Akhirnya setelah tertunda hampir lebih dari sebulan, bagian kedua ini berhasil ditulis jugaa.... selamat membaca!
Sesuai dengan rencana semula, hari kedua di Makassar kami akan mengunjungi keluarga ayah di kampung Kabupaten Jeneponto. Perlu waktu kurang lebih sekitar dua jam perjalanan dari kota untuk sampai ke kampung. Orang sana mengenalnya dengan istilah “naik ke atas”. Mungkin karena posisi topografi perkampungan yang lebih tinggi daripada di kota.
Sesuai dengan rencana semula, hari kedua di Makassar kami akan mengunjungi keluarga ayah di kampung Kabupaten Jeneponto. Perlu waktu kurang lebih sekitar dua jam perjalanan dari kota untuk sampai ke kampung. Orang sana mengenalnya dengan istilah “naik ke atas”. Mungkin karena posisi topografi perkampungan yang lebih tinggi daripada di kota.
Pada dasarnya pemandangan perjalanan dari ke kota ke kampung di Makassar
hampir sama seperti di kota. Pemandangan yang di kelilingi pepohonan dan
persawahan, di beberapa titik ada rumah penduduk yang rapat dan renggang, pasar
tradisional, dan hal lainnya.
Yang saya ingat untuk menuju Kab. Jeneponto, kami melewati beberapa kabupaten lainnya, seperti
Kab. Gowa dan Kab. Takalar. Kami melewati jembatan kembar saat hendak
meninggalkan Kab. Gowa dan disambut Gapura dengan patung penunggang Kuda di
sisi kiri dan kanan jalan saat sampai di Kab. Takalar.
Ciri khas kuliner dari kabupaten ini adalah Coto Kuda. Ini terlihat dari berbagai rumah makan yang menghidangkan menu ini di spanduk depan rumah makan mereka. Sayangnya saya belum sempat mecipinya ketika berada di sini.
Ciri khas kuliner dari kabupaten ini adalah Coto Kuda. Ini terlihat dari berbagai rumah makan yang menghidangkan menu ini di spanduk depan rumah makan mereka. Sayangnya saya belum sempat mecipinya ketika berada di sini.
Ketika hampir sampai di Kampung, lalu lalang kendaraan semakin berkurang. Bahkan
bisa dikatakan untuk beberapa waktu hanya kendaraan kami saja yang lewat dan satu
atau dua sepeda motor. Hamparan hijaunya sawah pun semakin meluas dan terlihat
gunung-gunung kehijauan. Yang membuat saya lebih kagum lagi adalah langit
Makassar yang begitu indah dan bentuk-bentuk awan yang menurut saya unik ditambah juga dengan persawahan hijau yang membentang.
Setiba di Kampung
Sebuah sekolah berdiri menjadi petanda bahwa perkampungan tempat keluarga
saya berada hanya tinggal beberapa ratus meter lagi. Akhirnya saya pun tiba di
Kampung Barana, Kab. Jeneponto. Semua rumah penduduk adalah rumah panggung yang
terbuat dari kayu, kecuali rumah saudara saya yang TNI. Ia membangun rumah
seperti rumah di kota. Mereka menyebutnya rumah batu karena tersusun dari batu
bata. Kami pun menginap di rumahnya untuk malam pertama di kampung.
Begitu tahu bahwa kami telah sampai, tak lama kemudian banyak orang-orang
berkumpul untuk berjumpa dengan kami terutama ayah saya yang sudah hampir 19
tahun tidak pulang ke kampung halaman ini. Isak tangis bahagia dan peluk erat
menyambut kami. Rumah sepupu saya inipun menjadi ramai tak hentinya sampai
pagi.
Ketika keponakan-keponakan saya sudah pulang dari sekolah, mereka mengajak
saya untuk jalan-jalan ke sawah. Kami menggunakan sepeda motor ke sana. Setelah
tiba di persawahan, keponakan saya meminta sepupu saya untuk mengambil coppeng,
atau yang biasa kita kenal di sini dengan sebutan buah jamblang. Tanpa ragu, sepupu
laki-laki saya yang berbadan kecil ini langsung memanjat pohon dan mengambil
semua buahnya. Setelah coppeng berhasil didapat saatnya kami menikmati
pemandangan sekitar dan berfoto-foto. Sungguh pemandangan hijau yang luar
biasa.
FYI, keponakan saya ini rata-rata sudah SMP dan SMA, bahkan ada yang sudah
lulus D3. Sedangkan hampir semua sepupu-sepupu saya sudah berkeluarga dan
memiliki banyak anak. Jadi, saya adalah adik sepupu mereka yang masih muda dan
sepantaran dengan anak-anak mereka. Hihihi
Noraknya Orang Kota Masuk Kampung
Karena kunjungan saya ke kampung bukan pada saat libur sekolah, hari kedua di kampung, agak sedikit sepi karena beberapa keponakan saya harus pergi bersekolah, walaupun ada juga yang bolos demi bersama ayah saya.
