Sebagaimana halnya tempat praktek, di sekolah, kami mempraktekkan ilmu
keguruan dan ilmu yang kami pelajari selama di kampus. Membuat RPP, memberikan
materi pengajaran di kelas, melakukan tugas piket, memberi nilai, membuat soal
untuk ulangan, dan tugas guru lainnya.
Ketika menjadi Mahasiswa Praktek di sekolah, kami membawa idealisme
tersendiri sebagai seorang guru dalam mengajar. Metode dan media apa yang ingin
kamu gunakan dalam proses KBM. Apa saja masalah yang dihadapi siswa dalam
belajar dan apa yang harus kami lakukan dalam memecahkan masalah tersebut. Mau
seperti apa cara kami mengajar, agar membuat siswa nyaman dan semangat untuk
belajar.
Sayangnya tidak semua idealisme yang kami rancang dapat terwujud. Kami
masih dibatasi oleh Guru Pamong (GP) dan Kurikulum pendidikan. Dalam mengajar
kami berada di bawah bimbingan GP yang terkadang menuntut kami agar siswa tetap
melaksanakan tugas darinya. Sebelum mengajar kami juga dituntut untuk bisa
mengajarkan siswa dari halaman sekian sampai halaman sekian. GP juga tidak
dapat disalahkan sepenuhnya. Mereka juga dituntut oleh kurikulum karena waktu
yang terbatas tetapi masih banyak yang harus dicapai oleh siswa. Seperti materi
yang harus sudah dicapai sebelum ujian tiba.
Alhasil pendidikan kita hanya berorientasi pada ujian dan melihat hasil
dari nilai ujian yang diperoleh siswa. Bukan dari proses dan makna pembelajaran
yang siswa dapatkan di ruang kelas. Maka tidak heran bila masih banyak siswa
yang berusaha mencontek saat ulangan agar mendapatkan nilai bagus.
Kita memang baru bisa mengetahui bagaimana kondisi masyarakat dengan terjun
langsung ke lapangan. Salah seorang siswa pernah mengeluh kepada teman saya
saat sedang mengajar, dia merasa bahwa siswa di sekolah sama seperti karyawan
di kantor bahkan lebih parah. Mereka berangkat lebih pagi, pulang sore dan
masih harus mengikuti bimbel tetapi malamnya juga harus mengerjakan tugas.
Tugas yang diberikan juga bukan hanya dari satu atau dua mata pelajaran saja.
Maka tak heran bila ada siswa yang mengerjakan tugas mata pelajaran tertentu
saat pelajaran lain. Mereka juga dikejar target dengan banyaknya tugas.
Ketika saya dan beberapa teman saya mengajar Bahasa Jerman di kelas, tidak sedikit siswa Kelas
XI yang masih belum mengerti Bahasa Jerman yang sudah dipelajari di kelas X
atau yang belum lama diajarkan. Alasannya beragam, karena mereka tidak mengerti
yang telah diajarkan GP, bahasanya yang sulit dipelajari, atau karena mereka
tidak menyukai Bahasa Jerman. Kalau masalahnya sudah tidak suka, kami tidak
bisa memaksakan. Saya jadi teringat sekolah dalam buku Toto Chan, sekolah yang
memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih pelajaran yang mereka sukai.
Sayangnya pendidikan di Indonesia belum bisa seperti itu.
Melihat permasalahan tersebut, kami sebagai Guru magang menjadi iba dan memiilki
rasa tanggung jawab untuk memperbaiki keadaan siswa setidaknya menjadi sedikit
lebih baik. Kami ingin siswa bisa memahami dan menyukai Bahasa Jerman ketika
kami ajarkan. Dapat menikmati proses pembelajaran dan menemukan kenyamanan
dengan Bahasa Jerman. Tidak masalah mengerjakan tugas sendiri atau bersama,
yang terpenting mereka bisa mengerjakan sendiri tanpa menyontek saat ulangan.
Jauh dilubuk hati kami, kami menginginkan perubahan pendidikan atau
kurikulum di Indonesia yang lebih memanusiakan manusia. Bukan hanya sekedar
menjadikan siswa memiliki kemampuan untuk menjawab soal-soal ujian, lulus ujian
dengan nilai tinggi, dan diterima di universitas favorit. Tetapi juga
menghargai proses belajar dan makna kehidupan dari pembelajaran tersebut.
memang belum banyak yang bisa kami lakukan sebagai mahasiswa, tetapi untuk
mencapai itu semua kami berusaha dengan mengerahkan tenaga dan pikiran dengan
memberikan materi menggunakan metode dan media yang menarik minat belajar
mereka.
Selanjutnya aku hanya bisa berharap pendidikan Indonesia bisa menjadi lebih
baik dan mencetak calon pemimpin masa depan yang cerdas akhlak dan akalnya.
Semoga.
0 komentar:
Posting Komentar