Jumat, 19 September 2014

,

Kunjugan Pertama Ke Makassar (III)

Kewajiban utama datang ke Makassar untuk menziarahi makam kakek dan nenek sudah terlaksana. Kini saatnya untuk kembali ke kota Makassar menikmati hari-hari terakhir di sini dengan mengunjungi beberapa tempat wisata. Namun, karena kami tiba di rumah paman di Kota Makassar hampir mendekati sore, rencana awal untuk mengunjungi Tempat Wisata Banti Murung terpaksa dibatalkan karena jaraknya yang cukup jauh jika harus ditempuh sore hari. Padahal saya ingin sekali mengunjungi tempat penangkaran kupu-kupu ini, walaupun dilarang oleh sepupu di kampung karena katanya tempat ini memiliki keanehan. 

Alhasil, kami pun pergi ke Benteng Fort Rotterdam yang tidak jauh dari Pantai Losari. Benteng Rotterdam ini adalah rekomendasi teman saya yang berkuliah di jurusan sejarah di salah satu universitas di Bandung. Begitu ia merekomendasikannya, Benteng Rotterdam menjadi tempat yang harus saya kunjungi setelah Pantai Losari.


Benteng Fort Rotterdam ini adalah benteng peninggalan kerajaan Gowa dan Tallo yang berdiri sejak tahun 1545. Nama awal benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang. Namun akibat perjanjian Bongaya, benteng ini terpaksa diberikan kepada Belanda dan mereka mengubah nama benteng ini menjadi Benteng Fort Rotterdam.

Untuk memasuki tempat ini, kami harus mengisi daftar pengunjung dan memberikan uang seikhlasnya sebagai bantuan untuk mengurus sarana dan prasarana tempat ini.


Ketika menginjakkan kaki memasuki tempat ini, kita akan disambut dengan arsitektur kuno bangunan yang indah dan megah. Taman dengan rerumputan hijau pun menghiasi di tengah tempat ini. Di tengah taman ini juga terdapat bangunan yang cukup besar, namun karena tidak ada guide yang mendampingi, saya tidak tahu bangunan apa yang berdiri di tengah taman ini.


Arsitektur bangunan tempat ini cukup unik. Setelah melewati pintu masuk, jika kita belok ke arah kanan atau kiri akan terdapat tanjakan yang akan mengantarkan kita ke pinggir tembok benteng ini. Pinggir tembok inipun seperti taman karena dihiasi rumput hijau dan terdapat puing-puing benteng zaman dulu yang masih tersisa.


Dari pinggir tembok ini kita dapat melihat keseluruhan Benteng Fort Rotterdam dari atas, walaupun tidak terlalu tinggi. Pinggiran tembok ini juga hampir mengelilingi keseluruhan bangunan Benteng Fort Rotterdam. Terdapat jalur seperti parit menghiasi tembok ini yang katanya digunakan oleh para prajurit untuk berlindung dan berpindah tempat.

Setelah puas menikmati pemandangan dari atas, kami pun beranjak untuk mengelilingi luasnya Benteng Fort Rotterdam. Banyak sekali pengunjung yang datang untuk menikmati sore hari yang indah di Kota Makassar dengan duduk di taman. Terlihat juga beberapa turis asing yang datang. Benteng ini mirip dengan Kota Tua di Jakarta. Terdapat penjara untuk pribumi di lorong-lorong bangunan. Gedung tempat ruang tahanan Pangeran Diponegoro saat dibuang oleh Belanda juga berada di sini.



Bangunan Benteng Fort Rotterdam juga dijadikan tempat museum yang berisi peninggalan sejarah dan kebudayaan yang ada di Kota Makassar serta beberapa kota lainnya di Sulawesi Selatan. Ternyata untuk masuk ke dalam museum ini kami dipungut biaya lagi dengan kategori yang berbeda untuk anak dan dewasa.

Museum ini menampilkan benda-benda pusaka yang ada pada zaman Kerajaan Gowa-Tallo seperti perhiasan yang dipakai pada zaman tersebut dan mahkota kerajaan juga terdapat di museum ini. Pakaian Adat Baju Bodo dan Tradisi Pernikahan adat Makassar, Rumah Adat Tongkonan, peralatan bertani, miniatur kapal pinisi, jaring yang digunakan untuk menangkap ikan juga ditampilkan di museum ini. Museum ini bisa menjadi tempat yang cocok untuk lebih mengenal sejarah dan kebudayaan Makassar secara singkat.






Waktu yang sudah semakin gelap, memaksa kami untuk meninggalkan Benteng Fort Rotterdam. Sebelum pulang ke rumah, paman mengajak saya beserta anak dan cucunya untuk menikmati kuliner khas Makassar lainnya, yakni Pisang Epe. Pisang Epe adalah pisang yang dipanggang gepeng dan diberi saus dari gula jawa atau gula aren.