Di hari kedua ini, kami mengunjungi rumah paman saya. Paman saya ini adalah
keluarga sedarah dari ayah yang tersisa karena kakek, nenek, paman dan bibi
saya yang lain sudah meninggal dunia. Rumah paman adalah rumah panggung, karena
keluarga saya tahu kondisi ayah yang tidak bisa berjalan dengan baik, alhasil
untuk naik ke rumah ayah di gendong oleh sepupu saya.
Setelah rumah sepupu saya yang ramai, kini keramaian berpindah ke rumah
paman saya ini. Kami disuguhi Songkolo. Songkola sama halnya dengan ketan hitam yang dibungkus dengan daun pisang dan diberi kelapa parut.
Jujur saja, saya tidak bisa berbicara bahasa Makassar. Hanya beberapa kata
yang saya ingat dari yang pernah ayah ajarkan. Jadi saya tidak
mengerti semua percakapan mereka, anak kecil di sana pun hanya bisa berbahasa Makassar. Beruntung
anak-anak yang sudah bersekolah dapat berbahasa Indonesia dengan baik, sehingga saya bisa berkomunikasi dengan mereka dan mereka menerjemahkan bahasa Makassar untuk saya.
Saya pun belajar sedikit-sedikit kata-kata dari bahasa Makassar yang saya
dengar. Ketika saya mengucapkan bahasa Makassar saat keluarga berkumpul, seketika seluruh keluarga saya
tertawa mendengar ucapan saya. Saya berasa seperti bule yang baru bisa bahasa
Indonesia dan kita tertawa karena mereka bisa bahasa yang kita ucapkan.
Karena bosan di dalam rumah yang isinya bapak-bapak bicara bahasa Makassar
dan penuh dengan asap rokok, saya yang sejak hari pertama ingin sekali naik
kuda, keluar teras bersama sepupu saya menuju kuda-kuda yang diikat di dekat
pohon. Khawatir saya jatuh jika menunggangi kuda jantan, saya disarankan
menaiki kuda betina. Tapi keinginan untuk menunggang kuda itu tak kunjung juga
tiba hingga saya kembali ke Jakarta.
Niat hanya ingin mengelus si kuda pun juga kandas karena saya sendiri pun
takut untuk menyentuh mereka. Mereka seakan ingin mengigit saya atau menendang
saya dengan kaki belakang mereka setiap saya mencoba menyentuh. Saya sudah
menyodorkan tangan untuk mengelus tapi badan saya menolak untuk maju karena
takut, walaupun sepupu saya menemani saat itu. Ternyata salah satu dari dua
kuda yang ada di depan saya adalah kuda balap. Balap kuda memang juga diadakan
di kampung ini.
Sore harinya kami dibawa ke Kampung Santigia, di rumah sepupu saya lainnya
di kampung dekat laut. Malam itu kami menginap di sini. Perjalanan yang
ditempuh dari Kampung Barana ke Kampung Santigia memerlukan waktu dua jam. Kondisi
jalanannya pun rusak. Banyak jalanan berlubang di sana sini.
Tidak semua lantai dasar rumah panggung saat ini digunakan sebagai kandang
hewan atau tempat penyimpanan pupuk seperti zaman dulu. Walaupun masih ada
banyak rumah menggunakan fungsi untuk itu, tapi ada beberapa rumah panggung
saat ini membangun bagian bawahnya dengan model rumah batu seperti rumah
di kota pada umumnya. Jadi, lantai satu adalah rumah batu dan lantai dua adalah
rumah kayu.
Pagi hari di Kampung Santigia saya begitu semangat karena sesuai janji
sepupu saya, saya akan diajak naik perahu untuk berkeliling laut. Inilah yang
saya tunggu-tunggu. Laut dan pantai. Saya menaiki perahu sepupu saya bersama
anaknya yang biasa ia gunakan untuk mengurus rumput laut. Lagi-lagi saya takjub
dengan keindahan ini.
Air di laut ini berwarna kehijauan. Sayangnya, masih banyak masyarakatnya yang membuat
sampah dipinggir laut. Bahkan istri sepupu saya pun membuang sampah ke dalam air tepat di
depan saya. Ada juga nelayan-nelayan yang buang air besar di pinggir laut. Aduh
jadi ga asik deh. Tapi saya tetap excited sih kalau tetap pemandangan lurus ke
depan.
