto. Perlu waktu kurang lebih sekitar dua jam perjalanan dari kota untuk sampai ke kampung. Orang sana mengenalnya dengan istilah naik ke atas”. Mungkin karena posisi topografi perkampungan yang lebih tinggi daripada di kota.

Pada dasarnya pemandangan perjalanan dari ke kota ke kampung di Makassar hampir sama seperti di kota. Pemandangan yang di kelilingi pepohonan dan persawahan, di beberapa titik ada rumah penduduk yang rapat dan renggang, pasar tradisional, dan hal lainnya.

Yang saya ingat untuk menuju Kab. Jeneponto, kami  melewati beberapa kabupaten lainnya, seperti Kab. Gowa dan Kab. Takalar. Kami melewati jembatan kembar saat hendak meninggalkan Kab. Gowa dan disambut Gapura dengan patung penunggang Kuda di sisi kiri dan kanan jalan saat sampai di Kab. Takalar.

Ciri khas kuliner dari kabupaten ini adalah Coto Kuda. Ini terlihat dari berbagai rumah makan yang menghidangkan menu ini di spanduk depan rumah makan mereka. Sayangnya saya belum sempat mecipinya ketika berada di sini.

Ketika hampir sampai di Kampung, lalu lalang kendaraan semakin berkurang. Bahkan bisa dikatakan untuk beberapa waktu hanya kendaraan kami saja yang lewat dan satu atau dua sepeda motor. Hamparan hijaunya sawah pun semakin meluas dan terlihat gunung-gunung kehijauan. Yang membuat saya lebih kagum lagi adalah langit Makassar yang begitu indah dan bentuk-bentuk awan yang menurut saya unik ditambah juga dengan persawahan hijau yang membentang.

Setiba di Kampung

Sebuah sekolah berdiri menjadi petanda bahwa perkampungan tempat keluarga saya berada hanya tinggal beberapa ratus meter lagi. Akhirnya saya pun tiba di Kampung Barana, Kab. Jeneponto. Semua rumah penduduk adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu, kecuali rumah saudara saya yang TNI. Ia membangun rumah seperti rumah di kota. Mereka menyebutnya rumah batu karena tersusun dari batu bata. Kami pun menginap di rumahnya untuk malam pertama di kampung.

Hampir di setiap rumah di kampung ini memiliki minimal seekor kuda. Karena kebanyakan pekerjaan penduduk di sini adalah bertani maka menjadi hal yang biasa jika mereka memiliki seekor kuda. Bahkan banyak pula dari rumah penduduk yang memiliki lebih dari seekor kuda dan beberapa sapi. Kegunaan mereka tentu untuk mengangkut pupuk dan hasil tani.

Begitu tahu bahwa kami telah sampai, tak lama kemudian banyak orang-orang berkumpul untuk berjumpa dengan kami terutama ayah saya yang sudah hampir 19 tahun tidak pulang ke kampung halaman ini. Isak tangis bahagia dan peluk erat menyambut kami. Rumah sepupu saya inipun menjadi ramai tak hentinya sampai pagi.

Ketika keponakan-keponakan saya sudah pulang dari sekolah, mereka mengajak saya untuk jalan-jalan ke sawah. Kami menggunakan sepeda motor ke sana. Setelah tiba di persawahan, keponakan saya meminta sepupu saya untuk mengambil coppeng, atau yang biasa kita kenal di sini dengan sebutan buah jamblang. Tanpa ragu, sepupu laki-laki saya yang berbadan kecil ini langsung memanjat pohon dan mengambil semua buahnya. Setelah coppeng berhasil didapat saatnya kami menikmati pemandangan sekitar dan berfoto-foto. Sungguh pemandangan hijau yang luar biasa.

FYI, keponakan saya ini rata-rata sudah SMP dan SMA, bahkan ada yang sudah lulus D3. Sedangkan hampir semua sepupu-sepupu saya sudah berkeluarga dan memiliki banyak anak. Jadi, saya adalah adik sepupu mereka yang masih muda dan sepantaran dengan anak-anak mereka. Hihihi

Noraknya Orang Kota Masuk Kampung

Karena kunjungan saya ke kampung bukan pada saat libur sekolah, hari kedua di kampung, agak sedikit sepi karena beberapa keponakan saya harus pergi bersekolah, walaupun ada juga yang bolos demi bersama ayah saya.