Sebenarnya saya sudah menikmati Pisang Epe buatan tante sebelum pergi ke kampung di hari kedua di Makassar. Namun, sepupu saya menyuruh untuk mencicipi Pisang Epe yang banyak dijual di pinggir jalan Kota Makassar karena memiliki rasa yang bervariasi. Tidak hanya dengan saus dari gula jawa saja seperti yang dibuat di rumah.

Saya pun memesan Pisang Epe rasa keju dan coklat. Walapun rasanya keju dan coklat, pisang epe ini tetap disajikan dengan saus gula jawa. Keaslian resep ini tetap terjaga rupanya. Pisang Epe ini disajikan dalam porsi kecil berisi dua pisang yang cukup mengenyangkan perut saya. Malahan keponakan saya yang  masih kecil tidak sanggup menghabiskannya.

Pantai Akarena

Hari ini akan benar-benar menjadi hari terakhir saya di Makassar. Sebelum kembali ke Jakarta, sepupu saya mengajak saya ke Pantai Akarena bersama sepupu dan keponakan lainnya. Salah satu alasan mengapa sepupu saya mengajak ke sini karena ada acara dari tempat ia membeli rumah. Beruntungnya karena acara tersebut kami tidak perlu membayar tiket masuk yang harganya kurang lebih sekitar Rp 10.000,- /orang.



Jika di Pantai Losari kita tidak menemukan pasir seperti pantai pada umumnya, maka di Pantai Akarena ini kita dapat menemukan pasir berwarna hitam. Tidak ada yang terlalu istimewa dari tempat ini. Hanya pantai yang dipenuhi anak-anak yang berenang di sana sini, pohon kelapa yang mengelilingi pantai dan ada juga tempat bermain anak-anak di dekatnya. Tempat ini juga memiliki dermaga, untuk melihat laut dari tengah atas pantai.

Angin sepoi-sepoi dan ombak yang naik turun menambah semangat saya berada di tempat ini walaupun panas begitu terik. Ombak pantai pun mengingatkan masa kecil saya yang sering mengejar ombak ketika mereka turun dan lari ke pantai ketika ombak itu naik. 

Melihat ombak dan air di pantai, ingin sekali rasanya saya berenang dan bermain dengan air. Tapi ada daya, saya tidak membawa baju ganti saat itu dan situasi tidak memungkinkan untuk melakukannya. Saya pun hanya bisa menikmati pemandangan laut dari atas dermaga dan bermain dengan ombak seadanya.



Tidak terlalu lama kami berada di pantai ini, begitu acara sepupu saya selesai, kami pun langsung beranjak pulang. Di rumah telah menanti satu box berisi Pisang Ijo untuk dibawa pulang ke Jakarta sebagai oleh-oleh dan tentunya mencicipi satu piring terlebih dahulu sebelum dibawa pulang. Selain Pisang Ijo, paman juga memberikan kami oleh-oleh berupa sirup markisa, kacang mete, dan jagung disko.

Kembali ke Jakarta

Setelah melaksanakan sholat ashar, kami pun bersiap menuju bandara Di antar oleh paman dan sepupu saya, kami pun berangkat dengan Toyota Carry. Sepupu dan keponakan dari kampung pun menyusul menggunakan motor karena belum sempat berjumpa untuk pamit ketika kami pergi ke kota.

Belum juga sampai di Bandara, paman saya sudah meneteskan air mata karena harus berpisah dengan kami. Paman saya ini sebenarnya bukanlah tipe orang yang mudah menangis. Kata ayah hanya orang yang hebat yang bisa membuatnya menangis. Dan itu adalah saat kepergian kami karena paman saya ini mencintai saya seperti anaknya sendiri. Sama seperti sayangnya paman kepada ayah saya.
Air mata paman dan sepupu saya pun semakin deras begitu kami akan masuk bandara. Berpisah dengan mereka pun membuat saya ikut menangis.

Saya hanya bisa berharap akan bisa sesering mungkin mengunjungi tempat kelahiran ayah ini. Bagaimanapun darah Makassar mengalir di dalam tubuh saya dan saya pun sangat menyukainya. Makassar dengan pesonanya dan keramahan orang-orangnya terutama kebaikan keluarga saya membuat saya jatuh cinta pada kunjungan pertama ini.




Bis bald, Makassar! See you next time!

Lihat Juga :
Kunjugan Pertama Ke Makassar (II)
Kunjugan Pertama Ke Makassar (I)

2 komentar:

  1. Sama seperti saya, saya juga cinta skali dengan makassar karena kebaikan keluarga saya rasanya sedih untuk meninggalkan mereka walau saya tahu saya akan berjumpa mereka lagi

    BalasHapus