Alhasil, kami pun pergi ke Benteng Fort Rotterdam yang tidak jauh dari
Pantai Losari. Benteng Rotterdam ini adalah rekomendasi teman saya yang
berkuliah di jurusan sejarah di salah satu universitas di Bandung. Begitu ia
merekomendasikannya, Benteng Rotterdam menjadi tempat yang harus saya kunjungi
setelah Pantai Losari.
Benteng Fort Rotterdam ini adalah benteng peninggalan kerajaan Gowa dan
Tallo yang berdiri sejak tahun 1545. Nama awal benteng ini adalah Benteng Ujung
Pandang. Namun akibat perjanjian Bongaya, benteng ini terpaksa diberikan kepada
Belanda dan mereka mengubah nama benteng ini menjadi Benteng Fort Rotterdam.
Untuk memasuki tempat ini, kami harus mengisi daftar pengunjung dan
memberikan uang seikhlasnya sebagai bantuan untuk mengurus sarana dan prasarana
tempat ini.
Ketika menginjakkan kaki memasuki tempat ini, kita akan disambut dengan
arsitektur kuno bangunan yang indah dan megah. Taman dengan rerumputan hijau
pun menghiasi di tengah tempat ini. Di tengah taman ini juga terdapat bangunan
yang cukup besar, namun karena tidak ada guide yang mendampingi, saya
tidak tahu bangunan apa yang berdiri di tengah taman ini.
Arsitektur bangunan tempat ini cukup unik. Setelah melewati pintu masuk,
jika kita belok ke arah kanan atau kiri akan terdapat tanjakan yang akan
mengantarkan kita ke pinggir tembok benteng ini. Pinggir tembok inipun seperti
taman karena dihiasi rumput hijau dan terdapat puing-puing benteng zaman dulu
yang masih tersisa.
Dari pinggir tembok ini kita dapat melihat keseluruhan Benteng Fort
Rotterdam dari atas, walaupun tidak terlalu tinggi. Pinggiran tembok ini juga
hampir mengelilingi keseluruhan
bangunan Benteng Fort
Rotterdam. Terdapat jalur seperti parit menghiasi tembok ini yang katanya
digunakan oleh para prajurit untuk berlindung dan berpindah tempat.
Setelah puas menikmati pemandangan dari atas, kami pun beranjak untuk
mengelilingi luasnya Benteng Fort Rotterdam. Banyak sekali pengunjung yang
datang untuk menikmati sore hari yang indah di Kota Makassar dengan duduk di
taman. Terlihat juga beberapa turis asing yang datang. Benteng ini mirip dengan Kota Tua di Jakarta. Terdapat penjara untuk
pribumi di lorong-lorong bangunan. Gedung tempat ruang tahanan Pangeran
Diponegoro saat dibuang oleh Belanda juga berada di sini.
Bangunan Benteng Fort Rotterdam juga dijadikan tempat museum yang berisi
peninggalan sejarah dan kebudayaan yang ada di Kota Makassar serta beberapa
kota lainnya di Sulawesi Selatan. Ternyata untuk masuk ke dalam museum ini kami
dipungut biaya lagi dengan kategori yang berbeda untuk anak dan dewasa.
Museum ini menampilkan benda-benda pusaka yang ada pada zaman Kerajaan
Gowa-Tallo seperti perhiasan yang dipakai pada zaman tersebut dan mahkota
kerajaan juga terdapat di museum ini. Pakaian Adat Baju Bodo dan Tradisi Pernikahan
adat Makassar, Rumah Adat Tongkonan, peralatan bertani, miniatur kapal pinisi, jaring
yang digunakan untuk menangkap ikan juga ditampilkan di museum ini. Museum ini
bisa menjadi tempat yang cocok untuk lebih mengenal sejarah dan kebudayaan
Makassar secara singkat.
Waktu yang sudah semakin gelap, memaksa kami untuk meninggalkan Benteng
Fort Rotterdam. Sebelum pulang ke rumah, paman mengajak saya beserta anak
dan cucunya untuk menikmati kuliner khas Makassar lainnya, yakni Pisang Epe.
Pisang Epe adalah pisang yang dipanggang gepeng dan diberi saus dari gula jawa
atau gula aren.
Sebenarnya saya sudah menikmati Pisang Epe buatan tante sebelum pergi
ke kampung di hari kedua di Makassar. Namun, sepupu saya menyuruh untuk
mencicipi Pisang Epe yang banyak dijual di pinggir jalan Kota Makassar karena
memiliki rasa yang bervariasi. Tidak hanya dengan saus dari gula jawa saja
seperti yang dibuat di rumah.
