Selasa, 11 November 2014

,

Tiongkok: Dulu, Kini, dan di Sini

Ketertarikan saya dengan sejarah dan budaya Tiongkok bermula saat saya menyaksikan drama sejarah Korea Goddess of Fire, Joeng Yi yang menceritakan tentang wanita pembuat tembikar pertama di Korea. Dalam drama ini menyajikan hubungan diplomatik antara Dinasti Joseon dari Korea dan Dinasti Ming dari Tiongkok. Konflik dalam drama ini ditambah dengan hadirnya Kerajaan Jepang yang menyerang Korea untuk menculik si wanita pembuat tembikar ini.

Dari drama itu, saya jadi bertanya-tanya tentang hubungan dari ketiga negara tersebut. Mereka memiliki banyak kesamaan. Dari mulai ras, budaya, dan bahkan mereka menggunakan bahasa aksara yang hampir sama. Hingga saya sempat mengambil hipotesa sendiri (tanpa membaca referensi literatur) bahwa akar budaya dari ketiga negara ini adalah negara Tiongkok.

Hipotesa ini saya ambil karena sejarah panjang Tiongkok yang sudah lahir sejak sebelum masehi dan sepadan dengan masa Mesopotamia dan Mesir Kuno. Selain itu, Jepang dan Korea membuat bahasa aksara mereka sendiri karena rakyat mereka kesulitan dalam mempelajari bahasa mandarin. Tiongkok juga merupakan guru dari Jepang, walaupun pada akhirnya Jepang pernah menyerang Tiongkok saat diserang oleh bangsa asing pada perang candu.

Sejarah panjang Tiongkok mengantarkan masyarakatnya menjelajahi dunia pada masa Dinasti Ming yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho pada abad ke 14. Bumi nusantara pun tak luput dari penjelajahan mereka. Ketika Cheng Ho ke Indonesia ternyata penduduk Tiongkok sudah mendiami Indonesia lebih dulu. Nio Joe Lan dalam bukunya Tiongkok Sepanjang Abad menceritakan bahwa ketika Cheng Ho tiba di Palembang ia disambut oleh Raja Palembang yang merupakan orang Tionghoa bernama Chen Tsu I.

Keberadaan Chen Tsu I sebagai Raja Palembang mengindikasikan bahwa masyarakat Tiongkok memang sudah lama hidup bersama dengan masyarakat pribumi. Diperkirakan sejak abad ke-5 mereka telah mengunjungi Indonesia untuk mencari rempah-rempah dan menetap disini, hingga akhirnya mereka berakulturasi dengan pribumi.

Kehadiran masyarakat Tionghoa di Indonesia mengingatkan kembali tentang masa kecil saya yang tidak terlepas dari orang Tionghoa. Sejak saya bersekolah di bangku SD sampai di perguruan tinggi, saya selalu berteman baik dengan mereka. Tetangga di rumah atau bahkan setiap menikmati perjalanan selalu ditemukan orang Tionghoa. Pada intinya kita hidup berdampingan dengan mereka.
Di daerah Tangerang tempat saya tinggal terdapat komunitas Tionghoa yang sangat terkenal. Mereka adalah komunitas Cina Benteng yang merupakan cikal bakal hidupnya daerah kota Tangerang. Merekalah yang mengurusi daerah tersebut ketika masih berupa lahan kosong saat “diusir” secara halus oleh Belanda untuk mengurusi daerah Tangerang yang sebelumnya masih berupa hutan belukar. Hingga banyak masyarakat dari wilayah Nusantara lainnya datang meramaikan tempat ini. Orang pribumi Nusantara inipun menikah dengan orang Tiongkok totok ini dan menghasilkan Tiongkok peranakan.

Namun Eddy Prabowo Witanto MA, seorang sinolog dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa sejarah Cina Benteng berada karena banyaknya orang Tionghoa yang mengungsi ke daerah luar Batavia seperti Tangerang akibat serangan Belanda. Serangan Belanda ini terjadi pada tahun 1740 karena pemberontakan oleh orang Tionghoa akibat keputusan VOC yang ingin membuang orang-orang Tiongkok ke Sri Langka untuk bekerja di kebun milik VOC.

Secara penampilan orang-orang dari komunitas Cina Benteng ini tidak sama dengan orang Tionghoa kebanyakan yang berkulit putih dan bermata sipit. Sebaliknya, justru mereka sangat mirip dengan pribumi dengan wajahnya yang kecoklatan dan tidak bermata sipit. Warna kulit mereka yang terang berubah kecoklatan karena mereka bekerja sebagai petani menanami sayur-sayuran. Dari segi ekonomi pun, kebanyakan dari mereka adalah orang dari menengah kebawah.

Kata Benteng dari penamaan komunitas ini sendiri berasal dari nama Benteng Makassar yang dahulu pernah berdiri di tepi Sungai Cisadane, Tangerang. Dahulu benteng ini dikuasai oleh orang-orang asal Bone, Makassar yang dipimpin oleh Aru Palaka untuk mencegah direbutnya wilayah ini ke tangan VOC. Namun sayangnya Benteng ini sudah rata dengan tanah.

Sampai saat ini orang-orang dari Cina Benteng masih hidup berdampingan bersama pribumi dengan baik. Dalam percakapan sehari-hari pun mereka menggunakan bahasa Indonesia dan memang kebanyakan dari mereka sudah tidak bisa berbahasa mandarin. Logat bicara mereka pun sudah tercampur dengan logat Betawi Tangerang.

Di Tangerang sendiri terdapat acara budaya tahunan bernama Festival Cisadane. Acara budaya ini menampilkan kreatifitas masyarakat Tangerang dan juga kearifan lokal kota ini. Puncak acara dari festival ini adalah perayaan Pe Chun dan perlombaan perahu naga yang merupakan kebudayaan Tiongkok. Tidak lupa penampilan Barongsai dan Lion menjadi pertunjukkan favorit masyarakat sekitar.

Perayaan Tiongkok yang ditampilkan dalam acara budaya Festival Cisadane ini menunjukkan bahwa Kota Tangerang memang lahir dari budaya Tiongkok dan mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan kota ini. Kesenian Tari Cokek yang merupakan tari khas Tangerang sebenarnya adalah hasil akulturasi masyarakat sunda dengan Tiongkok. Begitu pula musik gambang kromong yang selalu ditampilkan dalam acara pernikahan. Makanan seperti asinan, capcay, kwetiau yang merupakan makanan khas Tiongkok pun sudah sering kita nikmati.


Secara keseluruhan kehadiran orang Tionghoa ini merupakan salah satu etnis yang tidak bisa dipisahkan dari bangsa Indonesia. Namun, sayang keberadaan mereka masih sering mendapat diskriminasi oleh pribumi. Entah karena mereka yang menguasai perekonomian di Indonesia, dilihat dari banyaknya perusahaan-perusahaan besar dan toko-toko yang pemiliknya adalah orang Tionghoa atau karena generalisasi sifat-sifat mereka. 

0 komentar:

Posting Komentar