Minggu, 28 September 2014

,

Resensi Buku “Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir” : Sambil Berjalan Sambil Bercerita

Konflik antara Israel dan Palestina hingga saat ini belum menemukan titik temu. Perebutan batas wilayah yang dilakukan Israel untuk merebut Jalur Gaza masih terus juga dilakukan. Sebaliknya Palestina tidak tinggal diam. Mereka juga melakukan serangan balasan untuk membela hak tempat tinggal mereka.

Pertempuran yang terjadi dalam perebutan wilayah di Jerusalem ini tentu menjadi perhatian semua masyrakat dunia. Bukan hanya karena masalah kemanusiaan yang telah menelan banyak korban jiwa dan berbagai kerusakan lainnya, tetapi juga karena masalah agama yang menjadi persoalan kedua belah pihak.

Permasalahan dalam konflik yang terus berlarut membuat kita penasaran, apa sebenarnya keistimewaan Jerusalem hingga diperebutkan oleh kedua agama ini. Terutama bagi mereka yang memang belum mengetahui keistimewaannya, entah dari latar sejarah, agama ataupun politik. Maka, melalui buku “Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir” karya Trias Kuncahyono ini, kita bisa mengetahui itu semua.

Dimulai dengan cerita masa kecilnya, Trias menceritakan bagaimana ibu dan ayahnya mengenalkannya pada Jerusalem. Membangun rasa cinta dan impian untuk bisa berkunjung ke kota ini. Ibunya menceritakan lewat buku dan ayahnya menyampaikan melalui lukisan kota-kota di Jerusalem. Semua itu ia paparkan dengan pengalamannya saat mendapatkan kesempatan untuk berkunjung meliput kota ini.

Tidak mudah rupanya untuk memasuki Jerusalem yang secara militer dikuasai oleh Israel. Ketika berangkat dengan Pesawat Al El milik maskapai penerbangan Israel dan tiba di bandara Bon di Tel Aviv, ia diberondong berbagai pertanyaan untuk proses keamanan.

Untuk sampai ke Kota Jerusalem, Trias harus melewati beberapa kota penting yang sarat akan sejarah. Dalam perjalanannya inilah ia menceritakan kondisi di setiap kota yang ia singgahi dan mengkaitkannya dengan sejarah dari sudut pandang dirinya sebagai seorang kristiani.

Begitu memasuki Kota Lama Jerusalem, Trias sangat detail dalam menjelaskan bagian-bagian yang terdapat di dalam kota ini. Keindahan arsitektur kuno dan sejarah sejak masa sebelum masehi begitu terasa saat ia menginjakkan kaki di tempat ini.

Kota Lama Jerusalem rupanya dikelilingi tembok sepanjang empat kilometer dan setinggi 12 meter. Di setiap temboknya terdapat delapan gerbang yang dibangun sejak abad kedua dan menjadi pintu masuk ke di setiap wilayah di Jerusalem dan salah satu pintu gerbang ini menghubungkan kota Jerusalem dengan kota Damaskus.  

Jerusalem sendiri terbagi atas 4 wilayah. Wilayah Muslim, Kristen, Yahudi, dan Armenia. Pembagian wilayah ini bukan berarti wilayah tersebut diisi oleh penduduk yang menganut agama sesuai dengan nama wilayahnya. Justru Gereja Makam Kristus berada di Wilayah Muslim, begitu juga denganj alan yang dilalui Yesus ketika harus memanggul salib hingga ke Bukit Golgota.

Hal yang membuat Jerusalem begitu berharga adalah banyaknya simbol tiga agama samawi yang berada di sini. Gereja Makam Kristus yang merupakan tempat penyaliban dan makam Yesus Kristus menjadi tempat peziarahan kaum kristiani. Tembok Ratapan atau yang saat ini disebut dengan Tembok Barat menjadi tempat ibadah kaum Yahudi. Serta Masjidil Aqsa dan Dome of Rock yang menjadi simbol bagi umat islam.

Trias menceritakan sejarah Jerusalem sejak zaman sebelum masehi. Dari mulai masalah bangsa Yahudi pada zaman Babilonia, zaman para nabi,  Perang Salib yang terjadi pada tahun 1096, hingga pertikaian politik yang terus berlangsung hingga saat ini. Walaupun tidak dijelaskan secara rinci, namun ia tetap menceritakan bagian terpenting dari sejarah kota ini.

