Sabtu, 21 November 2015

Waktu dan Umur

Waktu terus berjalan. Di saat yang sama banyak sekali kejadian yang terjadi. Siapa sangka dalam suatu waktu kau akan berubah. Aku yang di awal tahun perkuliahan begitu rajin pergi mengaji, tidak pernah tahu kalau pada akhirnya aku sudah tidak pernah mengunjungi tempat pengajian sama sekali akhir-akhir ini. Entah karena kepergian Habib Munzir atau karena aku yang menghindari pertemuan dengan masa lalu itu. 

Aku pun bertanya-tanya akan jadi apa aku setelah lulus dan aku di tahun-tahun mendatang. Akankah aku bisa meraih semua impianku? Akankah aku bisa pergi ke jerman dan mengelar idealismeku sewaktu masih menjadi mahasiswa baru? Atau akankah perubahan besar akan terjadi?

 Masalah masa depan memang tidak ada yang tahu. Hanya Allah yang memegang masa depan kita. Benar kata imam gazhali kita tidak akan pernah tahu akhir hidup kita akan seperti apa nantinya. Bisa jadi si kafir berubah menjadi si alim yang sangat taat atau bahkan sebaliknya. Na’udzubillah.

Semenjak kepergian ayah, aku menjadi sering mendengar kematian orang lain. Kematian itu nyata. Kita tak akan pernah bisa mengelak atau berusaha. Ketika dalam perjalanan ke sekolah dengan motor, aku sering berpikir, dulu aku selalu merasa ayah akan berumur panjang. Aku bisa melihat ayah ketika wisuda nanti atau ketika aku menikah. Aku merasa aman saai itu. Padahal untuk penyakit sekelas ayah, tidak ada yang bisa disepelekan. Bahkan untuk umur.

Umur menjadi sebuah rahasia besar. Kepergian ayah menjadi refleksi untuk diriku tentang kematian itu sendiri. Aku jadi sering membayangkan seandainya aku akan menyusul ayah. Seandainya kematian mendekat. Akupun menjadi khawatir dengan mama. Aku takut mama akan sendirian di saat keluarga ini belum bisa berdiri sendiri. 

Maka akupun berdoa, agar aku bisa menjadi seorang yang mapan yang bisa membuat keluarga ini bangkit dari keterpurukan dan mampu berdiri sendiri bahkan membantu orang lain. Aku berdoa, agar aku bisa membahagiakan mama. Sehingga jika waktuku tiba, akupun bisa tenang jika harus meninggalkan mama lebih dahulu. 

Aku pun berdoa, sebelum waktuku tiba, aku bisa bermanfaat untuk orang lain. Aku bisa meninggalkan kenangan yang berguna untuk orang lain. Rasanya diri ini hampa sekali saat tak ada sesuatupun yang bisa dibagi untuk yang lain.  

Continue reading Waktu dan Umur
, , , ,

KKN Punya Cerita

Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) merupakan program baru dibawah tanggung jawab UPT Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) dan mulai dilaksanakan sejak Agustus tahun 2014. Program ini kemudian menjadi program wajib yang dilaksanakan untuk mahasiswa mulai dari angkatan 2012 sebagai syarat kelulusan.

Program KKN dilaksanakan ketika libur semester ganjil dan genap. Tahun 2015 ini, sudah berjalan dua periode KKN. Periode pertama sudah dilaksanakan pada Januari lalu dan periode kedua baru saja selesai dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus . Lama waktu kegiatan KKN adalah 30 hari.

Dilaksanakannya kegiatan KKN bertujuan untuk mengabdi kepada masyarakat sesuai dengan Tridarma Perguruan Tinggi. Mahasiswa dalam menjalankan kegiatan ini akan mengabdikan ilmu-ilmu yang telah mereka dapatkan di bangku kuliah kepada masyarakat desa yang cukup jauh dari perkotaan.

Pada awal mula dilaksanakannya program ini, mahasiswa memiliki tanggapan yang berbeda ketika harus menjalani program KKN. Banyak yang khawatir akan merepotkan dan tidak betah dengan keadaaan di tempat KKN nanti.