Saya pun memesan Pisang Epe rasa keju dan coklat. Walapun rasanya keju dan
coklat, pisang epe ini tetap disajikan dengan saus gula jawa. Keaslian resep
ini tetap terjaga rupanya. Pisang Epe ini disajikan dalam porsi kecil berisi
dua pisang yang cukup mengenyangkan perut saya. Malahan keponakan saya
yang masih kecil tidak sanggup
menghabiskannya.
Pantai Akarena
Hari ini akan benar-benar menjadi hari terakhir saya di Makassar. Sebelum
kembali ke Jakarta, sepupu saya mengajak saya ke Pantai Akarena bersama sepupu
dan keponakan lainnya. Salah satu alasan mengapa sepupu saya mengajak ke sini
karena ada acara dari tempat ia membeli rumah. Beruntungnya karena acara
tersebut kami tidak perlu membayar tiket masuk yang harganya kurang lebih
sekitar Rp 10.000,- /orang.
Jika di Pantai Losari kita tidak menemukan pasir seperti pantai pada
umumnya, maka di Pantai Akarena ini kita dapat menemukan pasir berwarna hitam.
Tidak ada yang terlalu istimewa dari tempat ini. Hanya pantai yang dipenuhi
anak-anak yang berenang di sana sini, pohon kelapa yang mengelilingi pantai dan
ada juga tempat bermain anak-anak di dekatnya. Tempat ini juga memiliki
dermaga, untuk melihat laut dari tengah atas pantai.
Angin sepoi-sepoi dan ombak yang naik turun menambah semangat saya berada
di tempat ini walaupun panas begitu terik. Ombak pantai pun mengingatkan masa
kecil saya yang sering mengejar ombak ketika mereka turun dan lari ke pantai
ketika ombak itu naik.
Melihat ombak dan air di pantai, ingin sekali rasanya
saya berenang dan bermain dengan air. Tapi ada daya, saya tidak membawa baju
ganti saat itu dan situasi tidak memungkinkan untuk melakukannya. Saya pun hanya bisa menikmati pemandangan laut dari atas dermaga dan bermain dengan ombak seadanya.
Tidak terlalu lama kami berada di pantai ini, begitu acara sepupu saya
selesai, kami pun langsung beranjak pulang. Di rumah telah menanti satu box
berisi Pisang Ijo untuk dibawa pulang ke Jakarta sebagai oleh-oleh dan tentunya mencicipi satu piring terlebih dahulu sebelum dibawa pulang. Selain Pisang Ijo, paman juga memberikan
kami oleh-oleh berupa sirup markisa, kacang mete, dan jagung disko.
Kembali ke Jakarta
Setelah melaksanakan sholat ashar, kami pun bersiap menuju bandara Di antar
oleh paman dan sepupu saya, kami pun berangkat dengan Toyota Carry. Sepupu dan
keponakan dari kampung pun menyusul menggunakan motor karena belum sempat
berjumpa untuk pamit ketika kami pergi ke kota.
Belum juga sampai di Bandara, paman saya sudah meneteskan air mata karena
harus berpisah dengan kami. Paman saya ini sebenarnya bukanlah tipe orang yang
mudah menangis. Kata ayah hanya orang yang hebat yang bisa membuatnya menangis.
Dan itu adalah saat kepergian
kami karena paman saya ini mencintai saya seperti anaknya sendiri. Sama seperti
sayangnya paman kepada ayah saya.
Air mata paman dan sepupu saya pun semakin deras begitu kami akan masuk
bandara. Berpisah dengan mereka pun membuat saya ikut menangis.
Saya hanya bisa berharap akan bisa sesering mungkin mengunjungi tempat
kelahiran ayah ini. Bagaimanapun darah Makassar mengalir di dalam tubuh saya
dan saya pun sangat menyukainya. Makassar dengan pesonanya dan keramahan
orang-orangnya terutama kebaikan keluarga saya membuat saya jatuh cinta pada
kunjungan pertama ini.
Bis bald, Makassar! See you next time!
Lihat Juga :
Kunjugan Pertama Ke Makassar (II)
Kunjugan Pertama Ke Makassar (I)
Lihat Juga :
Kunjugan Pertama Ke Makassar (II)
Kunjugan Pertama Ke Makassar (I)
(y)
BalasHapusSama seperti saya, saya juga cinta skali dengan makassar karena kebaikan keluarga saya rasanya sedih untuk meninggalkan mereka walau saya tahu saya akan berjumpa mereka lagi
BalasHapus