Melalui kepergiannya, sepertinya Ayah ingin menunjukanku adat istiadat di
kampung halamannya di Jeneponto Makassar, Sulawesi Selatan. Adat istiadat
kematian seseorang. Aku melihat ada beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan
budaya Islam di tanah Jawa. Namun prosesi pemakaman ayah tetap menggunakan
syari’at islam pada umumnya. Dimandikan, dikafani, disholatkan, dan dikuburkan.
Saat dimandikan dan dikafani, tidak ada perbedaan yang berarti. Hanya saja ayah dimandikan di dalam rumah.
Mungkin karena bentuk rumah almarhumah nenekku adalah rumah panggung yang
terbuat dari kayu, sehingga air bekas mandipun turun ke bawah rumah dan mudah
dikeringkan atau dibersihkan.
Ayah dishalatkan di
masjid dekat rumah. Sebelum jalan menuju pemakaman usai dishalatkan, keranda ayah dibacakan doa
terlebih dahulu, lalu dilemparkan beras, daun, serta beberapa uang logam.
Kemudian ayah dibawa ke pemakaman. Sayangnya aku belum sempat menanyakan kepada
pamanku makna dari hal tersebut.
Jenazah digotong dengan kalimat toyyibah, namuan aku tidak sempat mendengar
dengan jelas karena cepatnya mereka membawa keranda ayah. Tempat ayah
dimakamkan adalah pemakaman keluarga dekat dengan persawahan. Makam ayah dekat
dengan orang tuanya dan kakak iparnya. Butuh berjalan kaki sejauh lebih dari
500m untuk tiba di sana.
Tahun lalu ketika berziarah kuburnya kakek dan nenek, ayah juga digotong
oleh sepupu-sepupuku dengan tandu bagaikan pengantin sunat. Tahun ini pun ayah
juga ditandu menuju ke pemakaman, tetapi dengan keranda mayat yang hanya
tinggal jasadnya saja. Jika tahun lalu sawah dalam keadaan basah dan cukup
sulit dilewati bagi yang tidak biasa, tahun ini karena adanya El Nino yang luar
biasa terjadi hampir di seluruh Indonesia, persawahan itu kering menguning
bahkan menghitam sehingga mudah dilewati.
Proses Pemakaman
Tidakku temukan adanya tenda yang menjadi petanda tempat ayah akan
dikuburkan seperti di Jakarta. Yang ada hanya berupa lubang tanah yang sudah
digali. Sayangnya aku kurang menyaksikan dengan baik apakah saat ayah
dimasukkan ke dalam lubang kubur diadzankan terlebih dahulu atau tidak, karena
aku dilarang oleh sepupuku untuk mendekat tanah kubur ayah saat dimasukkan.
Nanti susah dapat jodoh katanya.
Jenazah ayah ditutupi dengan papan panjang yang langsung menjadi satu. Pada
pemakaman yang pernah ku hadiri sebelumnya di Jakarta, biasanya ditutupi dengan
beberapa bambu atau papan yang terpisah. Selesai ayah dimakamkan, kuburan ayah
ditutupi dengan batu-batu yang cukup besar. Tinggi dari makam ayah hampir setinggi betisku.
Nantinya setelah satu tahun kepergian ayah ku, batu-batu ini akan diubah
menjadi sebuah makam yang diberi semen. Alasannya karena khawatir akan terjadi
longsor pada kuburan tersebut jika langsung disemen tanpa menunggu satu tahun.
Karena selama satu tahun tersebut tanah kering itu sudah terkena hujan sehingga
menjadi kuat.
Tidak ada pembacaan tahlil, atau tahmid, ayat kursi Al-Qur’an atau doa
lainnya yang dibaca dengan lantang oleh seorang ustadz dan diamini oleh para
pengantar di depan makam ayah. Di sini doa-doa hanya dibacakan oleh Imam Desa
dengan tidak bersuara keras. Tapi aku tidak tahu doa apa saja yang dibaca. Yang
pasti Imam Desa yang juga sepupuku itu membaca doa yang ada di buku kecil
bertulis bahasa Arab yang dibawanya. Selanjutnya makam ayah diberi bunga oleh
aku, dan beberapa keponakannya saja.