Seperti Ruwanti yang awalnya sempat berpikir bahwa KKN sangat merepotkan, “Pasti bakal ribet karena harus jauh dari rumah selama sebulan dan SKS KKN membuat saya harus mengubah perhitungan SKS saya semester ini, sehingga ada mata kuliah yang tidak bisa diambil,” ujar mahasiswi yang ditempatkan di Desa Pinangsari, Kab. Subang ini.

Walaupun di awal banyak yang tidak menyukai program KKN, tetapi masih ada mahasisawa yang justru menantikan program ini, seperti Farah yang mengatakan bahwa ia menyukai program KKN. “Kalau gue sih senang senang aja kalau ada program ini,” kata mahasiswi yang berkuliah di jurusan Bahasa Inggris ini.

Semua yang terpikirkan tentang ruwetnya KKN berubah ketika mereka menjalani program tersebut. Pengalaman mereka di desa ternyata menyenangkan. “Ternyata begitu menjalani KKN tidak sesulit dan semenderita yang dibayangkan sebelumnya,” ungkap Ruwanti.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh teman sekelompoknya Khoerunisa, “hari-hari pertama menjalani KKN sempat berpikir apa gunanya program ini, tapi begitu dijalani semakin lama ternyata mengasyikkan dan jadi pengalaman juga,” ungkap mahasiswi jurusan Bahasa Jerman 2012 tersebut.

Cerita KKN

Dalam menjalani program KKN, mahasiswa akan dibagi ke dalam tiga kelompok untuk satu desa yang terdiri dari sepuluh mahasiswa dan berasal dari lima atau enam jurusan yang berbeda. Kegiatan atau program kerja (proker) yang akan mereka laksanakan di desa nantinya pun tergantung dari kebijakan masing-masing kelompok. Tidak hanya proker berkelompok, tetapi juga proker per individu, dan proker kelompok satu desa.

Proker yang banyak dijalani mahasiswa KKN adalah mengajar ke sekolah-sekolah dekat desa seperti di SD, SMP, ataupun SMA. Mereka juga membagi proker berdasarkan sasaran masyarakat desa setempat, seperti untuk anak-anak, remaja, dan ibu-ibu.

Seperti Ruwanti dan teman-temannya yang ditempatkan di Dusun Gebangmalang, Desa Pinangsari, mereka memiliki proker bimbingan belajar dan mengaji untuk anak-anak selepas sholat magrib, ada pelatihan komputer dan desain grafis dengan laptop mahasiswa untuk remaja, serta kerajianan tangan untuk ibu-ibu pengajian.

Mereka juga memiliki pengalaman menarik karena berhasil mengumpulkan kembali ibu-ibu untuk bermain qosidah dalam rangka lomba 17 agustus di desa, setelah 20 tahun vacuum. “Kami keliling kampung dari rumah kerumah bersama anak-anak untuk mengajak ibu-ibu bermain qosidah, agar dusun ini memiliki perwakilan untuk lomba di desa kemarin,” cerita Khoerunisa.

Proker kerajinan tangan dengan kain flanel yang mereka berikan untuk ibu-ibu di pengajian bahkan menjadi peluang salah seorang ibu untuk berjualan hasil kreasinya. “Kemarin ibu buat lagi kerajinan yang diajarkan mahasiswa KKN, terus ibu jual satu buahnya Rp1.500,-,” ujar ibu Runtasi.

Kegiatan-kegiatan yang mereka rancang untuk desa memiliki dampak positif tidak hanya untuk masyarakat setempat, tetapi juga untuk mahasiswa itu sendiri. “Pada awalnya gue bukan orang yang suka anak kecil, tetapi karena KKN gue jadi terbiasa dan sayang sama mereka,” ujar Farah. “Lewat KKN gue juga belajar mandiri, biasanya gue di rumah masih manja sama orang tua,” tambah Bella.
“Berkat mahasiswa KKN, anak-anak kami yang biasanya hanya berkumpul untuk bermain, kini mereka berkumpul untuk belajar bersama,” kata Sekertaris Desa Pinangsari Kec. Subang saat sambutan acara pelepasan yang diadakan oleh mahasiswa KKN.