Ia juga menjelaskan secara objektif bagaimana istimewanya Jerusalem bagi umat Yahudi, Kristen, dan Islam. Dalil dalam kitab suci ataupun pendapat para petinggi dari masing-masing agama dikemukakan pula dalam perkuat keistimewaan tersebut.

Bagi Yahudi, keistimewaan Jerusalem merupakan warisan dari para leluhur mereka sejak dibangunnya Kenizah Allah sejak zaman Nabi Daud. Maka mereka berniat untuk berebut kembali Jerusalem. Sedangkan bagi umat Kristiani, Jerusalem begitu berarti karena merupakan tempat di mana Yesus hidup dalam menyampaikan ajarannya. Bagi Islam sendiri, Jerusalem adalah kota tersuci setelah Mekkah dan Madinah. Tempat Nabi Muhammad SAW melaksanakan perjalanan Isra dan Mi’raj. Dari perjalanan inilah umat islam memperoleh perintah untuk melaksanakan ibadah sholat lima waktu.

Itulah keistimewaan Jerusalem bagi tiga agama ini. Perdamaian dan pergolakan dalam perebutan kota ini silih berganti terus terjadi. Sejak sebelum zaman Perang Salib bahkan hingga usainya Perang 6 hari yang melahirkan negara Israel, konflik itu belum juga berujung pada perdamaian yang sejati.

Berbagai kesepakatan dan resolusi untuk menghentikan konflik sudah juga dilakukan oleh PBB, tapi belum juga menuai hasil. Dalam memandang hal ini, secara tegas Trias mengkritik sikap PBB yang lebih memihak kepada Israel.Terlihat dari segi bahasa yang digunakan dalam pembuatan resolusi oleh PBB ataupun perlakuan PBB dalam menghadapi sikap bebal Israel yang tak mau menurut dalam setiap perjanjian dan resolusi yang telah dibuat dan disepakati.


Lalu kapankah konflik antara Israel dan Palestina akan berakhir? Sehingga kedamaian di Timur-Tengah ini bisa terpancar ke penjuru dunia. Agar tidak ada lagi dentuman bunyi bom, tangisan bayi, hancurnya rumah-rumah penduduk ataupun darah yang bercucuran.
Continue reading Resensi Buku “Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir” : Sambil Berjalan Sambil Bercerita

Sabtu, 27 September 2014

Schönes Wochenende

Minggu lalu merupakan minggu yang menyenangkan bagi saya. Namun bukan berarti minggu ini tidak menyenangkan. Agaknya ucapan “shoenes Wochenende” yang sering dikatakan dosen di kelas setiap kali selesai mata kuliah di hari jumat itu, benar-benar menjadi akhir pekan yang indah. Bahkan keindahan itu dimulai di hari jumat malam, ketika seluruh aktivitas weekdays berakhir.

19. September 2014

Sore ini menjadi sore yang sudah saya tunggu-tunggu sejak lama. Berbicara langsung dengan native speaker bahasa jerman. Mereka memang tidak berdarah jerman, tapi karena mereka sejak lahir berada di jerman, maka biacara lidah mereka pun sudah sangat jerman sekali.

Mereka adalah Anoscha (Ano) dan Äjem, peserta Aiesec yang menjadi volunteer di Ana Klangit Tangerang. Anoscha berdarah Afghanistan dan Äjem adalah keturunan turki yang mereka sejak lahir sudah berada di Jerman. Mereka berdua adalah teman satu kelas di salah satu universitas di Nürnberg.

Saya tahu keberadaan mereka disini berkat teman saya yang juga menjadi volunteer di Ana Klangit. Ini memang bukan kali pertama saya berbicara dengan native speaker jerman. Sebelumnya saya punya dosen PKL asal jerman saat semester 1.

Kata-kata dalam bahasa jerman pun sudah tertata dalam otak saya. Kira-kira saya akan berkata ini dan itu jika bertemu mereka. Namun segala bentuk tata bahasa yang terancang akan terlupakan ketika langsung berhadapan dengan mereka.

Sebelum bertemu dengan Ano, saya sudah sempat ber-Line ria dengannya menggunakan bahasa jerman. Saat di Line dan bertemu langsung pun dia bilang bahasa jerman saya bagus. Tapi saya bilang jujur saja, mungkin hanya sekedar tulisan saja, tapi untuk mundlich saya masih harus banyak berlatih salah satunya dengan bertemu mereka.

Mereka sangat ramah dan antusias dengan saya karena mungkin bisa berbahasa jerman. Mereka sangat menghargai sekali. Sayangnya saya tidak bisa berbincang lama dengan mereka karena mereka harus kembali ke apartemen mereka.

