Minggu, 29 September 2013

Uang Lagi


Sebenarnya artikel yang ingin saya ajukan untuk Kajian Pilihan LKM UNJ rabu lalu (25/9) kemarin adalah artikel ini. Artikel yang lebih menekankan masalah akibat uang kertas, bukan masalah nilai instrinsik antara uang kertas dan uang logam. Tapi karena Kepala Divisi Kajian beranggapan tulisan ini kurang fokus, saya juga mengakui hal itu. Akhirnya dengan segala keterbatasan pengetahuan saya tentang ekonomi terutama terkait politik uang, kajian yang saya bawa kemarin cukup alot. 

Yaaah, setidaknya jadi pelajaran untuk lebih melakukan analisa yang cukup untuk menyampaikan sesuatu. berikut adalah tulisan yang saya maksud.

Entah mengapa ilustrasi buku itu tentang kisah Pulau Sukus dan Takus serta Gago dan Sago membuat saya berkhayal tentang penggambaran orang-orang yang berada di pulau-pulau Indonesia yang kedatangan Belanda sebagai penjajah yang mengenalkan mereka dengan uang kertas (fiat money). Dengan iming-iming yang mengiurkan diawal, uang kertas yang tiada artinya dapat mengganti koin emas dan dengan sistem setannya itu membuat kehidupan mereka yang tadinya makmur dan saling tolong menolong menjadi sengsara dan individualisme untuk merebut kekayaan.

Well, tentang bagaimana uang itu akhirnya dapat mengelincirkan kehidupan kekeluargaan kita, dapat dibaca pada artikel Uang Kertas, Menguntungkan atau Merugikan?. Tapi, lihatlah realita kehidupan kita sekarang. Atau mungkin yang lebih dekat, lihat diri kita sendiri. Karena himpitan ekonomi, kita sering mengesampingkan kepentingan orang lain karena khawatir kehabisan uang. Khawatir tak bisa makan dan khawatir kebutuhan lain tak terpenuhi. Padahal belum tentu jika kehabisan uang kita akan mati besok. Tuhan pasti tak akan pernah membiarkan hal itu, Dia pasti akan kirim bantuan dari arah yang tak disangka jika kita rela berbagi.

Kita menjadi kikir karena takut miskin. Kita takut berbagi pada orang lain karena takut kita tak bisa menikmati itu semua. Karena kebutuhan yang tak terbatas tapi alat pemuasnya yang terbatas maka ekonomi menyebutkan ini sebagai masalah. Dan benar menjadi masalah karena kita menjadi saling sikut pada manusia lain untuk kepentingan pribadi.

Selain itu, karena alasan keuangan pula, mereka rela lingkungan menjadi rusak karena mereka ingin menjual pohon-pohon untuk ditebang secara membabi buta. Mereka tak memikirkan bagaimana nasib lingkungan yang menjadi tempat mereka tinggal saat ini untuk masa depan saat tua atau untuk anak cucu mereka di masa depan nanti. Pohon diciptakan memang memiliki manfaat dan kita manfaatkan tapi jika dilakukan dengan tidak bertanggung jawab maka akan kita rasakan hasil buruknya di tahun-tahun mendatang.

Gotong royong yang menjadi budaya bangsa seakan memudar disapu gelombang ekonomi. Bahkan menjadi lebih parah jika  dapat menyapu daya berpikir bangsa yang akhirnya selalu menurut pada orang lain yang memiliki kuasa dan tak percaya pada kemampuan negara serta bangsa.

Pemerintah yang katanya menjadi wakil rakyat tak ubahnya bagaikan lintah darat. Karena memang mereka dalam hal ini negara kita telah menjadi korbannya terlebih dahulu oleh bangsa asing. Karena tak sanggup membayar utang akibat krisis tahun 1997, maka aset negara menjadi jaminannya. Maka lenyap perlahan aset negeri ini ke tangan mereka sang penguasa kapital.

Kekayaan alam yang akhirnya harus dikelola oleh perusahaan asing dan kita hanya mendapatkan keuntungan yang sangat kecil. Keuntungan besar dirah oleh mereka sang penjajah berjas hitam. Pemerintah pun tak bisa berbuat banyak dan hanya bisa menurut apa kata tuannya. Kita menjadi bangsa manja dan bangsa yang tak percaya pada kemampuan bangsa. Alhasil, kita menjadi budak di negeri sendiri atas kekayaan sendiri.

Kebutuhan pokok melambung naik tapi tak bisa menyejahterahkan produsen negerinya yang sejatinya adalah orang pribumi. Seperti kasus harga kedelai yang naik tapi ternyata petaninya tak dapat untung dari naiknya harga tersebut. Tentu ini ulah pemerintah yang mengatur harga. Tak lebih untuk kepentingan perut mereka sendiri dan membiarkan perut rakyat menjerit karena tak berpenghasilan.

Banyaknya pengemis, pengamen, penjambret, maling, hingga pedagang yang berbuat curang agar dagangannya laris hadir karena lagi lagi himpitan ekonomi yang mencekik leher mereka dan selalu membuat pertunjukkan seni di perut mereka (baca: keroncongan). Mereka kebingungan harus berbuat apa untuk memenuhi kebutuhan, akhirnya hal-hal yang mereka tahu itu buruk untuk orang lain dan bahkan diri mereka sendiri di belakangan hari, mereka kerjakan.

Betapa ekonomi seakan begitu menyengsarakan dan hanya menyuburkan sebagian orang saja. Jika melihat banyak mobil di Jakarta hingga membuat macet selalu jadi makanan sehari-hari tentu menunjukkan banyak orang kaya di Indonesia. Tapi tak sedikit pula mereka yang tinggal di pinggir rel kereta api, harus tidur di trotoar, bahkan rela mengantri dan berdesakan hanya untuk uang Rp 20.000,00.

Hanya bertolak pada agama untuk mereka yang masih percaya dan tak takut miskin yang mau saling berbagi. Saling menolong sesama manusia tanpa mempedulikan nasib sendiri, walau kemerdekaan mereka seakan direnggut. Tapi mereka tahu bahwa siapa yang menolong orang lain, pasti ia akan ditolong. Serta pikiran jika orang lain senang, maka ia akan senang dan menjadi bangsa yang senang.

23:31
12/09/13

Nurul Izza

0 komentar:

Posting Komentar