Selama menjalani KKN di dusun Gebangmalang ini, Ruwanti dan teman-temannya sudah merasa dusun ini seperti kampung mereka sendiri. “Kami berniat akan kembali lagi nanti ke sini untuk bersilaturahmi,” kata Bella.

Pesan untuk KKN

Merasakan banyaknya manfaat dari kegiatan KKN. Farah dan teman-temannya mengatakan jika mahasiswa angkatan di bawah mereka harus menjalani KKN. “Banyak manfaat dan pengalaman yang didapat selama KKN, dari yang awalnya gue ga bisa jadi bisa,” kata Khoerunisa. “Jadi mahasiswa lain harus bisa merasakan manfaat ini juga,” tambah Ruwanti.

Mereka juga berharap agar kampus bisa memberikan keamanan yang lebih baik lagi. Terutama untuk masalah kehilangan uang dan barang yang pernah terjadi dengan teman mereka yang ditempatkan di Purwakarta.

Terlebih lagi penempatan waktu KKN di semester akhir yang dirasa kurang tepat. “Seharusnya KKN dijadwalkan bukan di akhir semester, agar tidak mepet dengan praktek mengajar ataupun praktek magang di kantor,” Ruwanti memberi saran.


Liputan ini dimuat untuk Buletin Kaji LKM UNJ Edisi Agustus 2015
Continue reading KKN Punya Cerita
,

Resensi Buku Negeri van Oranje: Semua tentang Belanda

Judul
: Negeri van Oranje
Penulis
: Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Annisa Rijadi, dan Rizki Pandi Permana
Penerbit
: Bentnag Pustaka
Terbit
: Cetakan kelima, Juni 2015
Tebal
: 575 Halaman
Harga
: Rp 54.000,00


Sudah banyak sekali novel-novel motivasi tentang kuliah di luar negeri yang bertebaran di Indonesia. Di mulai dari Tetralogi terkenal Laskar Pelangi milik Andrea Hirata, Trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, hingga novel islami 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Rais. Masing-masing penulis tersebut memberikan gaya penulisannya yang khas dan dari sudut pandang berbeda dalam bercerita. Entah dari sudut agama, budaya, ataupun sosial. 

Begitu pula dengan Negeri van Oranje. Novel karya empat sekawan Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Annisa Rijadi, dan Rizki Pandi Permana ini menceritakan tentang perkuliahan di luar negeri. Tentang bagaimana lika-liku perjalanan mahasiswa Indonesia yang berkuliah magister di Belanda. Cerita dalam novel ini tidak hanya menceritakan tentang satu orang saja, melainkan dibalut dengan kisah persahabatan lima mahasiswa Indonesia yang tidak sengaja dipertemukan di stasiun Amersfoort.

Dari pertemuan tidak sengaja itu, mereka memulai persahabatan lewat media chatting Yahoo Massenger!. Persahabatan yang terdiri dari empat laki-laki dan satu orang perempun ini kemudian diberi nama Aagaban yaitu Aliansi Amersfoort GAra-gara BAdai Netherland. Seperti persahabatan pada umumnya yang saling berbagi dalam suka dan duka, persahabatan mereka di luar negeri ini sukses bikin saya mupeng dan jadi rindu sahabat lama.

Novel yang akan segera difilmkan ini tidak hanya sekedar menceritakan pengalaman asli para penulisnya saja, tetapi juga dibubuhi dengan cerita humoris dan kata-kata lucu untuk melengkapi beberapa penggalan kalimatnya. Wajar saja jika Andrea Hirata memberikan komentar bahwa novel ini menyenangkan.

Kelima tokoh dalam novel diceritakan tinggal di wilayah berbeda di Belanda dan memiliki latar belakang beragam mengapa bisa menuntut ilmu hingga di Negeri Kincir Angin. Seperti Lintang, satu-satunya tokoh wanita di novel ini, tinggal di wilayah Leiden karena sudah disiapkan oleh tabungan orang tuanya. Lalu Daus, orang betawi yang berkuliah di jurusan Hukum tinggal di kota Utrecht mendapatkan beasiswa dari tempatnya bekerja di Departemen Agama.