20. September 2014

Permintaan untuk menjadi pengganti mentor dadakan untuk acara MSC di YKBH membuat saya harus berangkat pagi hari ke stasiun di pagi hari. Tapi itu bukan masalah bagi saya karena justru hari ini adalah pengalaman baru lainnya yang ditawarkan YKBH yang sangat menyenangkan bagi saya.

Tema MSC kali ini adalah Money Intelligence, mengajarkan anak bagaimana cara mengatur uang. Tidak hanya itu, dalam MSC ini anak-anak langsung terjun di lapangan bagaimana sulitnya mencari pekerjaan dan melakukan pekerjaan untuk mendapatkan uang. Mereka pun diajarkan betapa pentingnya untuk menginfakkan dan menabung uang yang mereka miliki.

Walaupun matahari saat itu sangat terik, mereka tidak patah semangat untuk mencari pekerjaan di sekitar kantor YKBH. Malah, ketika satu pekerjaan telah selesai, mereka dengan semangat ingin mencari pekerjaan di tempat lain.

Celoteh dan pemikiran mereka saat sharing dan coaching hari itu membuat saya sangat menyayangi anak-anak kecil ini. Kebersamaan dengan mereka sangat menyenangkan walaupun melelahkan. Betapa mereka adalah anak-anak polos dan lucu yang harus kita bentuk dengan baik. Kitalah sebagai orang dewasa harus membimbing mereka dengan baik untuk menjadi anak yang cemerlang akal dan akhlaknya untuk agama dan bangsa.

21. September 2014

Akhir pekan ini ditutup dengan acara Heart to Heart (H2H) dari organisasi kampus saya, LKM. Acara ini khusus diadakan untuk mempererat hubungan antar pengurus. Museum Nasional yang berada di depan Monumen Nasional menjadi tempat acara kami ini. Lagi-lagi ini adalah pertama kalinya saya ke mengunjungi museum ini setelah sering kali saya hanya melewati tempat ini dengan transpotasi umum.

Bukan LKM namanya kalau mencurahkan perasaan bukan lewat tulisan. Untuk mengikuti acara H2H ini, para pengurus baik yang hadir atau tidak harus membuat tulisan tentang kesan dan pesan mereka selama di LKM. Tulisan tersebut tentu dibuat tanpa nama karena semua tulisan akan dibaca secara acak.

Saling tebak-menebak setiap tulisan yang dibacakan pun terjadi. Entah karena gaya bahasanya yang telah menjadi ciri khas setiap pengurus ataupun dari pengalaman yang ditulis oleh penulisnya itu sendiri.


Acara ditutup dengan tukar kado berupa buku dan foto bersama di halaman Museum Nasional.
Continue reading Schönes Wochenende

Jumat, 19 September 2014

,

Kunjugan Pertama Ke Makassar (III)

Kewajiban utama datang ke Makassar untuk menziarahi makam kakek dan nenek sudah terlaksana. Kini saatnya untuk kembali ke kota Makassar menikmati hari-hari terakhir di sini dengan mengunjungi beberapa tempat wisata. Namun, karena kami tiba di rumah paman di Kota Makassar hampir mendekati sore, rencana awal untuk mengunjungi Tempat Wisata Banti Murung terpaksa dibatalkan karena jaraknya yang cukup jauh jika harus ditempuh sore hari. Padahal saya ingin sekali mengunjungi tempat penangkaran kupu-kupu ini, walaupun dilarang oleh sepupu di kampung karena katanya tempat ini memiliki keanehan. 

Alhasil, kami pun pergi ke Benteng Fort Rotterdam yang tidak jauh dari Pantai Losari. Benteng Rotterdam ini adalah rekomendasi teman saya yang berkuliah di jurusan sejarah di salah satu universitas di Bandung. Begitu ia merekomendasikannya, Benteng Rotterdam menjadi tempat yang harus saya kunjungi setelah Pantai Losari.


Benteng Fort Rotterdam ini adalah benteng peninggalan kerajaan Gowa dan Tallo yang berdiri sejak tahun 1545. Nama awal benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang. Namun akibat perjanjian Bongaya, benteng ini terpaksa diberikan kepada Belanda dan mereka mengubah nama benteng ini menjadi Benteng Fort Rotterdam.

Untuk memasuki tempat ini, kami harus mengisi daftar pengunjung dan memberikan uang seikhlasnya sebagai bantuan untuk mengurus sarana dan prasarana tempat ini.


