Senin, 28 September 2015

, , , ,

Adat Istiadat Kematian di Jeneponto Makassar


Melalui kepergiannya, sepertinya Ayah ingin menunjukanku adat istiadat di kampung halamannya di Jeneponto Makassar, Sulawesi Selatan. Adat istiadat kematian seseorang. Aku melihat ada beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan budaya Islam di tanah Jawa. Namun prosesi pemakaman ayah tetap menggunakan syari’at islam pada umumnya. Dimandikan, dikafani, disholatkan, dan dikuburkan.

Saat dimandikan dan dikafani, tidak ada perbedaan yang berarti. Hanya saja ayah dimandikan di dalam rumah. Mungkin karena bentuk rumah almarhumah nenekku adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu, sehingga air bekas mandipun turun ke bawah rumah dan mudah dikeringkan atau dibersihkan.

Ayah dishalatkan di masjid dekat rumah. Sebelum jalan menuju pemakaman usai dishalatkan, keranda ayah dibacakan doa terlebih dahulu, lalu dilemparkan beras, daun, serta beberapa uang logam. Kemudian ayah dibawa ke pemakaman. Sayangnya aku belum sempat menanyakan kepada pamanku makna dari hal tersebut.

Jenazah digotong dengan kalimat toyyibah, namuan aku tidak sempat mendengar dengan jelas karena cepatnya mereka membawa keranda ayah. Tempat ayah dimakamkan adalah pemakaman keluarga dekat dengan persawahan. Makam ayah dekat dengan orang tuanya dan kakak iparnya. Butuh berjalan kaki sejauh lebih dari 500m untuk tiba di sana.

Tahun lalu ketika berziarah kuburnya kakek dan nenek, ayah juga digotong oleh sepupu-sepupuku dengan tandu bagaikan pengantin sunat. Tahun ini pun ayah juga ditandu menuju ke pemakaman, tetapi dengan keranda mayat yang hanya tinggal jasadnya saja. Jika tahun lalu sawah dalam keadaan basah dan cukup sulit dilewati bagi yang tidak biasa, tahun ini karena adanya El Nino yang luar biasa terjadi hampir di seluruh Indonesia, persawahan itu kering menguning bahkan menghitam sehingga mudah dilewati.

Proses Pemakaman

Tidakku temukan adanya tenda yang menjadi petanda tempat ayah akan dikuburkan seperti di Jakarta. Yang ada hanya berupa lubang tanah yang sudah digali. Sayangnya aku kurang menyaksikan dengan baik apakah saat ayah dimasukkan ke dalam lubang kubur diadzankan terlebih dahulu atau tidak, karena aku dilarang oleh sepupuku untuk mendekat tanah kubur ayah saat dimasukkan. Nanti susah dapat jodoh katanya.

Jenazah ayah ditutupi dengan papan panjang yang langsung menjadi satu. Pada pemakaman yang pernah ku hadiri sebelumnya di Jakarta, biasanya ditutupi dengan beberapa bambu atau papan yang terpisah. Selesai ayah dimakamkan, kuburan ayah ditutupi dengan batu-batu yang cukup besar. Tinggi dari makam ayah hampir setinggi betisku.

Nantinya setelah satu tahun kepergian ayah ku, batu-batu ini akan diubah menjadi sebuah makam yang diberi semen. Alasannya karena khawatir akan terjadi longsor pada kuburan tersebut jika langsung disemen tanpa menunggu satu tahun. Karena selama satu tahun tersebut tanah kering itu sudah terkena hujan sehingga menjadi kuat.

Tidak ada pembacaan tahlil, atau tahmid, ayat kursi Al-Qur’an atau doa lainnya yang dibaca dengan lantang oleh seorang ustadz dan diamini oleh para pengantar di depan makam ayah. Di sini doa-doa hanya dibacakan oleh Imam Desa dengan tidak bersuara keras. Tapi aku tidak tahu doa apa saja yang dibaca. Yang pasti Imam Desa yang juga sepupuku itu membaca doa yang ada di buku kecil bertulis bahasa Arab yang dibawanya. Selanjutnya makam ayah diberi bunga oleh aku, dan beberapa keponakannya saja.