Ada lagi Banjar, yang bernama asli Iskandar dan asli Banjarmasin ini mendapat tantangan dari temannya untuk hidup mandiri di luar negeri dan menetap di Rotterdam. Selanjutnya Wicak, anak asli Banten ini tinggal di Wageningen, yang universitasnya merupakan pusat riset pertanian dan kehutanan di Belanda. Terakhir ada Geri, yang digambarkan sebagai pria paling tampan ini sudah lama tinggal di Den Haag sejak kuliah S1.

Karena perbedaan tempat tinggal dari kelima tokoh tersebut, kita akan diajak mengunjungi masing-masing kota. Novel ini mungkin hampir mirip dengan buku travel writing yang dikemas dalam bentuk novel. Karena tidak hanya cerita perjalanan para tokoh saja yang digambarkan, tetapi juga menceritakan dengan sangat rinci tentang keindahan alam, sejarah, kebudayaan, makanan, dan keunggulan kota-kota di Belanda.

Hampir di setiap bab dilengkapi pula tentang tip dan trik hidup di Belanda sebagai mahasiswa rantau. Seperti memilih tempat tinggal, bergaul dengan warga asli Belanda, acara-acara Festival yang ada di Belanda, hingga tip menarik lainnya yang sangat membantu mahasiswa Indonesia yang ingin berkuliah di sana. Karena tip dan trikRupanya ini sangat bermanfaat karena tidak semua tip dan trik tersebut bisa didapatkan di buku panduan beasiswa yang ada di lembaga resmi Belanda.

Walaupun hal humoris banyak menghiasi novel ini, para penulis juga tidak lupa menyampaikan banyak pesan moral tentang terkait isu politik ataupun sosial di Indonesia seperti Illegal logging dan hal mendasar yang dialami mahasiswa yang berkuliah di luar negeri. Akankah mereka segera pulang ke Indonesia setelah lulus atau memilih berkarier di luar negeri?

“Ibarat rumah, ye. Biar kompleks rumahnye dibikin cakep dari luar, ada taman segala, tapi kalau dari dalem nggak ada yang piara, nggak ada yang bersihin, kan, lama-lama ambruk juga tu rumah!” ujar Daus yang memilih untuk pulang setelah lulus karena berusaha memperbaiki system birokrasi di Indonesia.

Sebuah cerita kehidupan rasanya akan terasa hambar tanpa cerita cinta. Persahabatan Aagaban ini tentunya juga dihiasi dengan cerita cinta yang unik walaupun terkesan klasik. Ketiga tokoh pria, yaitu Wicak, Banjar, dan Daus diam-diam menyukai sosok Lintang yang memiliki kepribadian yang menyenangkan. Sayangnya Lintang menyukai Geri yang ternyata hanya menganggapnya sebagai adik karena ia tidak tertarik dengan wanita.

Sayangnya karena hampir keseluruhan novel ini menceritakan tentang Belanda, konflik dalam cerita ini terasa kurang greget. Kita harus membaca hingga hampir di tiga perempat novel untuk menemukan konfliknya. Beberapa penggalan cerita dari penurunan konflik tersebut sebenarnya akan kita dijumpai di awal cerita, lalu kita akan menemukan kronologisnya ketika Lintang kaget menerima kenyataan bahwa Geri adalah seorang gay.

Lewat sosok Geri yang seorang gay, para penulis seperti ingin menceritakan sisi lain Belanda sebagai bagian dari Eropa yang pro terhadap hubungan homoseksual. Seperti terdapatnya parade gay ataupun bar khusus untuk gay yang memiliki ciri gambar pelangi di namanya.

Pada intinya buku ini cocok bagi mereka yang ingin menuntut ilmu di luar negeri terkhusus di Belanda atau hanya sekedar ingin mengetahui tentang serba-serbi negeri Oranje ini.
Continue reading Resensi Buku Negeri van Oranje: Semua tentang Belanda

Senin, 28 September 2015

, , , ,

Adat Istiadat Kematian di Jeneponto Makassar


Melalui kepergiannya, sepertinya Ayah ingin menunjukanku adat istiadat di kampung halamannya di Jeneponto Makassar, Sulawesi Selatan. Adat istiadat kematian seseorang. Aku melihat ada beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan budaya Islam di tanah Jawa. Namun prosesi pemakaman ayah tetap menggunakan syari’at islam pada umumnya. Dimandikan, dikafani, disholatkan, dan dikuburkan.

