Tiba di Probolinggo kami langsung merasakan dinginnya tempat ini melebihi
puncak. Keluar dari bis kami langsung menuju penginapan dan disambut oleh
pedagang yang berjualan syal dan sarung tangan. Seakan mereka tahu bahwa kami
kedinginan dan pastinya mereka tahu bahwa dini hari nanti kami akan pergi
menuju Bromo.
Dinginnya malam membuat kami tidak kuat menyentuh air, tapi harus kami
lakukan untuk bersih bersih sebelum tidur. Lalu mengumpulkan tenaga untuk bisa
meningmati Sunrise Bromo.
Jam 3 dini hari kami sudah dibangunkan untuk bersiap menuju Bromo. Kami
dikumpulkan di depan penginapan untuk diberikan arahan. Kami menggunakan mobil
Jeep untuk bisa tiba di sana. Berangkat di saat langit masih gelap dan jalanan
yang kelok. Jalanan yang berkelok ini sukses membuat sebagian temanku pusing
dan tidak lagi mau naik Jeep jika ingin pergi ke Bromo lagi.
Perjalanan yang kami tempuh menuju Taman Nasional Bromo dari penginapan
lebih dari satu Jam. selama perjalanan kami sempat berbincang dengan sopir Jeep
kami tentang Gunung Bromo dan warga yang tinggal di sekitar Gunung Bromo. Warga
yang tinggal di daerah Gunung Bromo ini adalah Suku Tengger. Suku yang diambil dari Nama Nenek Moyang
mereka bernama Rara Anteng dan Joko Seger. Karena iklim di Bromo sangat dingin
yang membuat mereka banyak beranak pinak dan anak-anak mereka inilah yang
disebut Suku Tengger (anTENG dan seGer).
Mayoritas Suku Tengger beragama
Hindu. DI setiap rumah yang kami lewati, banyak dari mereka yang memiliki mobil
Jeep. Mobil Jeep menjadi ladang pencarian nafkah mereka untuk memudahkan
wisatawan menuju Taman Nasional Bromo dari penginapan.s
Sayangnya kami tiba di Bromo saat hujan turun, sambil menunggu waktu yang
tepat untuk melihat Sunrise, kami menikmati gorengan dan teh anget atau kopi di
warung. Begitu waktu sudah tiba kami langsung diarahkan menuju Pananjakan,
tempat untuk melihat Sunrise. Rupanya sudah banyak sekali orang yang menunggu
Sunrise Bromo. Semua tempat duduk tidak ada yang tersisa, sehingga kami harus
berdiri dari jauh atau berusaha mendekat dengan pagar.
Sambil menunggu mata hari terbit, kami sempat berkenalan dengan Wisatawan
Asing yang juga sedang menunggu dekat dengan kami. Kami juga berfoto satu
angkatan menggunakan banner. Aksi kami ini sempat menarik para wisatawan lain
yang ada di sana dan mereka juga ikut mengabadikan kami dalam kamera mereka,
terutama turis asing yang datang bersama keluarga.
Ternyata hari ini belum menjadi rejeki kami untuk melihat Sunrise Bromo.
Karena cuaca yang mendung, kami hanya bisa melihat Bromo diselimuti kabut.
Tidak ada matahari yang terbit. Dosen aku pernah bercerita bahwa temannya sudah
mengunjungi Bromo hingga lima kali tetapi baru bisa menikmati Bromo dua kali.
Semoga lain kali kami bisa menikmati Bromo dengan teman-teman lagi atau dengan
orang terkasih mereka.
Akhirnya kami beranjak dari Pananjakan menuju tempat lain untuk melihat keindahan
Taman Nasional Bromo. Selama perjalanan, matahari akhirnya muncul memberikan
cahaya untuk melihat keindahan Taman Nasional ini. Mumpung kami masih berada
‘di atas’, kami pun meminta sopir jeep untuk berhenti karena ingin mengabadikan
momen ini dengan berfoto-foto. Rupanya banyak juga wisatawan pengguna jeep yang
berhenti di pinggir jalan.
Puas berfoto-foto kami lanjut menuju Taman Nasional Bromo. Begitu tiba kami
tidak menyangka ternyata jalanan yang kami lalui adalah jalanan yang kami lihat
dari atas saat berhenti untuk berfoto-foto. Setelah mobil diparkir, kami
berkumpul diberikan arahan untuk mendaki Gunung Bromo. Kamipun sepakat untuk
tidak menaiki kuda agar kecepatan kami saat naik dan turun sama.
Aku mendaki Gunung Bromo bersama temanku yang saat table manner
sempat collapse karena sakit mag. Awalnya aku berjalan bersama teman-teman yang
lain, tapi di perjalanan jadi hanya kami berdua. Kami pun naik paling akhir.
Entahlah apakah kata mendaki sebenarnya cocok untuk Gunung Bromo atau
tidak, yang pasti untuk bisa berada di puncak Bromo, terdapat tangga yang
memudahkan kita. Ada mitos, ketika kita menghitung tangga saat naik, jumlah
hitungannya akan berbeda dengan teman kita. Hal itu pun terbukti, terlepas dari
kebenaran mitos tersebut benar atau tidak.