Bunga yang ditebar juga bukan bunga, mawar dan melati yang dijual di dekat
pemakaman di Jakarta, tetapi berupa daun seperti daun pandan namun lebih
panjang yang kemudian sebagian dipotong-potong kecil dan sebagian lagi dipotong
setengahnya.
Bunga atau daun memang bukan masalah besar karena keduanya sama-sama
ciptaan Allah yang akan terus berdzikir sampai bunga atau daun itu mengering.
Pemberian bunga dan daun ini tetap diniatkan agar dzikir dari makhluk Allah
tersebut dapat membantu sang mayit dari siksa kubur. Mengenai hal ini
Rasulullah saw pernah melakukannya juga ketika melewati pemakaman dan beliau
saw mendengar adanya suara dari dalam kubur yang menjerit. Lalu Rasulullah saw
memetik daun dan meletakkannya di atas makam tersebut.
Usai pemakaman, keluargaku yang tinggal di dusun lain yang jauh dari
tempatku di Desa Bontokassi mulai kembali ke rumahnya. Namun, rumah nenekku ini
masih penuh dengan keluargaku yang tinggal di dekat sini. Menjelang sore mereka
mulai bersiap untuk pengajian malam pertama ayahku.
Pengajian Malam Pertama
Aku pikir pengajian akan dilakukan di dalam rumah, ternyata dilakukan di
luar rumah. Pantas saja banyak kursi yang sudah dirapihkan. Yang aku ketahui
pengajian malam pertama baisanya berupa pembacaan tahlilan dan ayat kursi.
Namun di sini pengajian hanya dibacakan oleh ahli warisnya, yaitu aku. Aku
membaca surat Yasin dengan micrphone dihadapan keluargaku. Setelah pembacaan
Yasinku selesai, acara dilanjutkan dengan ceramah agama yang dibawakan oleh
seorang ustadz dengan bahasa Makassar. Jujur saja aku tidak mengerti apa yang
disampaikannya malam itu karena aku tidak mengerti bahasa Makassar. Tapi ustadz
tidak banyak menyinggung mengenai kematian, malah ia juga membicarakan tentang
haji.
Ceramah usai, kemudian keluargaku mulai membagikan panganan kue basah yang
dibuat sejak sore untuk tamu yang hadir. Di sini tidak ada makanan besek atau
berkat yang kemudian akan dibawa pulang oleh tamu. Mereka hanya disediakan kopi, teh, dan kue basah
tradisional yang dibuat sendiri.
Tiba dihari pertama setelah ayah dimakamkan. Setelah sholat ashar akan
datang seorang Imam Desa ke rumah nenekku. Ia akan membacakan doa, shalat, dan
mengaji beberapa lembar Al-Qur’an yang pahalanya dikirim untuk ayah.
Disampingnya disediakan pula tempat semacam dupa yang dibakar dengan sabut
kelapa dan dihadapannya terdapat tempat makan yang pernah ayah pakai selama
hidupnya dan dihidangkan makanan.
Makanan itu bukan untuk Imam Desa yang membacakan doa. Tapi makanan
tersebut nantinya akan dimakan oleh aku, mama, atau keluargaku yang lain,
walaupun hanya sesuap dua suap. Piring tersebut setelah dipakai pun tidak
langsung dicuci. Hanya dilap saja. Peralatan makan ayah tersebut tidak akan
dicuci sampai 7 hari kepergian ayah dan itu di bawah ranjang bersamaan dengan potongan
kelapa tua dan gula merah. Gula merah ini menandakan manis dan diharapkan akan
memberikan kehidupan yang manis untuk orang yang meninggal.
Setiap sorenya menjelang ashar sampai hari ke 7 aku harus menebar bunga ke
makam ayah bersama sepupuku dan beberapa keponakanku. Kami menuju makam harus
dengan Imam Desa lainnya di sana yang juga merupakan sepupuku. Pemandangan sore
persawahan yang indah menemani perjalananku menuju makam ayah. Mama baru ikut
menebar bunga dihari ketiga. Aku dan mama juga tidak diperbolehkan oleh pamanku
keluar dari dusun setelah tiga hari ayahku.