Ketika menginjakkan kaki memasuki tempat ini, kita akan disambut dengan arsitektur kuno bangunan yang indah dan megah. Taman dengan rerumputan hijau pun menghiasi di tengah tempat ini. Di tengah taman ini juga terdapat bangunan yang cukup besar, namun karena tidak ada guide yang mendampingi, saya tidak tahu bangunan apa yang berdiri di tengah taman ini.


Arsitektur bangunan tempat ini cukup unik. Setelah melewati pintu masuk, jika kita belok ke arah kanan atau kiri akan terdapat tanjakan yang akan mengantarkan kita ke pinggir tembok benteng ini. Pinggir tembok inipun seperti taman karena dihiasi rumput hijau dan terdapat puing-puing benteng zaman dulu yang masih tersisa.


Dari pinggir tembok ini kita dapat melihat keseluruhan Benteng Fort Rotterdam dari atas, walaupun tidak terlalu tinggi. Pinggiran tembok ini juga hampir mengelilingi keseluruhan bangunan Benteng Fort Rotterdam. Terdapat jalur seperti parit menghiasi tembok ini yang katanya digunakan oleh para prajurit untuk berlindung dan berpindah tempat.

Setelah puas menikmati pemandangan dari atas, kami pun beranjak untuk mengelilingi luasnya Benteng Fort Rotterdam. Banyak sekali pengunjung yang datang untuk menikmati sore hari yang indah di Kota Makassar dengan duduk di taman. Terlihat juga beberapa turis asing yang datang. Benteng ini mirip dengan Kota Tua di Jakarta. Terdapat penjara untuk pribumi di lorong-lorong bangunan. Gedung tempat ruang tahanan Pangeran Diponegoro saat dibuang oleh Belanda juga berada di sini.



Bangunan Benteng Fort Rotterdam juga dijadikan tempat museum yang berisi peninggalan sejarah dan kebudayaan yang ada di Kota Makassar serta beberapa kota lainnya di Sulawesi Selatan. Ternyata untuk masuk ke dalam museum ini kami dipungut biaya lagi dengan kategori yang berbeda untuk anak dan dewasa.

Museum ini menampilkan benda-benda pusaka yang ada pada zaman Kerajaan Gowa-Tallo seperti perhiasan yang dipakai pada zaman tersebut dan mahkota kerajaan juga terdapat di museum ini. Pakaian Adat Baju Bodo dan Tradisi Pernikahan adat Makassar, Rumah Adat Tongkonan, peralatan bertani, miniatur kapal pinisi, jaring yang digunakan untuk menangkap ikan juga ditampilkan di museum ini. Museum ini bisa menjadi tempat yang cocok untuk lebih mengenal sejarah dan kebudayaan Makassar secara singkat.






Waktu yang sudah semakin gelap, memaksa kami untuk meninggalkan Benteng Fort Rotterdam. Sebelum pulang ke rumah, paman mengajak saya beserta anak dan cucunya untuk menikmati kuliner khas Makassar lainnya, yakni Pisang Epe. Pisang Epe adalah pisang yang dipanggang gepeng dan diberi saus dari gula jawa atau gula aren.

Sebenarnya saya sudah menikmati Pisang Epe buatan tante sebelum pergi ke kampung di hari kedua di Makassar. Namun, sepupu saya menyuruh untuk mencicipi Pisang Epe yang banyak dijual di pinggir jalan Kota Makassar karena memiliki rasa yang bervariasi. Tidak hanya dengan saus dari gula jawa saja seperti yang dibuat di rumah.

Saya pun memesan Pisang Epe rasa keju dan coklat. Walapun rasanya keju dan coklat, pisang epe ini tetap disajikan dengan saus gula jawa. Keaslian resep ini tetap terjaga rupanya. Pisang Epe ini disajikan dalam porsi kecil berisi dua pisang yang cukup mengenyangkan perut saya. Malahan keponakan saya yang  masih kecil tidak sanggup menghabiskannya.

Pantai Akarena

Hari ini akan benar-benar menjadi hari terakhir saya di Makassar. Sebelum kembali ke Jakarta, sepupu saya mengajak saya ke Pantai Akarena bersama sepupu dan keponakan lainnya. Salah satu alasan mengapa sepupu saya mengajak ke sini karena ada acara dari tempat ia membeli rumah. Beruntungnya karena acara tersebut kami tidak perlu membayar tiket masuk yang harganya kurang lebih sekitar Rp 10.000,- /orang.