Baru beberapa lama kami tiba di puncak, teman-teman seangkatanku sudah
banyak yang tiba lebih lama. Bahkan mereka sempat berfoto bersama dengan Bule
dari Jerman karena mereka membaca tulisan “Deutschabteilung” dari jaket yang
kami kenakan. Sayang sekali aku tidak bisa merasakan momen. Akhirnya beberapa
dari mereka pun turun lebih dulu. Aku dan yang lainnya masih ingin menikmati
pemandangan di Gunung Bromo.
Begitu sampai di puncak, pemandangan yang kami dapatkan terbayarkan. Kami
bisa melihat tempat parkir Jeep. Tempat kami mulai berjalan yang tampak begitu
kecil. Rasanya perjalanan kami dari parkiran hingg ke puncak tidak terasa
melihat betapa kecilnya tempat itu. Kami pun jadi menyadari betapa indahnya
ciptaan Allah ini dan betapa kecilnya kami sebagai makhluk.
Sayangnya di pinggiran dalam Puncak Gunung Bromo, tempat di mana kita
melihat asap belerang, terdapat banyak sampah dari wisatawan. Tentu ini merusak
nilai keindahan tempat ini akibat perilaku tidak bertanggung jawab wisatawan
yang datang.
Puas berada di puncak, membuat kami lupa dengan waktu dan harus turun untuk
menikmati perjalanan di Taman Nasional ini. Dengan Mobil Jeep kami di ajak ke
Pasir Berbisik. Sebenarnya tidak ada yang istimewa. Tempat ini hanya penuh dengan
pasir hitam dan pernah menjadi lokasi syuting film Pasir Berbisik.
Masih dengan mobil Jeep selanjutnya kami diajak menuju Blok Savana atau
yang dikenal dengan Bukit Teletubbies. Blok ini dinamakan Bukit Teletubbies
hanya karena bukit-bukit di sekitar blok ini mirip dengan bukit yang di
Teletubbies. Terlepas dari namanya. Blok Savana memiliki keindahan bukit padang
rumput yang menakjubkan. Walaupun ada beberapa rumput-rumput yang terbakar,
tetapi tidak mengurangi keindahan blok ini.
Sekali lagi keindahan Taman Nasional Bromo membuat kami lupa bahwa kami
harus segera kembali ke hotel karena harus menuju Surabaya untuk berkeliling
dan menuju stasiun untuk pulang ke Jakarta. akhirnya setelah menikmati segala
keindahan Taman Nasional Bromo, kami pun pulang kembali dengan Jeep kami.
Sebenarnya perjalanan dengan Jeep menjadi pengalaman menyenangkan
tersendiri buatku. Melihat sopir Jeep yang kebut-kebutan dan melihat mobil Jeep
di depan kami membuatku merasa seperti berada di Film Action yang sedang
mengejar penjahat. Semburan pasir dari roda dan jalanan yang naik turun semakin
membuat imajinasiku melayang-layang serasa syuting Film Hollywood. Walaupun
Jeep kami nyaris saja menabrak jurang setelah turun dari Pananjakan karena paha
sopir kami tersudut abu rokok yang ia hisap. Beruntung, sang sopir bergerak
cepat membanting stir ke arah
berlawanan. Alhamdulillah
Allah menolong kami.
Perjalanan ke Surabaya menjadi perjalanan terakhir yang aku nantikan karena
aku berharap bisa berkeliling kota Surabaya dan bisa bertemu dengan temanku
yang aku kenal saat lomba KTI di Makasaar. Sayangnya kami tiba sore hari di
Surabaya dan tidak punya waktu banyak untuk berkeliling. Karena masih hari
kerja, macet di kota Surabaya tidak dapat dihindari. Kamipun hanya bisa melihat
patung Ikan Suro (hiu) dan Boyo (buaya) yang menjadi landmark kota ini dari
dalam bis sambil berlalu.
Kami tiba di Stasiun Pasar Turi sekitar pukul 7 dan kereta kami dijadwalkan
akan berangkat pukul 8. Kami menggunakan kereta Eksekutif Argo Anggrek Malam. Karena
perjalanan naik kereta ke luar kota merupakan hal yang pertama buatku, naik
kereta eksekutif juga menjadi hal baru. Kereta Eksekutif mirip seperti di
pesawat. Kursinya jauh lebih nyaman ketimbang naik kereta Ekonomi AC saat kami
berangkat menuju malang. kursi yang empuk, tempat yang luas, mendapat fasilitas
bantal dan selimut, bahkan toiletnya pun jauh lebih baik karena selalu ada OB
yang akan selalu membersihkan setiap kali ada penumpang selesai menggunakan
toilet.
Untunglah sebelum sampai di Stasiun Pasar Turi kami telah mengisi perut
kami di Restoran dengan makanan yang lezat. begitu kereta kami berangkat, kami
langsung terlelap tidur hingga kami sudah tiba di Jakarta dalam waktu 9 jam.
KKL kami pun berakhir dan meninggalkan kenangan dalam benak kami
masing-masing. Baik dan buruk yang terjadi selama kegiatan ini akan menjadi
kenangan bahwa kami pernah melewati masa-masa ini bersama. KKL di semester 6
menjadi kegiatan yang mempersatukan kami dan menjadi perjalanan bersama sebelum
kami semua sibuk dengan kegiatan KKN, PKM, dan skripsi kami nanti.
Baca Juga:
0 komentar:
Posting Komentar