Senin, 08 September 2014

, ,

Kunjugan Pertama Ke Makassar (II)

Akhirnya setelah tertunda hampir lebih dari sebulan, bagian kedua ini berhasil ditulis jugaa.... selamat membaca!

Sesuai dengan rencana semula, hari kedua di Makassar kami akan mengunjungi keluarga ayah di kampung Kabupaten Jeneponto. Perlu waktu kurang lebih sekitar dua jam perjalanan dari kota untuk sampai ke kampung. Orang sana mengenalnya dengan istilah naik ke atas”. Mungkin karena posisi topografi perkampungan yang lebih tinggi daripada di kota.

Pada dasarnya pemandangan perjalanan dari ke kota ke kampung di Makassar hampir sama seperti di kota. Pemandangan yang di kelilingi pepohonan dan persawahan, di beberapa titik ada rumah penduduk yang rapat dan renggang, pasar tradisional, dan hal lainnya.

Yang saya ingat untuk menuju Kab. Jeneponto, kami  melewati beberapa kabupaten lainnya, seperti Kab. Gowa dan Kab. Takalar. Kami melewati jembatan kembar saat hendak meninggalkan Kab. Gowa dan disambut Gapura dengan patung penunggang Kuda di sisi kiri dan kanan jalan saat sampai di Kab. Takalar.

Ciri khas kuliner dari kabupaten ini adalah Coto Kuda. Ini terlihat dari berbagai rumah makan yang menghidangkan menu ini di spanduk depan rumah makan mereka. Sayangnya saya belum sempat mecipinya ketika berada di sini.

Ketika hampir sampai di Kampung, lalu lalang kendaraan semakin berkurang. Bahkan bisa dikatakan untuk beberapa waktu hanya kendaraan kami saja yang lewat dan satu atau dua sepeda motor. Hamparan hijaunya sawah pun semakin meluas dan terlihat gunung-gunung kehijauan. Yang membuat saya lebih kagum lagi adalah langit Makassar yang begitu indah dan bentuk-bentuk awan yang menurut saya unik ditambah juga dengan persawahan hijau yang membentang.

Setiba di Kampung

Sebuah sekolah berdiri menjadi petanda bahwa perkampungan tempat keluarga saya berada hanya tinggal beberapa ratus meter lagi. Akhirnya saya pun tiba di Kampung Barana, Kab. Jeneponto. Semua rumah penduduk adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu, kecuali rumah saudara saya yang TNI. Ia membangun rumah seperti rumah di kota. Mereka menyebutnya rumah batu karena tersusun dari batu bata. Kami pun menginap di rumahnya untuk malam pertama di kampung.

Hampir di setiap rumah di kampung ini memiliki minimal seekor kuda. Karena kebanyakan pekerjaan penduduk di sini adalah bertani maka menjadi hal yang biasa jika mereka memiliki seekor kuda. Bahkan banyak pula dari rumah penduduk yang memiliki lebih dari seekor kuda dan beberapa sapi. Kegunaan mereka tentu untuk mengangkut pupuk dan hasil tani.

Begitu tahu bahwa kami telah sampai, tak lama kemudian banyak orang-orang berkumpul untuk berjumpa dengan kami terutama ayah saya yang sudah hampir 19 tahun tidak pulang ke kampung halaman ini. Isak tangis bahagia dan peluk erat menyambut kami. Rumah sepupu saya inipun menjadi ramai tak hentinya sampai pagi.

Ketika keponakan-keponakan saya sudah pulang dari sekolah, mereka mengajak saya untuk jalan-jalan ke sawah. Kami menggunakan sepeda motor ke sana. Setelah tiba di persawahan, keponakan saya meminta sepupu saya untuk mengambil coppeng, atau yang biasa kita kenal di sini dengan sebutan buah jamblang. Tanpa ragu, sepupu laki-laki saya yang berbadan kecil ini langsung memanjat pohon dan mengambil semua buahnya. Setelah coppeng berhasil didapat saatnya kami menikmati pemandangan sekitar dan berfoto-foto. Sungguh pemandangan hijau yang luar biasa.

FYI, keponakan saya ini rata-rata sudah SMP dan SMA, bahkan ada yang sudah lulus D3. Sedangkan hampir semua sepupu-sepupu saya sudah berkeluarga dan memiliki banyak anak. Jadi, saya adalah adik sepupu mereka yang masih muda dan sepantaran dengan anak-anak mereka. Hihihi

Noraknya Orang Kota Masuk Kampung

Karena kunjungan saya ke kampung bukan pada saat libur sekolah, hari kedua di kampung, agak sedikit sepi karena beberapa keponakan saya harus pergi bersekolah, walaupun ada juga yang bolos demi bersama ayah saya.

