Judul
|
: Negeri van Oranje
|
Penulis
|
: Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Annisa Rijadi, dan Rizki
Pandi Permana
|
Penerbit
|
: Bentnag Pustaka
|
Terbit
|
: Cetakan kelima, Juni 2015
|
Tebal
|
: 575 Halaman
|
Harga
|
: Rp 54.000,00
|
Sudah banyak sekali novel-novel motivasi tentang kuliah
di luar negeri yang bertebaran di Indonesia. Di mulai dari Tetralogi terkenal Laskar
Pelangi milik Andrea Hirata, Trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad
Fuadi, hingga novel islami 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum Rais.
Masing-masing penulis tersebut memberikan gaya penulisannya yang khas dan dari
sudut pandang berbeda dalam bercerita. Entah dari sudut agama, budaya, ataupun
sosial.
Begitu pula dengan Negeri van Oranje. Novel karya
empat sekawan Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Annisa Rijadi, dan Rizki Pandi
Permana ini menceritakan tentang perkuliahan di luar negeri. Tentang bagaimana
lika-liku perjalanan mahasiswa Indonesia yang berkuliah magister di Belanda. Cerita
dalam novel ini tidak hanya menceritakan tentang satu orang saja, melainkan dibalut
dengan kisah persahabatan lima mahasiswa Indonesia yang tidak sengaja
dipertemukan di stasiun Amersfoort.
Dari pertemuan tidak sengaja itu, mereka memulai
persahabatan lewat media chatting Yahoo Massenger!. Persahabatan yang
terdiri dari empat laki-laki dan satu orang perempun ini kemudian diberi nama
Aagaban yaitu Aliansi Amersfoort GAra-gara BAdai Netherland. Seperti
persahabatan pada umumnya yang saling berbagi dalam suka dan duka, persahabatan
mereka di luar negeri ini sukses bikin saya mupeng dan jadi rindu
sahabat lama.
Novel yang akan segera difilmkan ini tidak hanya sekedar
menceritakan pengalaman asli para penulisnya saja, tetapi juga dibubuhi dengan
cerita humoris dan kata-kata lucu untuk melengkapi beberapa penggalan
kalimatnya. Wajar saja jika Andrea Hirata memberikan komentar bahwa novel ini
menyenangkan.
Kelima tokoh dalam novel diceritakan tinggal di wilayah
berbeda di Belanda dan memiliki latar belakang beragam mengapa bisa menuntut
ilmu hingga di Negeri Kincir Angin. Seperti Lintang, satu-satunya tokoh wanita
di novel ini, tinggal di wilayah Leiden karena sudah disiapkan oleh tabungan
orang tuanya. Lalu Daus, orang betawi yang berkuliah di jurusan Hukum tinggal
di kota Utrecht mendapatkan beasiswa dari tempatnya bekerja di Departemen Agama.
Ada lagi Banjar, yang bernama asli Iskandar dan asli
Banjarmasin ini mendapat tantangan dari temannya untuk hidup mandiri di luar
negeri dan menetap di Rotterdam. Selanjutnya Wicak, anak asli Banten ini
tinggal di Wageningen, yang universitasnya merupakan pusat riset pertanian dan
kehutanan di Belanda. Terakhir ada Geri, yang digambarkan sebagai pria paling
tampan ini sudah lama tinggal di Den Haag sejak kuliah
S1.
Karena perbedaan tempat tinggal dari kelima tokoh
tersebut, kita akan diajak mengunjungi masing-masing kota. Novel ini mungkin
hampir mirip dengan buku travel writing yang dikemas dalam bentuk novel.
Karena tidak hanya cerita perjalanan para tokoh saja yang digambarkan, tetapi
juga menceritakan dengan sangat rinci tentang keindahan alam, sejarah,
kebudayaan, makanan, dan keunggulan kota-kota di Belanda.
Hampir di setiap bab dilengkapi pula tentang tip dan trik
hidup di Belanda sebagai mahasiswa rantau. Seperti memilih tempat tinggal, bergaul
dengan warga asli Belanda, acara-acara Festival yang ada di Belanda, hingga tip
menarik lainnya yang sangat membantu mahasiswa Indonesia yang ingin berkuliah
di sana. Karena tip dan trikRupanya ini sangat bermanfaat karena tidak semua tip
dan trik tersebut bisa didapatkan di buku panduan beasiswa yang ada di lembaga
resmi Belanda.
Walaupun hal humoris banyak menghiasi novel ini, para
penulis juga tidak lupa menyampaikan banyak pesan moral tentang terkait isu
politik ataupun sosial di Indonesia seperti Illegal logging dan hal
mendasar yang dialami mahasiswa yang berkuliah di luar negeri. Akankah mereka
segera pulang ke Indonesia setelah lulus atau memilih berkarier di luar negeri?
“Ibarat rumah, ye. Biar kompleks rumahnye dibikin cakep
dari luar, ada taman segala, tapi kalau dari dalem nggak ada yang piara, nggak
ada yang bersihin, kan, lama-lama ambruk juga tu rumah!” ujar Daus yang memilih
untuk pulang setelah lulus karena berusaha memperbaiki system birokrasi di
Indonesia.
Sebuah cerita kehidupan rasanya akan terasa hambar tanpa cerita cinta. Persahabatan Aagaban ini tentunya juga dihiasi
dengan cerita cinta yang unik walaupun terkesan klasik. Ketiga tokoh pria,
yaitu Wicak, Banjar, dan Daus diam-diam menyukai sosok Lintang yang memiliki
kepribadian yang menyenangkan. Sayangnya Lintang menyukai Geri yang ternyata
hanya menganggapnya sebagai adik karena ia tidak tertarik dengan wanita.
Sayangnya karena hampir keseluruhan novel ini
menceritakan tentang Belanda, konflik dalam cerita ini terasa kurang greget.
Kita harus membaca hingga hampir di tiga perempat novel untuk menemukan
konfliknya. Beberapa penggalan cerita dari penurunan konflik tersebut sebenarnya
akan kita dijumpai di awal cerita, lalu kita akan menemukan kronologisnya
ketika Lintang kaget menerima kenyataan bahwa Geri adalah seorang gay.
Lewat sosok Geri yang seorang gay, para penulis
seperti ingin menceritakan sisi lain Belanda sebagai bagian dari Eropa yang pro
terhadap hubungan homoseksual. Seperti terdapatnya parade gay ataupun
bar khusus untuk gay yang memiliki ciri gambar pelangi di namanya.
Pada intinya buku ini cocok bagi mereka yang ingin
menuntut ilmu di luar negeri terkhusus di Belanda atau hanya sekedar ingin
mengetahui tentang serba-serbi negeri Oranje ini.
0 komentar:
Posting Komentar