Malam Berikutnya
Malam kedua tidak ada lagi ceramah dari ustadz, malam kedua ini
benar-benar pengajian. Tetapi bukan pengajian dengan pembacaan tahlilan ataupun
Yaasin, melainkan pembacaan Al-Qur’an dari surat pertama. Di rumah nenek
disediakan empat buah Al-Qur’an. Pembacaan Al-Qur,an pun dibaca terlebih dahulu
oleh empat orang bapak-bapak. Bapak-bapak lainnya yang datang pertama-tama ikut
mendengarkan terlebih dahulu atau sesekali ikut melantunkan surat yang dibaca
bersama.
Pembacaan Al-Qur’an ini dibaca terlebih dahulu oleh satu orang, ayat
berikutnya lalu dibaca bersama-bersama. Mereka juga bisa saling mengkoreksi
bacaan satu sama lain. setelah satu orang selesai, diganti dengan orang
berikutnya, begitupun seterusnya. Dan setelah empat orang pertama sudah selesai
bergiliran, mereka akan bergantian dengan bapak-bapak yang sudah datang dan
menunggu atau dengan bapak-bapak yang beru datang.
Ibu-ibu tidak ikut mengaji, mereka sibuk di dapur membuat makanan untuk
para bapak yang mengaji. Rumah tetap ramai, ramai karena ada yang mengaji,
ramai karena ada yang memasak, dan ramai karena hampir semua keluargaku
berkumpul menonton tv bersama. Bahkan bapak-bapak yang belum dapat giliran ikut
juga menonton tv. Di luar rumah kursi-kursi tetap disediakan untuk mereka yang
datang mengaji atau hanya sekedar berbincang.
Pengajian dimulai sehabis isya pukul 8 malam hingga pukul 11 kurang.
Bapak-bapak ini pun tidak langsung pulang, setelah menikmati panganan biasanya
mereka masih berbincang atau ada satu orang yang membaca kitab bahasa Makassar
dalam tulisan Arab. Btw, cara baca mereka baik Al-Qur’an atau kitab
makassarnya dibaca dengan nada yang justru dengar mirip lantunan lagu jawa di
telingaku.
Hari ketiga dan ketujuh
Hari ketiga dapur rumah nenek menjadi sibuk lebih awal. Jika biasanya
keluarga mulai memasak untuk orang yang mengaji setelah ashar atau maghrib,
sebelum dzuhur tiba, mereka sudah repot untuk masak ikan dan kue.
Rupanya pengajian pada hari
ketiga dilakukan pukul 2 siang. Bapak-bapak terutama dua Imam Desa datang
membacakan Qur’an. Lalu di atas piring disediakan beberapa jumalh uang kertas
yang sudah dilipat. Setelah pembacaan Qur’an dan juga dzikir telah dilakukan,
pamanku akan membagikan uang kertas itu untuk mereka yang membaca Qur’an sambil
diberi bacaan doa.
Uang yang diberikan kepada orang
mengaji itu diniatkan semua pahalanya untuk ayahku yang sudah pergi. Setelah
usai membaca Qur’an, mereka disediakan makanan bukan hanya berupa kue seperti
malam-malam sebelumnya tetapi juga makan berat berupa nasi, ikan, dan sayur.
Malam harinya pengajian seperti
biasanya tetap dilakukan.
Hari ketujuh merupakan puncak
dari adat istiadat kematian di Jeneponto. Kata sepupuku, “hari ketujuh itu
menunjukkan seberapa besarnya orang-orang di sini mencintai ayahmu.” Pada
awalnya aku berniat akan kembali ke Jakarta pada hari minggu, di hari kelima
ayah pergi, tetapi keluargaku di Makassar menyarankanku untuk mengundurnya lagi
hingga hari ketujuh. Akhirnya aku
pun menunda kepulanganku untuk menunggu hari tujuh ayah ku yang cuma ada
setahun sekali ini.
Adat istiadat kematian hari ketujuh di sini mirip seperti pesta pernikahan.
Sejak H-2 keluargaku membeli peralatan rumah tangga seperti kasur, bantal,
guling, ranjang, sprei, kursi, meja, termos, baju, peci, dll sebagainya. Masing-masing
mereka beli dua untuk dua Imam Desa. Mereka juga membuat banyak sekali kue bolu
dan masakan lainnya. Mereka memasak banyak ketan, ikan goreng, ikan bakar, dan
lauk lainnya.