Saat dimandikan dan dikafani, tidak ada perbedaan yang berarti. Hanya saja ayah dimandikan di dalam rumah. Mungkin karena bentuk rumah almarhumah nenekku adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu, sehingga air bekas mandipun turun ke bawah rumah dan mudah dikeringkan atau dibersihkan.

Ayah dishalatkan di masjid dekat rumah. Sebelum jalan menuju pemakaman usai dishalatkan, keranda ayah dibacakan doa terlebih dahulu, lalu dilemparkan beras, daun, serta beberapa uang logam. Kemudian ayah dibawa ke pemakaman. Sayangnya aku belum sempat menanyakan kepada pamanku makna dari hal tersebut.

Jenazah digotong dengan kalimat toyyibah, namuan aku tidak sempat mendengar dengan jelas karena cepatnya mereka membawa keranda ayah. Tempat ayah dimakamkan adalah pemakaman keluarga dekat dengan persawahan. Makam ayah dekat dengan orang tuanya dan kakak iparnya. Butuh berjalan kaki sejauh lebih dari 500m untuk tiba di sana.

Tahun lalu ketika berziarah kuburnya kakek dan nenek, ayah juga digotong oleh sepupu-sepupuku dengan tandu bagaikan pengantin sunat. Tahun ini pun ayah juga ditandu menuju ke pemakaman, tetapi dengan keranda mayat yang hanya tinggal jasadnya saja. Jika tahun lalu sawah dalam keadaan basah dan cukup sulit dilewati bagi yang tidak biasa, tahun ini karena adanya El Nino yang luar biasa terjadi hampir di seluruh Indonesia, persawahan itu kering menguning bahkan menghitam sehingga mudah dilewati.

Proses Pemakaman

Tidakku temukan adanya tenda yang menjadi petanda tempat ayah akan dikuburkan seperti di Jakarta. Yang ada hanya berupa lubang tanah yang sudah digali. Sayangnya aku kurang menyaksikan dengan baik apakah saat ayah dimasukkan ke dalam lubang kubur diadzankan terlebih dahulu atau tidak, karena aku dilarang oleh sepupuku untuk mendekat tanah kubur ayah saat dimasukkan. Nanti susah dapat jodoh katanya.

Jenazah ayah ditutupi dengan papan panjang yang langsung menjadi satu. Pada pemakaman yang pernah ku hadiri sebelumnya di Jakarta, biasanya ditutupi dengan beberapa bambu atau papan yang terpisah. Selesai ayah dimakamkan, kuburan ayah ditutupi dengan batu-batu yang cukup besar. Tinggi dari makam ayah hampir setinggi betisku.

Nantinya setelah satu tahun kepergian ayah ku, batu-batu ini akan diubah menjadi sebuah makam yang diberi semen. Alasannya karena khawatir akan terjadi longsor pada kuburan tersebut jika langsung disemen tanpa menunggu satu tahun. Karena selama satu tahun tersebut tanah kering itu sudah terkena hujan sehingga menjadi kuat.

Tidak ada pembacaan tahlil, atau tahmid, ayat kursi Al-Qur’an atau doa lainnya yang dibaca dengan lantang oleh seorang ustadz dan diamini oleh para pengantar di depan makam ayah. Di sini doa-doa hanya dibacakan oleh Imam Desa dengan tidak bersuara keras. Tapi aku tidak tahu doa apa saja yang dibaca. Yang pasti Imam Desa yang juga sepupuku itu membaca doa yang ada di buku kecil bertulis bahasa Arab yang dibawanya. Selanjutnya makam ayah diberi bunga oleh aku, dan beberapa keponakannya saja.

