Ketertarikan saya dengan sejarah
dan budaya Tiongkok bermula saat saya menyaksikan drama sejarah Korea Goddess of Fire, Joeng Yi yang
menceritakan tentang wanita pembuat tembikar pertama di Korea. Dalam drama ini menyajikan hubungan diplomatik antara Dinasti Joseon dari Korea dan Dinasti Ming dari Tiongkok. Konflik dalam drama ini
ditambah dengan hadirnya Kerajaan Jepang yang menyerang Korea untuk menculik si
wanita pembuat tembikar ini.
Dari drama itu, saya jadi bertanya-tanya tentang hubungan dari ketiga
negara tersebut. Mereka memiliki banyak kesamaan. Dari mulai ras, budaya, dan
bahkan mereka menggunakan bahasa aksara yang hampir sama. Hingga saya sempat
mengambil hipotesa sendiri (tanpa membaca referensi literatur) bahwa akar
budaya dari ketiga negara ini adalah negara Tiongkok.
Hipotesa ini saya ambil karena sejarah panjang Tiongkok yang sudah lahir
sejak sebelum masehi dan sepadan dengan masa Mesopotamia dan Mesir Kuno. Selain
itu, Jepang dan Korea membuat bahasa aksara mereka sendiri karena rakyat mereka
kesulitan dalam mempelajari bahasa mandarin. Tiongkok juga merupakan guru dari
Jepang, walaupun pada akhirnya Jepang pernah menyerang Tiongkok saat diserang
oleh bangsa asing pada perang candu.
Sejarah panjang Tiongkok mengantarkan masyarakatnya menjelajahi dunia pada
masa Dinasti Ming yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho pada abad ke 14. Bumi
nusantara pun tak luput dari penjelajahan mereka. Ketika Cheng Ho ke Indonesia
ternyata penduduk Tiongkok sudah mendiami Indonesia lebih dulu. Nio Joe Lan
dalam bukunya Tiongkok Sepanjang Abad menceritakan bahwa ketika Cheng Ho
tiba di Palembang ia disambut oleh Raja Palembang yang merupakan orang Tionghoa
bernama Chen Tsu I.
Keberadaan Chen Tsu I sebagai Raja Palembang mengindikasikan bahwa
masyarakat Tiongkok memang sudah lama hidup bersama dengan masyarakat pribumi. Diperkirakan
sejak abad ke-5 mereka telah mengunjungi Indonesia untuk mencari rempah-rempah
dan menetap disini, hingga akhirnya mereka berakulturasi dengan pribumi.
Kehadiran masyarakat Tionghoa di Indonesia mengingatkan kembali tentang
masa kecil saya yang tidak terlepas dari orang Tionghoa. Sejak saya bersekolah
di bangku SD sampai di perguruan tinggi, saya selalu berteman baik dengan mereka.
Tetangga di rumah atau bahkan setiap menikmati perjalanan selalu ditemukan
orang Tionghoa. Pada intinya kita hidup berdampingan dengan mereka.
Di daerah Tangerang tempat saya tinggal terdapat komunitas Tionghoa yang
sangat terkenal. Mereka adalah komunitas Cina Benteng yang merupakan cikal
bakal hidupnya daerah kota Tangerang. Merekalah yang mengurusi daerah tersebut
ketika masih berupa lahan kosong saat “diusir” secara halus oleh Belanda untuk
mengurusi daerah Tangerang yang sebelumnya masih berupa hutan belukar. Hingga
banyak masyarakat dari wilayah Nusantara lainnya
datang meramaikan tempat ini. Orang pribumi Nusantara inipun menikah dengan
orang Tiongkok totok ini dan menghasilkan Tiongkok peranakan.
Namun Eddy Prabowo Witanto MA,
seorang sinolog dari Universitas Indonesia mengatakan
bahwa sejarah Cina Benteng berada karena banyaknya orang Tionghoa yang
mengungsi ke daerah luar Batavia seperti Tangerang akibat serangan Belanda.
Serangan Belanda ini terjadi pada tahun 1740 karena pemberontakan oleh orang
Tionghoa akibat keputusan VOC yang ingin membuang orang-orang Tiongkok ke Sri
Langka untuk bekerja di kebun milik VOC.
Secara penampilan orang-orang dari komunitas Cina Benteng ini tidak sama
dengan orang Tionghoa kebanyakan yang berkulit putih dan bermata sipit. Sebaliknya,
justru mereka sangat mirip dengan pribumi dengan wajahnya yang kecoklatan dan
tidak bermata sipit. Warna kulit mereka yang terang berubah kecoklatan karena mereka
bekerja sebagai petani menanami sayur-sayuran. Dari segi ekonomi pun,
kebanyakan dari mereka adalah orang dari menengah kebawah.
Kata Benteng dari penamaan komunitas ini sendiri berasal dari nama Benteng
Makassar yang dahulu pernah berdiri di tepi Sungai Cisadane, Tangerang. Dahulu
benteng ini dikuasai oleh orang-orang asal Bone, Makassar yang dipimpin oleh
Aru Palaka untuk mencegah direbutnya wilayah ini ke tangan VOC. Namun sayangnya
Benteng ini sudah rata dengan tanah.
Sampai saat ini orang-orang dari Cina Benteng masih hidup berdampingan
bersama pribumi dengan baik. Dalam percakapan sehari-hari pun mereka
menggunakan bahasa Indonesia dan memang kebanyakan dari mereka sudah tidak bisa
berbahasa mandarin. Logat bicara mereka pun sudah tercampur dengan logat Betawi
Tangerang.
Di Tangerang sendiri terdapat acara budaya tahunan bernama Festival
Cisadane. Acara budaya ini menampilkan kreatifitas masyarakat Tangerang dan
juga kearifan lokal kota ini. Puncak acara dari festival ini adalah perayaan Pe
Chun dan perlombaan perahu naga yang merupakan kebudayaan Tiongkok. Tidak lupa
penampilan Barongsai dan Lion menjadi pertunjukkan favorit masyarakat sekitar.
Perayaan Tiongkok yang ditampilkan dalam acara budaya Festival Cisadane ini
menunjukkan bahwa Kota Tangerang memang lahir dari budaya Tiongkok dan mereka
sudah menjadi bagian dalam kehidupan kota ini. Kesenian Tari Cokek yang
merupakan tari khas Tangerang sebenarnya adalah hasil akulturasi masyarakat
sunda dengan Tiongkok. Begitu pula musik gambang kromong yang selalu
ditampilkan dalam acara pernikahan. Makanan seperti asinan, capcay, kwetiau
yang merupakan makanan khas Tiongkok pun sudah sering kita nikmati.
Secara keseluruhan kehadiran orang Tionghoa ini merupakan salah satu etnis
yang tidak bisa dipisahkan dari bangsa Indonesia. Namun, sayang keberadaan mereka
masih sering mendapat diskriminasi oleh pribumi. Entah karena mereka yang
menguasai perekonomian di Indonesia, dilihat dari banyaknya perusahaan-perusahaan
besar dan toko-toko yang pemiliknya adalah orang Tionghoa atau karena
generalisasi sifat-sifat mereka.
0 komentar:
Posting Komentar