Jika di Pantai Losari kita tidak menemukan pasir seperti pantai pada umumnya, maka di Pantai Akarena ini kita dapat menemukan pasir berwarna hitam. Tidak ada yang terlalu istimewa dari tempat ini. Hanya pantai yang dipenuhi anak-anak yang berenang di sana sini, pohon kelapa yang mengelilingi pantai dan ada juga tempat bermain anak-anak di dekatnya. Tempat ini juga memiliki dermaga, untuk melihat laut dari tengah atas pantai.

Angin sepoi-sepoi dan ombak yang naik turun menambah semangat saya berada di tempat ini walaupun panas begitu terik. Ombak pantai pun mengingatkan masa kecil saya yang sering mengejar ombak ketika mereka turun dan lari ke pantai ketika ombak itu naik. 

Melihat ombak dan air di pantai, ingin sekali rasanya saya berenang dan bermain dengan air. Tapi ada daya, saya tidak membawa baju ganti saat itu dan situasi tidak memungkinkan untuk melakukannya. Saya pun hanya bisa menikmati pemandangan laut dari atas dermaga dan bermain dengan ombak seadanya.



Tidak terlalu lama kami berada di pantai ini, begitu acara sepupu saya selesai, kami pun langsung beranjak pulang. Di rumah telah menanti satu box berisi Pisang Ijo untuk dibawa pulang ke Jakarta sebagai oleh-oleh dan tentunya mencicipi satu piring terlebih dahulu sebelum dibawa pulang. Selain Pisang Ijo, paman juga memberikan kami oleh-oleh berupa sirup markisa, kacang mete, dan jagung disko.

Kembali ke Jakarta

Setelah melaksanakan sholat ashar, kami pun bersiap menuju bandara Di antar oleh paman dan sepupu saya, kami pun berangkat dengan Toyota Carry. Sepupu dan keponakan dari kampung pun menyusul menggunakan motor karena belum sempat berjumpa untuk pamit ketika kami pergi ke kota.

Belum juga sampai di Bandara, paman saya sudah meneteskan air mata karena harus berpisah dengan kami. Paman saya ini sebenarnya bukanlah tipe orang yang mudah menangis. Kata ayah hanya orang yang hebat yang bisa membuatnya menangis. Dan itu adalah saat kepergian kami karena paman saya ini mencintai saya seperti anaknya sendiri. Sama seperti sayangnya paman kepada ayah saya.
Air mata paman dan sepupu saya pun semakin deras begitu kami akan masuk bandara. Berpisah dengan mereka pun membuat saya ikut menangis.

Saya hanya bisa berharap akan bisa sesering mungkin mengunjungi tempat kelahiran ayah ini. Bagaimanapun darah Makassar mengalir di dalam tubuh saya dan saya pun sangat menyukainya. Makassar dengan pesonanya dan keramahan orang-orangnya terutama kebaikan keluarga saya membuat saya jatuh cinta pada kunjungan pertama ini.




Bis bald, Makassar! See you next time!

Lihat Juga :
Kunjugan Pertama Ke Makassar (II)
Kunjugan Pertama Ke Makassar (I)
Continue reading Kunjugan Pertama Ke Makassar (III)

Senin, 08 September 2014

, ,

Kunjugan Pertama Ke Makassar (II)

Akhirnya setelah tertunda hampir lebih dari sebulan, bagian kedua ini berhasil ditulis jugaa.... selamat membaca!

Sesuai dengan rencana semula, hari kedua di Makassar kami akan mengunjungi keluarga ayah di kampung Kabupaten Jeneponto. Perlu waktu kurang lebih sekitar dua jam perjalanan dari kota untuk sampai ke kampung. Orang sana mengenalnya dengan istilah naik ke atas”. Mungkin karena posisi topografi perkampungan yang lebih tinggi daripada di kota.

Pada dasarnya pemandangan perjalanan dari ke kota ke kampung di Makassar hampir sama seperti di kota. Pemandangan yang di kelilingi pepohonan dan persawahan, di beberapa titik ada rumah penduduk yang rapat dan renggang, pasar tradisional, dan hal lainnya.

Yang saya ingat untuk menuju Kab. Jeneponto, kami  melewati beberapa kabupaten lainnya, seperti Kab. Gowa dan Kab. Takalar. Kami melewati jembatan kembar saat hendak meninggalkan Kab. Gowa dan disambut Gapura dengan patung penunggang Kuda di sisi kiri dan kanan jalan saat sampai di Kab. Takalar.