Kami pun melaju. Saya pikir kami akan berhenti dipinggir pantai berpasir. Tapi
sepupu saya ini justru memberhentikan kami di pinggir pantai berpohon yang banyak terdapat banyak batu coral dan kelomang. Saya tetap excited tentunya. Saya Cuma bisa
selfie dan memoto pemandangan karena foto yang sepupu saya captured tak
tersimpan.
Setelah cukup lama berhenti, akhirnya kami kembali ke rumah. Kami melewati
kumpulan botol plastik yang muncul di permukaan air. Rupanya itu adalah ternak
rumput laut yang mereka tandai. Walaupun Cuma sebentar, I had a great time
on this boat. Ini nih noraknya orang kota masuk kampung.
Kami menikmati semangkok bakso di saing hari sebelum kembali menuju kampung
Barana. Rasa bakso di kampung dan di kota jauh berbeda. Mereka menggunakan
lebih banyak sagu ketimbang daging. Makanya harganya pun terjangkau. Saya lupa
berapa tepatnya, tapi sekitar Rp 3000,- kita pun sudah bisa merasakan semangkuk
bakso di kampung.
Ke Makam dengan Tandu
Setalah sholat jumat kami pun diantar ke Kampung Barana dengan
sepupu-sepupu saya menggunakan mobil pick up. Kini isak tangis kesedihan dan
peluk erak mengiringi kepergian kami menuju Barana. Mereka pun menyiapkan kami
oleh-oleh berupa makanan dan kebanyakan dari mereka memberikan kami sarung. Saya
pun sedih harus meninggal keluarga saya yang baru saya jumpai satu hari ini.
Perjalanan menggunakan mobil pick up dan duduk di bagian belakang bukan hal
baru buat saya. Jika sebelumnya saya malu dan lebih banyak tidur sepanjang
perjalanan dari Bogor ke Jakarta, di Makassar ini justru saya senang sekali
karena duduk bersama saudara-saudara saya yang menceritakan tentang nenek saya
yang mampu berjalan kaki dari Kampung Barana ke Santigia kurang dari satu jam
dengan ilmunya. Ditambah juga mata saya dihibur dengan pemandangan yang
menakjubkan walaupun cuaca di Makassar sangat panas.
Tujuan utama perjalanan saya dan orang tua saya adalah mengunjungi makam kakek
dan nenek saya. Maka di hari ke emapt di kampung, kami pun berziarah ke makam
kakek dan nenek. Tidak mudah ternyata untuk sampai ke sana. Kami harus melewati
pematang sawah yang becek luar biasa. Sepatu atau pun sandal harus kami lepas
agar tidak blong. Lalu bagaimana dengan ayah saya? Luar biasanya kekeluargaan
warga kampung ini, mereka membuat tandu agar bisa membawa ayah saya secara
bersamaan menuju makam. Jadilah ayah saya seperti penganten sunnat.
Saya pun menikmati berjalan di sawah. Sampai-sampai saudara saya sedikit
kagum karena saya bisa berjalan cepat di tanah becek. Sedangkan mama berjalan
agak lambat dan harus dituntut karena terjebak lumpur.
Setelah berziarah dan makan siang di rumah saudara kami, akhirnya kami
kembali menuju kota Makassar untuk berrekreasi menikmati sisa hari terakhir di
kota ini. sama halnya seperti di Santigia, seluruh keluarga kami menangis
karena kami harus kembali dan memberi oleh-oleh seperti sarung dan banyak
makanan.
Saya sangat mencintai mereka. Walaupun ini pertama kalinya bertemu, saya
sangat nyaman dengan mereka. Saat perjalanan dari kota menuju kampung, om saya
sangat yakin, saya tidak akan betah berlama-lama di kampung. Pada awalnya saya
juga tidak begitu betah karena kondisi kamar mandi yang tidak sebagus di kota. Rumah
sepupu saya yang 100% terbuat dari kayu, memiliki kamar mandi yang ditutupin
asbes disekelilingnya dan menyisakan beberapa lubang kecil yang cukup bikin
gelisah, khawatir ada yang mengintip. Tapi lama-lama saya pun menikmati
aktivitas di kampung ini. Semoga saya bisa kembali lagi nanti untuk berjumpa
dengan mereka.
masih berlanjut nih hari terakhir di Kota Makassar di part ketiga
Lihat Juga:
Kunjugan Pertama Ke Makassar (I)
Kunjugan Pertama Ke Makassar (III)
Bagus tulisanya dan pengalaman yang mengisparasi doakan hamdan bisa ke jeneponto melihat keidahan bumi pertiwi sebagai perwujudan rasa syukur pada Sang Pencipta.
BalasHapusaamiin. semoga bisa mengelilingi bumi pertiwi
Hapus