Di hari kedua ini, kami mengunjungi rumah paman saya. Paman saya ini adalah keluarga sedarah dari ayah yang tersisa karena kakek, nenek, paman dan bibi saya yang lain sudah meninggal dunia. Rumah paman adalah rumah panggung, karena keluarga saya tahu kondisi ayah yang tidak bisa berjalan dengan baik, alhasil untuk naik ke rumah ayah di gendong oleh sepupu saya.

Setelah rumah sepupu saya yang ramai, kini keramaian berpindah ke rumah paman saya ini. Kami disuguhi Songkolo. Songkola sama halnya dengan ketan hitam yang dibungkus dengan daun pisang dan diberi kelapa parut.

Jujur saja, saya tidak bisa berbicara bahasa Makassar. Hanya beberapa kata yang saya ingat dari  yang pernah ayah ajarkan. Jadi saya tidak mengerti semua percakapan mereka, anak kecil di sana pun hanya bisa berbahasa Makassar. Beruntung anak-anak yang sudah bersekolah dapat berbahasa Indonesia dengan baik, sehingga saya bisa berkomunikasi dengan mereka dan mereka menerjemahkan bahasa Makassar untuk saya.

Saya pun belajar sedikit-sedikit kata-kata dari bahasa Makassar yang saya dengar. Ketika saya mengucapkan bahasa Makassar saat keluarga berkumpul, seketika seluruh keluarga saya tertawa mendengar ucapan saya. Saya berasa seperti bule yang baru bisa bahasa Indonesia dan kita tertawa karena mereka bisa bahasa yang kita ucapkan.

Karena bosan di dalam rumah yang isinya bapak-bapak bicara bahasa Makassar dan penuh dengan asap rokok, saya yang sejak hari pertama ingin sekali naik kuda, keluar teras bersama sepupu saya menuju kuda-kuda yang diikat di dekat pohon. Khawatir saya jatuh jika menunggangi kuda jantan, saya disarankan menaiki kuda betina. Tapi keinginan untuk menunggang kuda itu tak kunjung juga tiba hingga saya kembali ke Jakarta.

Niat hanya ingin mengelus si kuda pun juga kandas karena saya sendiri pun takut untuk menyentuh mereka. Mereka seakan ingin mengigit saya atau menendang saya dengan kaki belakang mereka setiap saya mencoba menyentuh. Saya sudah menyodorkan tangan untuk mengelus tapi badan saya menolak untuk maju karena takut, walaupun sepupu saya menemani saat itu. Ternyata salah satu dari dua kuda yang ada di depan saya adalah kuda balap. Balap kuda memang juga diadakan di kampung ini.

Sore harinya kami dibawa ke Kampung Santigia, di rumah sepupu saya lainnya di kampung dekat laut. Malam itu kami menginap di sini. Perjalanan yang ditempuh dari Kampung Barana ke Kampung Santigia memerlukan waktu dua jam. Kondisi jalanannya pun rusak. Banyak jalanan berlubang di sana sini.

Tidak semua lantai dasar rumah panggung saat ini digunakan sebagai kandang hewan atau tempat penyimpanan pupuk seperti zaman dulu. Walaupun masih ada banyak rumah menggunakan fungsi untuk itu, tapi ada beberapa rumah panggung saat ini membangun bagian bawahnya dengan model rumah batu seperti rumah di kota pada umumnya. Jadi, lantai satu adalah rumah batu dan lantai dua adalah rumah kayu.

Pagi hari di Kampung Santigia saya begitu semangat karena sesuai janji sepupu saya, saya akan diajak naik perahu untuk berkeliling laut. Inilah yang saya tunggu-tunggu. Laut dan pantai. Saya menaiki perahu sepupu saya bersama anaknya yang biasa ia gunakan untuk mengurus rumput laut. Lagi-lagi saya takjub dengan keindahan ini.

Air di laut ini berwarna kehijauan. Sayangnya, masih banyak masyarakatnya yang membuat sampah dipinggir laut. Bahkan istri sepupu saya pun membuang sampah ke dalam air tepat di depan saya. Ada juga nelayan-nelayan yang buang air besar di pinggir laut. Aduh jadi ga asik deh. Tapi saya tetap excited sih kalau  tetap pemandangan lurus ke depan.