Ciri khas kuliner dari kabupaten ini adalah Coto Kuda. Ini terlihat dari berbagai rumah makan yang menghidangkan menu ini di spanduk depan rumah makan mereka. Sayangnya saya belum sempat mecipinya ketika berada di sini.

Ketika hampir sampai di Kampung, lalu lalang kendaraan semakin berkurang. Bahkan bisa dikatakan untuk beberapa waktu hanya kendaraan kami saja yang lewat dan satu atau dua sepeda motor. Hamparan hijaunya sawah pun semakin meluas dan terlihat gunung-gunung kehijauan. Yang membuat saya lebih kagum lagi adalah langit Makassar yang begitu indah dan bentuk-bentuk awan yang menurut saya unik ditambah juga dengan persawahan hijau yang membentang.

Setiba di Kampung

Sebuah sekolah berdiri menjadi petanda bahwa perkampungan tempat keluarga saya berada hanya tinggal beberapa ratus meter lagi. Akhirnya saya pun tiba di Kampung Barana, Kab. Jeneponto. Semua rumah penduduk adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu, kecuali rumah saudara saya yang TNI. Ia membangun rumah seperti rumah di kota. Mereka menyebutnya rumah batu karena tersusun dari batu bata. Kami pun menginap di rumahnya untuk malam pertama di kampung.

Hampir di setiap rumah di kampung ini memiliki minimal seekor kuda. Karena kebanyakan pekerjaan penduduk di sini adalah bertani maka menjadi hal yang biasa jika mereka memiliki seekor kuda. Bahkan banyak pula dari rumah penduduk yang memiliki lebih dari seekor kuda dan beberapa sapi. Kegunaan mereka tentu untuk mengangkut pupuk dan hasil tani.

Begitu tahu bahwa kami telah sampai, tak lama kemudian banyak orang-orang berkumpul untuk berjumpa dengan kami terutama ayah saya yang sudah hampir 19 tahun tidak pulang ke kampung halaman ini. Isak tangis bahagia dan peluk erat menyambut kami. Rumah sepupu saya inipun menjadi ramai tak hentinya sampai pagi.

Ketika keponakan-keponakan saya sudah pulang dari sekolah, mereka mengajak saya untuk jalan-jalan ke sawah. Kami menggunakan sepeda motor ke sana. Setelah tiba di persawahan, keponakan saya meminta sepupu saya untuk mengambil coppeng, atau yang biasa kita kenal di sini dengan sebutan buah jamblang. Tanpa ragu, sepupu laki-laki saya yang berbadan kecil ini langsung memanjat pohon dan mengambil semua buahnya. Setelah coppeng berhasil didapat saatnya kami menikmati pemandangan sekitar dan berfoto-foto. Sungguh pemandangan hijau yang luar biasa.

FYI, keponakan saya ini rata-rata sudah SMP dan SMA, bahkan ada yang sudah lulus D3. Sedangkan hampir semua sepupu-sepupu saya sudah berkeluarga dan memiliki banyak anak. Jadi, saya adalah adik sepupu mereka yang masih muda dan sepantaran dengan anak-anak mereka. Hihihi

Noraknya Orang Kota Masuk Kampung

Karena kunjungan saya ke kampung bukan pada saat libur sekolah, hari kedua di kampung, agak sedikit sepi karena beberapa keponakan saya harus pergi bersekolah, walaupun ada juga yang bolos demi bersama ayah saya.

Di hari kedua ini, kami mengunjungi rumah paman saya. Paman saya ini adalah keluarga sedarah dari ayah yang tersisa karena kakek, nenek, paman dan bibi saya yang lain sudah meninggal dunia. Rumah paman adalah rumah panggung, karena keluarga saya tahu kondisi ayah yang tidak bisa berjalan dengan baik, alhasil untuk naik ke rumah ayah di gendong oleh sepupu saya.

Setelah rumah sepupu saya yang ramai, kini keramaian berpindah ke rumah paman saya ini. Kami disuguhi Songkolo. Songkola sama halnya dengan ketan hitam yang dibungkus dengan daun pisang dan diberi kelapa parut.

Jujur saja, saya tidak bisa berbicara bahasa Makassar. Hanya beberapa kata yang saya ingat dari  yang pernah ayah ajarkan. Jadi saya tidak mengerti semua percakapan mereka, anak kecil di sana pun hanya bisa berbahasa Makassar. Beruntung anak-anak yang sudah bersekolah dapat berbahasa Indonesia dengan baik, sehingga saya bisa berkomunikasi dengan mereka dan mereka menerjemahkan bahasa Makassar untuk saya.