Bunga yang ditebar juga bukan bunga, mawar dan melati yang dijual di dekat pemakaman di Jakarta, tetapi berupa daun seperti daun pandan namun lebih panjang yang kemudian sebagian dipotong-potong kecil dan sebagian lagi dipotong setengahnya.

Bunga atau daun memang bukan masalah besar karena keduanya sama-sama ciptaan Allah yang akan terus berdzikir sampai bunga atau daun itu mengering. Pemberian bunga dan daun ini tetap diniatkan agar dzikir dari makhluk Allah tersebut dapat membantu sang mayit dari siksa kubur. Mengenai hal ini Rasulullah saw pernah melakukannya juga ketika melewati pemakaman dan beliau saw mendengar adanya suara dari dalam kubur yang menjerit. Lalu Rasulullah saw memetik daun dan meletakkannya di atas makam tersebut.

Usai pemakaman, keluargaku yang tinggal di dusun lain yang jauh dari tempatku di Desa Bontokassi mulai kembali ke rumahnya. Namun, rumah nenekku ini masih penuh dengan keluargaku yang tinggal di dekat sini. Menjelang sore mereka mulai bersiap untuk pengajian malam pertama ayahku.



Pengajian Malam Pertama

Aku pikir pengajian akan dilakukan di dalam rumah, ternyata dilakukan di luar rumah. Pantas saja banyak kursi yang sudah dirapihkan. Yang aku ketahui pengajian malam pertama baisanya berupa pembacaan tahlilan dan ayat kursi. Namun di sini pengajian hanya dibacakan oleh ahli warisnya, yaitu aku. Aku membaca surat Yasin dengan micrphone dihadapan keluargaku. Setelah pembacaan Yasinku selesai, acara dilanjutkan dengan ceramah agama yang dibawakan oleh seorang ustadz dengan bahasa Makassar. Jujur saja aku tidak mengerti apa yang disampaikannya malam itu karena aku tidak mengerti bahasa Makassar. Tapi ustadz tidak banyak menyinggung mengenai kematian, malah ia juga membicarakan tentang haji.

Ceramah usai, kemudian keluargaku mulai membagikan panganan kue basah yang dibuat sejak sore untuk tamu yang hadir. Di sini tidak ada makanan besek atau berkat yang kemudian akan dibawa pulang oleh tamu. Mereka hanya disediakan kopi, teh, dan kue basah tradisional yang dibuat sendiri.

Tiba dihari pertama setelah ayah dimakamkan. Setelah sholat ashar akan datang seorang Imam Desa ke rumah nenekku. Ia akan membacakan doa, shalat, dan mengaji beberapa lembar Al-Qur’an yang pahalanya dikirim untuk ayah. Disampingnya disediakan pula tempat semacam dupa yang dibakar dengan sabut kelapa dan dihadapannya terdapat tempat makan yang pernah ayah pakai selama hidupnya dan dihidangkan makanan.

Makanan itu bukan untuk Imam Desa yang membacakan doa. Tapi makanan tersebut nantinya akan dimakan oleh aku, mama, atau keluargaku yang lain, walaupun hanya sesuap dua suap. Piring tersebut setelah dipakai pun tidak langsung dicuci. Hanya dilap saja. Peralatan makan ayah tersebut tidak akan dicuci sampai 7 hari kepergian ayah dan itu  di bawah ranjang bersamaan dengan potongan kelapa tua dan gula merah. Gula merah ini menandakan manis dan diharapkan akan memberikan kehidupan yang manis untuk orang yang meninggal.

Setiap sorenya menjelang ashar sampai hari ke 7 aku harus menebar bunga ke makam ayah bersama sepupuku dan beberapa keponakanku. Kami menuju makam harus dengan Imam Desa lainnya di sana yang juga merupakan sepupuku. Pemandangan sore persawahan yang indah menemani perjalananku menuju makam ayah. Mama baru ikut menebar bunga dihari ketiga. Aku dan mama juga tidak diperbolehkan oleh pamanku keluar dari dusun setelah tiga hari ayahku.