Kami pun melaju. Saya pikir kami akan berhenti dipinggir pantai berpasir. Tapi sepupu saya ini justru memberhentikan kami di pinggir pantai berpohon yang banyak terdapat banyak batu coral dan kelomang. Saya tetap excited tentunya. Saya Cuma bisa selfie dan memoto pemandangan karena foto yang sepupu saya captured tak tersimpan.

Setelah cukup lama berhenti, akhirnya kami kembali ke rumah. Kami melewati kumpulan botol plastik yang muncul di permukaan air. Rupanya itu adalah ternak rumput laut yang mereka tandai. Walaupun Cuma sebentar, I had a great time on this boat. Ini nih noraknya orang kota masuk kampung.

Kami menikmati semangkok bakso di saing hari sebelum kembali menuju kampung Barana. Rasa bakso di kampung dan di kota jauh berbeda. Mereka menggunakan lebih banyak sagu ketimbang daging. Makanya harganya pun terjangkau. Saya lupa berapa tepatnya, tapi sekitar Rp 3000,- kita pun sudah bisa merasakan semangkuk bakso di kampung.

Ke Makam dengan Tandu

Setalah sholat jumat kami pun diantar ke Kampung Barana dengan sepupu-sepupu saya menggunakan mobil pick up. Kini isak tangis kesedihan dan peluk erak mengiringi kepergian kami menuju Barana. Mereka pun menyiapkan kami oleh-oleh berupa makanan dan kebanyakan dari mereka memberikan kami sarung. Saya pun sedih harus meninggal keluarga saya yang baru saya jumpai satu hari ini.

Perjalanan menggunakan mobil pick up dan duduk di bagian belakang bukan hal baru buat saya. Jika sebelumnya saya malu dan lebih banyak tidur sepanjang perjalanan dari Bogor ke Jakarta, di Makassar ini justru saya senang sekali karena duduk bersama saudara-saudara saya yang menceritakan tentang nenek saya yang mampu berjalan kaki dari Kampung Barana ke Santigia kurang dari satu jam dengan ilmunya. Ditambah juga mata saya dihibur dengan pemandangan yang menakjubkan walaupun cuaca di Makassar sangat panas.

Tujuan utama perjalanan saya dan orang tua saya adalah mengunjungi makam kakek dan nenek saya. Maka di hari ke emapt di kampung, kami pun berziarah ke makam kakek dan nenek. Tidak mudah ternyata untuk sampai ke sana. Kami harus melewati pematang sawah yang becek luar biasa. Sepatu atau pun sandal harus kami lepas agar tidak blong. Lalu bagaimana dengan ayah saya? Luar biasanya kekeluargaan warga kampung ini, mereka membuat tandu agar bisa membawa ayah saya secara bersamaan menuju makam. Jadilah ayah saya seperti penganten sunnat.

Saya pun menikmati berjalan di sawah. Sampai-sampai saudara saya sedikit kagum karena saya bisa berjalan cepat di tanah becek. Sedangkan mama berjalan agak lambat dan harus dituntut karena terjebak lumpur.

Setelah berziarah dan makan siang di rumah saudara kami, akhirnya kami kembali menuju kota Makassar untuk berrekreasi menikmati sisa hari terakhir di kota ini. sama halnya seperti di Santigia, seluruh keluarga kami menangis karena kami harus kembali dan memberi oleh-oleh seperti sarung dan banyak makanan.

Saya sangat mencintai mereka. Walaupun ini pertama kalinya bertemu, saya sangat nyaman dengan mereka. Saat perjalanan dari kota menuju kampung, om saya sangat yakin, saya tidak akan betah berlama-lama di kampung. Pada awalnya saya juga tidak begitu betah karena kondisi kamar mandi yang tidak sebagus di kota. Rumah sepupu saya yang 100% terbuat dari kayu, memiliki kamar mandi yang ditutupin asbes disekelilingnya dan menyisakan beberapa lubang kecil yang cukup bikin gelisah, khawatir ada yang mengintip. Tapi lama-lama saya pun menikmati aktivitas di kampung ini. Semoga saya bisa kembali lagi nanti untuk berjumpa dengan mereka.

masih berlanjut nih hari terakhir di Kota Makassar di part ketiga


Lihat Juga:
Kunjugan Pertama Ke Makassar (I)
Kunjugan Pertama Ke Makassar (III)

2 komentar:

  1. Bagus tulisanya dan pengalaman yang mengisparasi doakan hamdan bisa ke jeneponto melihat keidahan bumi pertiwi sebagai perwujudan rasa syukur pada Sang Pencipta.

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin. semoga bisa mengelilingi bumi pertiwi

      Hapus