Sebenarnya artikel yang ingin saya ajukan untuk Kajian Pilihan LKM UNJ rabu lalu (25/9) kemarin adalah artikel ini. Artikel yang lebih menekankan masalah akibat uang kertas, bukan masalah nilai instrinsik antara uang kertas dan uang logam. Tapi karena Kepala Divisi Kajian beranggapan tulisan ini kurang fokus, saya juga mengakui hal itu. Akhirnya dengan segala keterbatasan pengetahuan saya tentang ekonomi terutama terkait politik uang, kajian yang saya bawa kemarin cukup alot.
Yaaah, setidaknya jadi pelajaran untuk lebih melakukan analisa yang cukup untuk menyampaikan sesuatu. berikut adalah tulisan yang saya maksud.
Entah mengapa ilustrasi buku itu tentang kisah Pulau Sukus dan Takus serta
Gago dan Sago membuat saya berkhayal tentang penggambaran orang-orang yang
berada di pulau-pulau Indonesia yang kedatangan Belanda sebagai penjajah yang
mengenalkan mereka dengan uang kertas (fiat money). Dengan iming-iming
yang mengiurkan diawal, uang kertas yang tiada artinya dapat mengganti koin
emas dan dengan sistem setannya itu membuat kehidupan mereka yang tadinya
makmur dan saling tolong menolong menjadi sengsara dan individualisme untuk
merebut kekayaan.
Well, tentang bagaimana uang itu
akhirnya dapat mengelincirkan kehidupan kekeluargaan kita, dapat dibaca pada artikel Uang Kertas, Menguntungkan atau Merugikan?. Tapi, lihatlah
realita kehidupan kita sekarang. Atau mungkin yang lebih dekat, lihat diri kita
sendiri. Karena himpitan ekonomi, kita sering mengesampingkan kepentingan orang
lain karena khawatir kehabisan uang. Khawatir tak bisa makan dan khawatir
kebutuhan lain tak terpenuhi. Padahal belum tentu jika kehabisan uang kita akan
mati besok. Tuhan pasti tak akan pernah membiarkan hal itu, Dia pasti akan
kirim bantuan dari arah yang tak disangka jika kita rela berbagi.
Kita menjadi kikir karena takut miskin. Kita takut berbagi pada orang lain
karena takut kita tak bisa menikmati itu semua. Karena kebutuhan yang tak
terbatas tapi alat pemuasnya yang terbatas maka ekonomi menyebutkan ini sebagai
masalah. Dan benar menjadi masalah karena kita menjadi saling sikut pada
manusia lain untuk kepentingan pribadi.
Selain itu, karena alasan keuangan pula, mereka rela lingkungan menjadi
rusak karena mereka ingin menjual pohon-pohon untuk ditebang secara membabi
buta. Mereka tak memikirkan bagaimana nasib lingkungan yang menjadi tempat
mereka tinggal saat ini untuk masa depan saat tua atau untuk anak cucu mereka
di masa depan nanti. Pohon diciptakan memang memiliki manfaat dan kita
manfaatkan tapi jika dilakukan dengan tidak bertanggung jawab maka akan kita
rasakan hasil buruknya di tahun-tahun mendatang.
Gotong royong yang menjadi budaya bangsa seakan memudar disapu gelombang
ekonomi. Bahkan menjadi lebih parah jika
dapat menyapu daya berpikir bangsa yang akhirnya selalu menurut pada
orang lain yang memiliki kuasa dan tak percaya pada kemampuan negara serta
bangsa.
Pemerintah yang katanya menjadi wakil rakyat tak ubahnya bagaikan lintah
darat. Karena memang mereka dalam hal ini negara kita telah menjadi korbannya
terlebih dahulu oleh bangsa asing. Karena tak sanggup membayar utang akibat
krisis tahun 1997, maka aset negara menjadi jaminannya. Maka lenyap perlahan
aset negeri ini ke tangan mereka sang penguasa kapital.
Kekayaan alam yang akhirnya harus dikelola oleh perusahaan asing dan kita
hanya mendapatkan keuntungan yang sangat kecil. Keuntungan besar dirah oleh
mereka sang penjajah berjas hitam. Pemerintah pun tak bisa berbuat banyak dan
hanya bisa menurut apa kata tuannya. Kita menjadi bangsa manja dan bangsa yang
tak percaya pada kemampuan bangsa. Alhasil, kita menjadi budak di negeri
sendiri atas kekayaan sendiri.
Kebutuhan pokok melambung naik tapi tak bisa menyejahterahkan produsen
negerinya yang sejatinya adalah orang pribumi. Seperti kasus harga kedelai yang
naik tapi ternyata petaninya tak dapat untung dari naiknya harga tersebut.
Tentu ini ulah pemerintah yang mengatur harga. Tak lebih untuk kepentingan
perut mereka sendiri dan membiarkan perut rakyat menjerit karena tak
berpenghasilan.
Banyaknya pengemis, pengamen, penjambret, maling, hingga pedagang yang
berbuat curang agar dagangannya laris hadir karena lagi lagi himpitan ekonomi
yang mencekik leher mereka dan selalu membuat pertunjukkan seni di perut mereka
(baca: keroncongan). Mereka kebingungan harus berbuat apa untuk memenuhi
kebutuhan, akhirnya hal-hal yang mereka tahu itu buruk untuk orang lain dan
bahkan diri mereka sendiri di belakangan hari, mereka kerjakan.
Betapa ekonomi seakan begitu menyengsarakan dan hanya menyuburkan sebagian
orang saja. Jika melihat banyak mobil di Jakarta hingga membuat macet selalu
jadi makanan sehari-hari tentu menunjukkan banyak orang kaya di Indonesia. Tapi
tak sedikit pula mereka yang tinggal di pinggir rel kereta api, harus tidur di
trotoar, bahkan rela mengantri dan berdesakan hanya untuk uang Rp 20.000,00.
Hanya bertolak pada agama untuk mereka yang masih percaya dan tak takut
miskin yang mau saling berbagi. Saling menolong sesama manusia tanpa
mempedulikan nasib sendiri, walau kemerdekaan mereka seakan direnggut. Tapi
mereka tahu bahwa siapa yang menolong orang lain, pasti ia akan ditolong. Serta
pikiran jika orang lain senang, maka ia akan senang dan menjadi bangsa yang
senang.
23:31
12/09/13
Nurul Izza
0 komentar:
Posting Komentar