Malam Berikutnya

Malam kedua tidak ada lagi ceramah dari ustadz, malam kedua ini benar-benar pengajian. Tetapi bukan pengajian dengan pembacaan tahlilan ataupun Yaasin, melainkan pembacaan Al-Qur’an dari surat pertama. Di rumah nenek disediakan empat buah Al-Qur’an. Pembacaan Al-Qur,an pun dibaca terlebih dahulu oleh empat orang bapak-bapak. Bapak-bapak lainnya yang datang pertama-tama ikut mendengarkan terlebih dahulu atau sesekali ikut melantunkan surat yang dibaca bersama. 


Pembacaan Al-Qur’an ini dibaca terlebih dahulu oleh satu orang, ayat berikutnya lalu dibaca bersama-bersama. Mereka juga bisa saling mengkoreksi bacaan satu sama lain. setelah satu orang selesai, diganti dengan orang berikutnya, begitupun seterusnya. Dan setelah empat orang pertama sudah selesai bergiliran, mereka akan bergantian dengan bapak-bapak yang sudah datang dan menunggu atau dengan bapak-bapak yang beru datang.

Ibu-ibu tidak ikut mengaji, mereka sibuk di dapur membuat makanan untuk para bapak yang mengaji. Rumah tetap ramai, ramai karena ada yang mengaji, ramai karena ada yang memasak, dan ramai karena hampir semua keluargaku berkumpul menonton tv bersama. Bahkan bapak-bapak yang belum dapat giliran ikut juga menonton tv. Di luar rumah kursi-kursi tetap disediakan untuk mereka yang datang mengaji atau hanya sekedar berbincang.

Pengajian dimulai sehabis isya pukul 8 malam hingga pukul 11 kurang. Bapak-bapak ini pun tidak langsung pulang, setelah menikmati panganan biasanya mereka masih berbincang atau ada satu orang yang membaca kitab bahasa Makassar dalam tulisan Arab. Btw, cara baca mereka baik Al-Qur’an atau kitab makassarnya dibaca dengan nada yang justru dengar mirip lantunan lagu jawa di telingaku.

Hari ketiga dan ketujuh

Hari ketiga dapur rumah nenek menjadi sibuk lebih awal. Jika biasanya keluarga mulai memasak untuk orang yang mengaji setelah ashar atau maghrib, sebelum dzuhur tiba, mereka sudah repot untuk masak ikan dan kue.

Rupanya pengajian pada hari ketiga dilakukan pukul 2 siang. Bapak-bapak terutama dua Imam Desa datang membacakan Qur’an. Lalu di atas piring disediakan beberapa jumalh uang kertas yang sudah dilipat. Setelah pembacaan Qur’an dan juga dzikir telah dilakukan, pamanku akan membagikan uang kertas itu untuk mereka yang membaca Qur’an sambil diberi bacaan doa.

Uang yang diberikan kepada orang mengaji itu diniatkan semua pahalanya untuk ayahku yang sudah pergi. Setelah usai membaca Qur’an, mereka disediakan makanan bukan hanya berupa kue seperti malam-malam sebelumnya tetapi juga makan berat berupa nasi, ikan, dan sayur.
Malam harinya pengajian seperti biasanya tetap dilakukan.

Hari ketujuh merupakan puncak dari adat istiadat kematian di Jeneponto. Kata sepupuku, “hari ketujuh itu menunjukkan seberapa besarnya orang-orang di sini mencintai ayahmu.” Pada awalnya aku berniat akan kembali ke Jakarta pada hari minggu, di hari kelima ayah pergi, tetapi keluargaku di Makassar menyarankanku untuk mengundurnya lagi hingga hari ketujuh. Akhirnya aku pun menunda kepulanganku untuk menunggu hari tujuh ayah ku yang cuma ada setahun sekali ini.

Adat istiadat kematian hari ketujuh di sini mirip seperti pesta pernikahan. Sejak H-2 keluargaku membeli peralatan rumah tangga seperti kasur, bantal, guling, ranjang, sprei, kursi, meja, termos, baju, peci, dll sebagainya. Masing-masing mereka beli dua untuk dua Imam Desa. Mereka juga membuat banyak sekali kue bolu dan masakan lainnya. Mereka memasak banyak ketan, ikan goreng, ikan bakar, dan lauk lainnya.