Bunga yang ditebar juga bukan bunga, mawar dan melati yang dijual di dekat pemakaman di Jakarta, tetapi berupa daun seperti daun pandan namun lebih panjang yang kemudian sebagian dipotong-potong kecil dan sebagian lagi dipotong setengahnya.

Bunga atau daun memang bukan masalah besar karena keduanya sama-sama ciptaan Allah yang akan terus berdzikir sampai bunga atau daun itu mengering. Pemberian bunga dan daun ini tetap diniatkan agar dzikir dari makhluk Allah tersebut dapat membantu sang mayit dari siksa kubur. Mengenai hal ini Rasulullah saw pernah melakukannya juga ketika melewati pemakaman dan beliau saw mendengar adanya suara dari dalam kubur yang menjerit. Lalu Rasulullah saw memetik daun dan meletakkannya di atas makam tersebut.

Usai pemakaman, keluargaku yang tinggal di dusun lain yang jauh dari tempatku di Desa Bontokassi mulai kembali ke rumahnya. Namun, rumah nenekku ini masih penuh dengan keluargaku yang tinggal di dekat sini. Menjelang sore mereka mulai bersiap untuk pengajian malam pertama ayahku.



Pengajian Malam Pertama

Aku pikir pengajian akan dilakukan di dalam rumah, ternyata dilakukan di luar rumah. Pantas saja banyak kursi yang sudah dirapihkan. Yang aku ketahui pengajian malam pertama baisanya berupa pembacaan tahlilan dan ayat kursi. Namun di sini pengajian hanya dibacakan oleh ahli warisnya, yaitu aku. Aku membaca surat Yasin dengan micrphone dihadapan keluargaku. Setelah pembacaan Yasinku selesai, acara dilanjutkan dengan ceramah agama yang dibawakan oleh seorang ustadz dengan bahasa Makassar. Jujur saja aku tidak mengerti apa yang disampaikannya malam itu karena aku tidak mengerti bahasa Makassar. Tapi ustadz tidak banyak menyinggung mengenai kematian, malah ia juga membicarakan tentang haji.

Ceramah usai, kemudian keluargaku mulai membagikan panganan kue basah yang dibuat sejak sore untuk tamu yang hadir. Di sini tidak ada makanan besek atau berkat yang kemudian akan dibawa pulang oleh tamu. Mereka hanya disediakan kopi, teh, dan kue basah tradisional yang dibuat sendiri.

Tiba dihari pertama setelah ayah dimakamkan. Setelah sholat ashar akan datang seorang Imam Desa ke rumah nenekku. Ia akan membacakan doa, shalat, dan mengaji beberapa lembar Al-Qur’an yang pahalanya dikirim untuk ayah. Disampingnya disediakan pula tempat semacam dupa yang dibakar dengan sabut kelapa dan dihadapannya terdapat tempat makan yang pernah ayah pakai selama hidupnya dan dihidangkan makanan.

Makanan itu bukan untuk Imam Desa yang membacakan doa. Tapi makanan tersebut nantinya akan dimakan oleh aku, mama, atau keluargaku yang lain, walaupun hanya sesuap dua suap. Piring tersebut setelah dipakai pun tidak langsung dicuci. Hanya dilap saja. Peralatan makan ayah tersebut tidak akan dicuci sampai 7 hari kepergian ayah dan itu  di bawah ranjang bersamaan dengan potongan kelapa tua dan gula merah. Gula merah ini menandakan manis dan diharapkan akan memberikan kehidupan yang manis untuk orang yang meninggal.

Setiap sorenya menjelang ashar sampai hari ke 7 aku harus menebar bunga ke makam ayah bersama sepupuku dan beberapa keponakanku. Kami menuju makam harus dengan Imam Desa lainnya di sana yang juga merupakan sepupuku. Pemandangan sore persawahan yang indah menemani perjalananku menuju makam ayah. Mama baru ikut menebar bunga dihari ketiga. Aku dan mama juga tidak diperbolehkan oleh pamanku keluar dari dusun setelah tiga hari ayahku.