Saya pun belajar sedikit-sedikit kata-kata dari bahasa Makassar yang saya dengar. Ketika saya mengucapkan bahasa Makassar saat keluarga berkumpul, seketika seluruh keluarga saya tertawa mendengar ucapan saya. Saya berasa seperti bule yang baru bisa bahasa Indonesia dan kita tertawa karena mereka bisa bahasa yang kita ucapkan.

Karena bosan di dalam rumah yang isinya bapak-bapak bicara bahasa Makassar dan penuh dengan asap rokok, saya yang sejak hari pertama ingin sekali naik kuda, keluar teras bersama sepupu saya menuju kuda-kuda yang diikat di dekat pohon. Khawatir saya jatuh jika menunggangi kuda jantan, saya disarankan menaiki kuda betina. Tapi keinginan untuk menunggang kuda itu tak kunjung juga tiba hingga saya kembali ke Jakarta.

Niat hanya ingin mengelus si kuda pun juga kandas karena saya sendiri pun takut untuk menyentuh mereka. Mereka seakan ingin mengigit saya atau menendang saya dengan kaki belakang mereka setiap saya mencoba menyentuh. Saya sudah menyodorkan tangan untuk mengelus tapi badan saya menolak untuk maju karena takut, walaupun sepupu saya menemani saat itu. Ternyata salah satu dari dua kuda yang ada di depan saya adalah kuda balap. Balap kuda memang juga diadakan di kampung ini.

Sore harinya kami dibawa ke Kampung Santigia, di rumah sepupu saya lainnya di kampung dekat laut. Malam itu kami menginap di sini. Perjalanan yang ditempuh dari Kampung Barana ke Kampung Santigia memerlukan waktu dua jam. Kondisi jalanannya pun rusak. Banyak jalanan berlubang di sana sini.

Tidak semua lantai dasar rumah panggung saat ini digunakan sebagai kandang hewan atau tempat penyimpanan pupuk seperti zaman dulu. Walaupun masih ada banyak rumah menggunakan fungsi untuk itu, tapi ada beberapa rumah panggung saat ini membangun bagian bawahnya dengan model rumah batu seperti rumah di kota pada umumnya. Jadi, lantai satu adalah rumah batu dan lantai dua adalah rumah kayu.

Pagi hari di Kampung Santigia saya begitu semangat karena sesuai janji sepupu saya, saya akan diajak naik perahu untuk berkeliling laut. Inilah yang saya tunggu-tunggu. Laut dan pantai. Saya menaiki perahu sepupu saya bersama anaknya yang biasa ia gunakan untuk mengurus rumput laut. Lagi-lagi saya takjub dengan keindahan ini.

Air di laut ini berwarna kehijauan. Sayangnya, masih banyak masyarakatnya yang membuat sampah dipinggir laut. Bahkan istri sepupu saya pun membuang sampah ke dalam air tepat di depan saya. Ada juga nelayan-nelayan yang buang air besar di pinggir laut. Aduh jadi ga asik deh. Tapi saya tetap excited sih kalau  tetap pemandangan lurus ke depan.


Kami pun melaju. Saya pikir kami akan berhenti dipinggir pantai berpasir. Tapi sepupu saya ini justru memberhentikan kami di pinggir pantai berpohon yang banyak terdapat banyak batu coral dan kelomang. Saya tetap excited tentunya. Saya Cuma bisa selfie dan memoto pemandangan karena foto yang sepupu saya captured tak tersimpan.

Setelah cukup lama berhenti, akhirnya kami kembali ke rumah. Kami melewati kumpulan botol plastik yang muncul di permukaan air. Rupanya itu adalah ternak rumput laut yang mereka tandai. Walaupun Cuma sebentar, I had a great time on this boat. Ini nih noraknya orang kota masuk kampung.

Kami menikmati semangkok bakso di saing hari sebelum kembali menuju kampung Barana. Rasa bakso di kampung dan di kota jauh berbeda. Mereka menggunakan lebih banyak sagu ketimbang daging. Makanya harganya pun terjangkau. Saya lupa berapa tepatnya, tapi sekitar Rp 3000,- kita pun sudah bisa merasakan semangkuk bakso di kampung.

Ke Makam dengan Tandu

Setalah sholat jumat kami pun diantar ke Kampung Barana dengan sepupu-sepupu saya menggunakan mobil pick up. Kini isak tangis kesedihan dan peluk erak mengiringi kepergian kami menuju Barana. Mereka pun menyiapkan kami oleh-oleh berupa makanan dan kebanyakan dari mereka memberikan kami sarung. Saya pun sedih harus meninggal keluarga saya yang baru saya jumpai satu hari ini.