Di hari kedua ini, kami mengunjungi rumah paman saya. Paman saya ini adalah keluarga sedarah dari ayah yang tersisa karena kakek, nenek, paman dan bibi saya yang lain sudah meninggal dunia. Rumah paman adalah rumah panggung, karena keluarga saya tahu kondisi ayah yang tidak bisa berjalan dengan baik, alhasil untuk naik ke rumah ayah di gendong oleh sepupu saya.

Setelah rumah sepupu saya yang ramai, kini keramaian berpindah ke rumah paman saya ini. Kami disuguhi Songkolo. Songkola sama halnya dengan ketan hitam yang dibungkus dengan daun pisang dan diberi kelapa parut.

Jujur saja, saya tidak bisa berbicara bahasa Makassar. Hanya beberapa kata yang saya ingat dari  yang pernah ayah ajarkan. Jadi saya tidak mengerti semua percakapan mereka, anak kecil di sana pun hanya bisa berbahasa Makassar. Beruntung anak-anak yang sudah bersekolah dapat berbahasa Indonesia dengan baik, sehingga saya bisa berkomunikasi dengan mereka dan mereka menerjemahkan bahasa Makassar untuk saya.

Saya pun belajar sedikit-sedikit kata-kata dari bahasa Makassar yang saya dengar. Ketika saya mengucapkan bahasa Makassar saat keluarga berkumpul, seketika seluruh keluarga saya tertawa mendengar ucapan saya. Saya berasa seperti bule yang baru bisa bahasa Indonesia dan kita tertawa karena mereka bisa bahasa yang kita ucapkan.

Karena bosan di dalam rumah yang isinya bapak-bapak bicara bahasa Makassar dan penuh dengan asap rokok, saya yang sejak hari pertama ingin sekali naik kuda, keluar teras bersama sepupu saya menuju kuda-kuda yang diikat di dekat pohon. Khawatir saya jatuh jika menunggangi kuda jantan, saya disarankan menaiki kuda betina. Tapi keinginan untuk menunggang kuda itu tak kunjung juga tiba hingga saya kembali ke Jakarta.

Niat hanya ingin mengelus si kuda pun juga kandas karena saya sendiri pun takut untuk menyentuh mereka. Mereka seakan ingin mengigit saya atau menendang saya dengan kaki belakang mereka setiap saya mencoba menyentuh. Saya sudah menyodorkan tangan untuk mengelus tapi badan saya menolak untuk maju karena takut, walaupun sepupu saya menemani saat itu. Ternyata salah satu dari dua kuda yang ada di depan saya adalah kuda balap. Balap kuda memang juga diadakan di kampung ini.

Sore harinya kami dibawa ke Kampung Santigia, di rumah sepupu saya lainnya di kampung dekat laut. Malam itu kami menginap di sini. Perjalanan yang ditempuh dari Kampung Barana ke Kampung Santigia memerlukan waktu dua jam. Kondisi jalanannya pun rusak. Banyak jalanan berlubang di sana sini.

Tidak semua lantai dasar rumah panggung saat ini digunakan sebagai kandang hewan atau tempat penyimpanan pupuk seperti zaman dulu. Walaupun masih ada banyak rumah menggunakan fungsi untuk itu, tapi ada beberapa rumah panggung saat ini membangun bagian bawahnya dengan model rumah batu seperti rumah di kota pada umumnya. Jadi, lantai satu adalah rumah batu dan lantai dua adalah rumah kayu.

Pagi hari di Kampung Santigia saya begitu semangat karena sesuai janji sepupu saya, saya akan diajak naik perahu untuk berkeliling laut. Inilah yang saya tunggu-tunggu. Laut dan pantai. Saya menaiki perahu sepupu saya bersama anaknya yang biasa ia gunakan untuk mengurus rumput laut. Lagi-lagi saya takjub dengan keindahan ini.

Air di laut ini berwarna kehijauan. Sayangnya, masih banyak masyarakatnya yang membuat sampah dipinggir laut. Bahkan istri sepupu saya pun membuang sampah ke dalam air tepat di depan saya. Ada juga nelayan-nelayan yang buang air besar di pinggir laut. Aduh jadi ga asik deh. Tapi saya tetap excited sih kalau  tetap pemandangan lurus ke depan.