Malam Berikutnya

Malam kedua tidak ada lagi ceramah dari ustadz, malam kedua ini benar-benar pengajian. Tetapi bukan pengajian dengan pembacaan tahlilan ataupun Yaasin, melainkan pembacaan Al-Qur’an dari surat pertama. Di rumah nenek disediakan empat buah Al-Qur’an. Pembacaan Al-Qur,an pun dibaca terlebih dahulu oleh empat orang bapak-bapak. Bapak-bapak lainnya yang datang pertama-tama ikut mendengarkan terlebih dahulu atau sesekali ikut melantunkan surat yang dibaca bersama. 


Pembacaan Al-Qur’an ini dibaca terlebih dahulu oleh satu orang, ayat berikutnya lalu dibaca bersama-bersama. Mereka juga bisa saling mengkoreksi bacaan satu sama lain. setelah satu orang selesai, diganti dengan orang berikutnya, begitupun seterusnya. Dan setelah empat orang pertama sudah selesai bergiliran, mereka akan bergantian dengan bapak-bapak yang sudah datang dan menunggu atau dengan bapak-bapak yang beru datang.

Ibu-ibu tidak ikut mengaji, mereka sibuk di dapur membuat makanan untuk para bapak yang mengaji. Rumah tetap ramai, ramai karena ada yang mengaji, ramai karena ada yang memasak, dan ramai karena hampir semua keluargaku berkumpul menonton tv bersama. Bahkan bapak-bapak yang belum dapat giliran ikut juga menonton tv. Di luar rumah kursi-kursi tetap disediakan untuk mereka yang datang mengaji atau hanya sekedar berbincang.

Pengajian dimulai sehabis isya pukul 8 malam hingga pukul 11 kurang. Bapak-bapak ini pun tidak langsung pulang, setelah menikmati panganan biasanya mereka masih berbincang atau ada satu orang yang membaca kitab bahasa Makassar dalam tulisan Arab. Btw, cara baca mereka baik Al-Qur’an atau kitab makassarnya dibaca dengan nada yang justru dengar mirip lantunan lagu jawa di telingaku.

Hari ketiga dan ketujuh

Hari ketiga dapur rumah nenek menjadi sibuk lebih awal. Jika biasanya keluarga mulai memasak untuk orang yang mengaji setelah ashar atau maghrib, sebelum dzuhur tiba, mereka sudah repot untuk masak ikan dan kue.

Rupanya pengajian pada hari ketiga dilakukan pukul 2 siang. Bapak-bapak terutama dua Imam Desa datang membacakan Qur’an. Lalu di atas piring disediakan beberapa jumalh uang kertas yang sudah dilipat. Setelah pembacaan Qur’an dan juga dzikir telah dilakukan, pamanku akan membagikan uang kertas itu untuk mereka yang membaca Qur’an sambil diberi bacaan doa.

Uang yang diberikan kepada orang mengaji itu diniatkan semua pahalanya untuk ayahku yang sudah pergi. Setelah usai membaca Qur’an, mereka disediakan makanan bukan hanya berupa kue seperti malam-malam sebelumnya tetapi juga makan berat berupa nasi, ikan, dan sayur.
Malam harinya pengajian seperti biasanya tetap dilakukan.

Hari ketujuh merupakan puncak dari adat istiadat kematian di Jeneponto. Kata sepupuku, “hari ketujuh itu menunjukkan seberapa besarnya orang-orang di sini mencintai ayahmu.” Pada awalnya aku berniat akan kembali ke Jakarta pada hari minggu, di hari kelima ayah pergi, tetapi keluargaku di Makassar menyarankanku untuk mengundurnya lagi hingga hari ketujuh. Akhirnya aku pun menunda kepulanganku untuk menunggu hari tujuh ayah ku yang cuma ada setahun sekali ini.

Adat istiadat kematian hari ketujuh di sini mirip seperti pesta pernikahan. Sejak H-2 keluargaku membeli peralatan rumah tangga seperti kasur, bantal, guling, ranjang, sprei, kursi, meja, termos, baju, peci, dll sebagainya. Masing-masing mereka beli dua untuk dua Imam Desa. Mereka juga membuat banyak sekali kue bolu dan masakan lainnya. Mereka memasak banyak ketan, ikan goreng, ikan bakar, dan lauk lainnya.