Mendengar cerita dari keluargaku yang lain, ia pernah melihat orang membeli
barang-barang seperti kasur dan lemari yang masing-masing seharga 5 juta hanya
untuk melaksanakan adat istiadat ini. mungkin karena ia memiliki banyak uang
dan kemampuan lainnya. sebenarnya pembelian barang-barang ini tergantung dari
keluarga mereka masing-masing. Malahan paman bercerita jika seseorang itu belum
diaqiqah, orang yang meninggal itu juga akan dipotongkan kerbau.
Namun pembelian alat rumah tangga ini menurutku sangat berlebihan dan termasuk
pemborosan. Walaupun pamanku bilang, ini adalah sedekah untuk yang membacakan
doa buat ayah dan pahala dari sedekah itu akan mengalir untuk ayah. Aku
khawatir kalau ayah sebenarnya juga tidak menyukai cara seperti ini. Teringat
pula olehku bahwa mengikuti nenek moyang yang tidak berdasar tetap dibenci
Allah. Tetapi aku tidak bisa berbuat banyak karena itu adalah permintaan dari
pamanku dan adat di daerah tersebut. Jika ini memang salah, semoga Allah
mengampuniku.
Rupanya pada malam ketujuh disiapkan sebuah meja untuk menaruh hidangan
karena hampir semua keluarga besarku dan para tetangga lainnya berdatangan
untuk memberikan uang ataupun berupa makanan di dalam ranjang yang dibungkus
kain. Semua datang menikmati hidangan dan mengucapkan kembali kalimat duka cita
untuk aku, ibuku dan pamanku. Setelah tamu usai menyantap hidangan, bapak-bapak
mulai kembali membaca Qur’an.
Pagi di hari ketujuh ternyata masih ada tamu yang datang. Makanan juga
dipersiapkan kembali. Hingga matahari hampir meninggi, akhirnya semua barang
rumah tangga yang kusebutkan diatas berupa ranjang dan teman-temannya, juga
kue-kue bolu, makanan lauk pauk, dan hadiah lainnya yang diberikan para pelayat
ditaruh di atas kasur. Kasur tersebut diletakkan di luar rumah. Barang-barang
itu kemudian dibacakan doa oleh pamanku, sebelum akhirnya akan diberikan kepada
dua Imam Desa di dusun Bontokassi.
Semua barang yang ditaruh di atas ranjang digotong bersamaan oleh semua
saudara laki-laki ku menuju rumah Imam Desa. Barang-barang tersebut lalu
dimasukkan ke dalam rumah Imam Desa. Imam Desa itupun
kemudian naik di atas ranjang dan membawa dupa, lalu mulai membaca doa. Sambil Imam
Desa membaca doa, aku harus memegang kasur. Entahlah maksudnya apa, mungkin
sebagai pertanda bahwa aku dari pihak keluarga yang ditinggalkan yang
memberikan ini untuk ayah.
Imam Desa dan keluarganya tidak hanya sekedar menerima pemberian dan
membacakan doa. Para pengantar barang tersebut disuguhkan juga makan berupa
kolak pisang putih. Alhasil,
aku memakan dua porsi karena mengantarkan barang ke dua rumah Imam Desa.
Setelah mengantarkan semua barang itu berakhirlah adat istiadat kematian di
Jeneponto yang harus aku lakukan. Sebenarnya adat istiadat ini masih terus
dilakukan hingga hari ke sepuluh, 20, 40 atau 100 harinya. Tetapi karena aku
dan mama hanya di Jeneponto sampai hari ke tujuh, adat seperti ini tidak dilanjutkan
kembali.
Begitulah adat istiadat kematian di Jeneponto. Betapa Indonesia
dianugerahkan Allah tidak hanya dengan kekayaan alamnya saja, tetapi juga
dengan keberagaman budaya yang berbeda di setiap daerahnya. Menurutku selama
adat istiadat ini masih berada di jalan Allah, kita patut melestarikannya. Tapi
jika itu memberatkan atau menyimpang terlalu jauh sebaiknya kita
meninggalkannya saja.
0 komentar:
Posting Komentar