Kami pun melaju. Saya pikir kami akan berhenti dipinggir pantai berpasir. Tapi sepupu saya ini justru memberhentikan kami di pinggir pantai berpohon yang banyak terdapat banyak batu coral dan kelomang. Saya tetap excited tentunya. Saya Cuma bisa selfie dan memoto pemandangan karena foto yang sepupu saya captured tak tersimpan.

Setelah cukup lama berhenti, akhirnya kami kembali ke rumah. Kami melewati kumpulan botol plastik yang muncul di permukaan air. Rupanya itu adalah ternak rumput laut yang mereka tandai. Walaupun Cuma sebentar, I had a great time on this boat. Ini nih noraknya orang kota masuk kampung.

Kami menikmati semangkok bakso di saing hari sebelum kembali menuju kampung Barana. Rasa bakso di kampung dan di kota jauh berbeda. Mereka menggunakan lebih banyak sagu ketimbang daging. Makanya harganya pun terjangkau. Saya lupa berapa tepatnya, tapi sekitar Rp 3000,- kita pun sudah bisa merasakan semangkuk bakso di kampung.

Ke Makam dengan Tandu

Setalah sholat jumat kami pun diantar ke Kampung Barana dengan sepupu-sepupu saya menggunakan mobil pick up. Kini isak tangis kesedihan dan peluk erak mengiringi kepergian kami menuju Barana. Mereka pun menyiapkan kami oleh-oleh berupa makanan dan kebanyakan dari mereka memberikan kami sarung. Saya pun sedih harus meninggal keluarga saya yang baru saya jumpai satu hari ini.

Perjalanan menggunakan mobil pick up dan duduk di bagian belakang bukan hal baru buat saya. Jika sebelumnya saya malu dan lebih banyak tidur sepanjang perjalanan dari Bogor ke Jakarta, di Makassar ini justru saya senang sekali karena duduk bersama saudara-saudara saya yang menceritakan tentang nenek saya yang mampu berjalan kaki dari Kampung Barana ke Santigia kurang dari satu jam dengan ilmunya. Ditambah juga mata saya dihibur dengan pemandangan yang menakjubkan walaupun cuaca di Makassar sangat panas.

Tujuan utama perjalanan saya dan orang tua saya adalah mengunjungi makam kakek dan nenek saya. Maka di hari ke emapt di kampung, kami pun berziarah ke makam kakek dan nenek. Tidak mudah ternyata untuk sampai ke sana. Kami harus melewati pematang sawah yang becek luar biasa. Sepatu atau pun sandal harus kami lepas agar tidak blong. Lalu bagaimana dengan ayah saya? Luar biasanya kekeluargaan warga kampung ini, mereka membuat tandu agar bisa membawa ayah saya secara bersamaan menuju makam. Jadilah ayah saya seperti penganten sunnat.

Saya pun menikmati berjalan di sawah. Sampai-sampai saudara saya sedikit kagum karena saya bisa berjalan cepat di tanah becek. Sedangkan mama berjalan agak lambat dan harus dituntut karena terjebak lumpur.

Setelah berziarah dan makan siang di rumah saudara kami, akhirnya kami kembali menuju kota Makassar untuk berrekreasi menikmati sisa hari terakhir di kota ini. sama halnya seperti di Santigia, seluruh keluarga kami menangis karena kami harus kembali dan memberi oleh-oleh seperti sarung dan banyak makanan.

Saya sangat mencintai mereka. Walaupun ini pertama kalinya bertemu, saya sangat nyaman dengan mereka. Saat perjalanan dari kota menuju kampung, om saya sangat yakin, saya tidak akan betah berlama-lama di kampung. Pada awalnya saya juga tidak begitu betah karena kondisi kamar mandi yang tidak sebagus di kota. Rumah sepupu saya yang 100% terbuat dari kayu, memiliki kamar mandi yang ditutupin asbes disekelilingnya dan menyisakan beberapa lubang kecil yang cukup bikin gelisah, khawatir ada yang mengintip. Tapi lama-lama saya pun menikmati aktivitas di kampung ini. Semoga saya bisa kembali lagi nanti untuk berjumpa dengan mereka.

masih berlanjut nih hari terakhir di Kota Makassar di part ketiga


Lihat Juga:
Kunjugan Pertama Ke Makassar (I)
Kunjugan Pertama Ke Makassar (III)

Continue reading Kunjugan Pertama Ke Makassar (II)