Mendengar cerita dari keluargaku yang lain, ia pernah melihat orang membeli barang-barang seperti kasur dan lemari yang masing-masing seharga 5 juta hanya untuk melaksanakan adat istiadat ini. mungkin karena ia memiliki banyak uang dan kemampuan lainnya. sebenarnya pembelian barang-barang ini tergantung dari keluarga mereka masing-masing. Malahan paman bercerita jika seseorang itu belum diaqiqah, orang yang meninggal itu juga akan dipotongkan kerbau.

Namun pembelian alat rumah tangga ini menurutku sangat berlebihan dan termasuk pemborosan. Walaupun pamanku bilang, ini adalah sedekah untuk yang membacakan doa buat ayah dan pahala dari sedekah itu akan mengalir untuk ayah. Aku khawatir kalau ayah sebenarnya juga tidak menyukai cara seperti ini. Teringat pula olehku bahwa mengikuti nenek moyang yang tidak berdasar tetap dibenci Allah. Tetapi aku tidak bisa berbuat banyak karena itu adalah permintaan dari pamanku dan adat di daerah tersebut. Jika ini memang salah, semoga Allah mengampuniku.

Rupanya pada malam ketujuh disiapkan sebuah meja untuk menaruh hidangan karena hampir semua keluarga besarku dan para tetangga lainnya berdatangan untuk memberikan uang ataupun berupa makanan di dalam ranjang yang dibungkus kain. Semua datang menikmati hidangan dan mengucapkan kembali kalimat duka cita untuk aku, ibuku dan pamanku. Setelah tamu usai menyantap hidangan, bapak-bapak mulai kembali membaca Qur’an.

Pagi di hari ketujuh ternyata masih ada tamu yang datang. Makanan juga dipersiapkan kembali. Hingga matahari hampir meninggi, akhirnya semua barang rumah tangga yang kusebutkan diatas berupa ranjang dan teman-temannya, juga kue-kue bolu, makanan lauk pauk, dan hadiah lainnya yang diberikan para pelayat ditaruh di atas kasur. Kasur tersebut diletakkan di luar rumah. Barang-barang itu kemudian dibacakan doa oleh pamanku, sebelum akhirnya akan diberikan kepada dua Imam Desa di dusun Bontokassi.

Semua barang yang ditaruh di atas ranjang digotong bersamaan oleh semua saudara laki-laki ku menuju rumah Imam Desa. Barang-barang tersebut lalu dimasukkan ke dalam rumah Imam Desa. Imam Desa itupun kemudian naik di atas ranjang dan membawa dupa, lalu mulai membaca doa. Sambil Imam Desa membaca doa, aku harus memegang kasur. Entahlah maksudnya apa, mungkin sebagai pertanda bahwa aku dari pihak keluarga yang ditinggalkan yang memberikan ini untuk ayah.

Imam Desa dan keluarganya tidak hanya sekedar menerima pemberian dan membacakan doa. Para pengantar barang tersebut disuguhkan juga makan berupa kolak pisang putih. Alhasil, aku memakan dua porsi karena mengantarkan barang ke dua rumah Imam Desa.

Setelah mengantarkan semua barang itu berakhirlah adat istiadat kematian di Jeneponto yang harus aku lakukan. Sebenarnya adat istiadat ini masih terus dilakukan hingga hari ke sepuluh, 20, 40 atau 100 harinya. Tetapi karena aku dan mama hanya di Jeneponto sampai hari ke tujuh, adat seperti ini tidak dilanjutkan kembali.

Begitulah adat istiadat kematian di Jeneponto. Betapa Indonesia dianugerahkan Allah tidak hanya dengan kekayaan alamnya saja, tetapi juga dengan keberagaman budaya yang berbeda di setiap daerahnya. Menurutku selama adat istiadat ini masih berada di jalan Allah, kita patut melestarikannya. Tapi jika itu memberatkan atau menyimpang terlalu jauh sebaiknya kita meninggalkannya saja.

0 komentar:

Posting Komentar