Perjalanan menggunakan mobil pick up dan duduk di bagian belakang bukan hal baru buat saya. Jika sebelumnya saya malu dan lebih banyak tidur sepanjang perjalanan dari Bogor ke Jakarta, di Makassar ini justru saya senang sekali karena duduk bersama saudara-saudara saya yang menceritakan tentang nenek saya yang mampu berjalan kaki dari Kampung Barana ke Santigia kurang dari satu jam dengan ilmunya. Ditambah juga mata saya dihibur dengan pemandangan yang menakjubkan walaupun cuaca di Makassar sangat panas.

Tujuan utama perjalanan saya dan orang tua saya adalah mengunjungi makam kakek dan nenek saya. Maka di hari ke emapt di kampung, kami pun berziarah ke makam kakek dan nenek. Tidak mudah ternyata untuk sampai ke sana. Kami harus melewati pematang sawah yang becek luar biasa. Sepatu atau pun sandal harus kami lepas agar tidak blong. Lalu bagaimana dengan ayah saya? Luar biasanya kekeluargaan warga kampung ini, mereka membuat tandu agar bisa membawa ayah saya secara bersamaan menuju makam. Jadilah ayah saya seperti penganten sunnat.

Saya pun menikmati berjalan di sawah. Sampai-sampai saudara saya sedikit kagum karena saya bisa berjalan cepat di tanah becek. Sedangkan mama berjalan agak lambat dan harus dituntut karena terjebak lumpur.

Setelah berziarah dan makan siang di rumah saudara kami, akhirnya kami kembali menuju kota Makassar untuk berrekreasi menikmati sisa hari terakhir di kota ini. sama halnya seperti di Santigia, seluruh keluarga kami menangis karena kami harus kembali dan memberi oleh-oleh seperti sarung dan banyak makanan.

Saya sangat mencintai mereka. Walaupun ini pertama kalinya bertemu, saya sangat nyaman dengan mereka. Saat perjalanan dari kota menuju kampung, om saya sangat yakin, saya tidak akan betah berlama-lama di kampung. Pada awalnya saya juga tidak begitu betah karena kondisi kamar mandi yang tidak sebagus di kota. Rumah sepupu saya yang 100% terbuat dari kayu, memiliki kamar mandi yang ditutupin asbes disekelilingnya dan menyisakan beberapa lubang kecil yang cukup bikin gelisah, khawatir ada yang mengintip. Tapi lama-lama saya pun menikmati aktivitas di kampung ini. Semoga saya bisa kembali lagi nanti untuk berjumpa dengan mereka.

masih berlanjut nih hari terakhir di Kota Makassar di part ketiga


Lihat Juga:
Kunjugan Pertama Ke Makassar (I)
Kunjugan Pertama Ke Makassar (III)

Continue reading Kunjugan Pertama Ke Makassar (II)

Minggu, 07 September 2014

Another Great Experience

Again and again, dream do come true. Walaupun ga 100% sama dengan yang kita minta sebelumnya, tapi Allah emang selalu kasih yang lebih baik yang menurut-Nya yang emang bisa kita lakukan. Target tahun lalu untuk bisa menjadi MC Opening MPA 2013 memang pernah kandas. Tapi langsung Allah kasih dengan kesempatan yang jauh lebih baik daripada tahun lalu.

Tahun ini Allah kasih aku kesempatan yang luar biasa untuk menjadi MC Closing MPA 2014 bersama Ka Egi pada tanggal 6 September 2014 kemarin. Setidaknya ini lebih baik karena gue ga perlu latihan sekeras MC Opening MPA. Apalagi tahun kemarin itu latihannya di saat masih Ramadhan pula. Sedangkan untuk menjadi MC acara formal seperti acara  Opening MPA ini, banyak makanan dan minuman yang harus dipantang untuk mencegah suara hilang saat hari H-nya. Seperti halnya susu, santan, gorengan, es, sambal, pokoknya semua hal yang bisa mengganggu tenggorokan.

Mahasiswa Baru UNJ 2014
Ini menjadi kali pertama gue menjadi MC di depan lebih dari 5000 orang, setelah sebelumnya menjadi MC untuk acara internal di LKM dan MC parade LKM yang hanya 10 menit. Jadi kesempatan ini ga gue lewatkan ketika mendapatkan tawaran dari Ka Egi dua minggu sebelum acara ini.

Continue reading Another Great Experience