Mendengar cerita dari keluargaku yang lain, ia pernah melihat orang membeli barang-barang seperti kasur dan lemari yang masing-masing seharga 5 juta hanya untuk melaksanakan adat istiadat ini. mungkin karena ia memiliki banyak uang dan kemampuan lainnya. sebenarnya pembelian barang-barang ini tergantung dari keluarga mereka masing-masing. Malahan paman bercerita jika seseorang itu belum diaqiqah, orang yang meninggal itu juga akan dipotongkan kerbau.

Namun pembelian alat rumah tangga ini menurutku sangat berlebihan dan termasuk pemborosan. Walaupun pamanku bilang, ini adalah sedekah untuk yang membacakan doa buat ayah dan pahala dari sedekah itu akan mengalir untuk ayah. Aku khawatir kalau ayah sebenarnya juga tidak menyukai cara seperti ini. Teringat pula olehku bahwa mengikuti nenek moyang yang tidak berdasar tetap dibenci Allah. Tetapi aku tidak bisa berbuat banyak karena itu adalah permintaan dari pamanku dan adat di daerah tersebut. Jika ini memang salah, semoga Allah mengampuniku.

Rupanya pada malam ketujuh disiapkan sebuah meja untuk menaruh hidangan karena hampir semua keluarga besarku dan para tetangga lainnya berdatangan untuk memberikan uang ataupun berupa makanan di dalam ranjang yang dibungkus kain. Semua datang menikmati hidangan dan mengucapkan kembali kalimat duka cita untuk aku, ibuku dan pamanku. Setelah tamu usai menyantap hidangan, bapak-bapak mulai kembali membaca Qur’an.

Pagi di hari ketujuh ternyata masih ada tamu yang datang. Makanan juga dipersiapkan kembali. Hingga matahari hampir meninggi, akhirnya semua barang rumah tangga yang kusebutkan diatas berupa ranjang dan teman-temannya, juga kue-kue bolu, makanan lauk pauk, dan hadiah lainnya yang diberikan para pelayat ditaruh di atas kasur. Kasur tersebut diletakkan di luar rumah. Barang-barang itu kemudian dibacakan doa oleh pamanku, sebelum akhirnya akan diberikan kepada dua Imam Desa di dusun Bontokassi.

Semua barang yang ditaruh di atas ranjang digotong bersamaan oleh semua saudara laki-laki ku menuju rumah Imam Desa. Barang-barang tersebut lalu dimasukkan ke dalam rumah Imam Desa. Imam Desa itupun kemudian naik di atas ranjang dan membawa dupa, lalu mulai membaca doa. Sambil Imam Desa membaca doa, aku harus memegang kasur. Entahlah maksudnya apa, mungkin sebagai pertanda bahwa aku dari pihak keluarga yang ditinggalkan yang memberikan ini untuk ayah.

Imam Desa dan keluarganya tidak hanya sekedar menerima pemberian dan membacakan doa. Para pengantar barang tersebut disuguhkan juga makan berupa kolak pisang putih. Alhasil, aku memakan dua porsi karena mengantarkan barang ke dua rumah Imam Desa.

Setelah mengantarkan semua barang itu berakhirlah adat istiadat kematian di Jeneponto yang harus aku lakukan. Sebenarnya adat istiadat ini masih terus dilakukan hingga hari ke sepuluh, 20, 40 atau 100 harinya. Tetapi karena aku dan mama hanya di Jeneponto sampai hari ke tujuh, adat seperti ini tidak dilanjutkan kembali.

Begitulah adat istiadat kematian di Jeneponto. Betapa Indonesia dianugerahkan Allah tidak hanya dengan kekayaan alamnya saja, tetapi juga dengan keberagaman budaya yang berbeda di setiap daerahnya. Menurutku selama adat istiadat ini masih berada di jalan Allah, kita patut melestarikannya. Tapi jika itu memberatkan atau menyimpang terlalu jauh sebaiknya kita meninggalkannya saja.
Continue reading Adat Istiadat Kematian di Jeneponto Makassar