Hari ini begitu
bergelora seceria suasana hati seorang gadis yang akan memulai petualangan baru
dalam hidupnya. Matahari pagi ini bersinar seakan ikut menyambut perjalanan
gadis ini. Tak mau
kalah kicauan burung pun ikut mengiringi langkahnya. Impiannya untuk
menjelajahi dunia yang diawali dengan menginjakkan kaki di pulau-pulau negara
tempat ia tinggal di mulai hari ini.
Di mulai dari yang terdekat dan yang terjangkau oleh kantong mahasiswanya.
Perjalanan ala backpacker mengelilingi bumi nusantara.
Lisa, gadis berkerudung yang punya impian untuk mengelilingi dunia ini
ingin memulai petulangannya selama libur kuliah di semester 3. Selama di
semester 3 inilah ia sisihkan uang sakunya untuk mengawali impian besarnya ini
dengan menyusuri kota-kota di Indonesia terlebih dahulu, terutama di Pulau
Jawa.
Gadis yang lahir dari keluarga sederhana ini tak muluk-muluk untuk bisa
langsung ke luar negeri karena baginya Indonesia memiliki banyak keindahan alam
dan budaya yang harusnya dikunjungi terlebih dahulu. Sehingga ketika ia berada
di negeri orang nanti, ia bisa ceritakan kepada mereka bahwa negerinya begitu
indah, tak kalah dengan negeri mereka.
Perjalanan pertama Lisa dimulai dari kota terdekat dari tempat kelahirannya,
yaitu Bandung. Bukan karena ia belum pernah ke Bandung, tetapi karena ia
mengunjungi teman dekatnya sewaktu di SMA yang berkuliah di sana dan juga ingin
mengunjungi pamannya yang tinggal di sana. Ia manfaatkan keberadaan teman dan
pamannya di kota Lembang itu sebagai tempat bermalam gratis.
Lisa hanya 3 malam 4 hari berada di Bandung. Satu malam ia habiskan
menginap di tempat kost sahabatnya, Vina. 2 malam setelahnya ia bermalam di
rumah pamannya. Selama di Bandung, ia tidak mengunjungi tempat rekreasi atau
tempat bersejarah. Untuk perjalannanya pertama ini ia hanya ingin merasakan
atmosfer mahasiswa di Bandung dan suasana perumahan di kota ini.
Perjalanannya ini memang bukan utnuk berjalan-jalan menikmati hal-hal
menarik di dalam kota. Melainkan ada misi dari kegagalan impiannya di masa
lalu.
Setelah ia merasa cukup berada di Kota Bandung, ia segera pamit kepada
Pamannya untuk melanjutkan perjalanannya Ke Jawa Timur. Dari Jawa Barat ia
langsung bertolak ke Jawa Timur bukan tanpa alasan. Ia ingin ke suatu tempat
yang telah ia impikan sejak lama. Yaitu sebuah pesantren yang cukup tersohor
seantero negeri karena para santri dan santriwatinya yang bisa menguasai dua
bahasa asing. Bahasa Arab dan Inggris.
Sejak SD dan SMP ia berharap bisa bersekolah di pesantren namun orang
tuanya tak memiliki biaya yang cukup untuk menyekolahkannya di sana. Akhirnya
ia melanjutkan sekolahnya di Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah
(MA).
Pagi ini, Lisa akan pamit kepada Pamannya untuk berangkat ke sana. “Paman,
Lisa mau pamit ya,” kata Lisa sambil mengeluarkan ranselnya dari kamar.
“Loh, cepat sekali, kamu ga betah di sini?” Pamannya yang asik menonton tv
langsung membalikkan badannya ketika mendengar suara Lisa.
“betah kok, Paman. Cuma Lisa mau pergi ke Ngawi mau ke Pesantren Darul
Hikmah,” Jawab Lisa.
“Kamu mau Ngapain di sana? Memangnya boleh kamu menginap disana bukan
sebagai santriwati?”
“Boleh, Lisa nantinya datang sebagai tamu di sana. Lisa mungkin hanya 3
hari saja, Paman.”
“Kamu sudah bilang orang tuamu belum?”
tanya pamannya memastikan.
“Sudah Paman, mereka sudah izinkan Lisa untuk pergi kok.”
“Yasudah kalau begitu yang penting kamu jaga diri dan hati-hati selama di
perjalanan. Jangan sungkan hubungi paman kalau ada apa-apa ya. Ini untuk di
perjalanan,” Ucap Pamannya seraya memberikan uang untuk Lisa. Awalnya Lisa
sempat menolak karena ia tak enak hati untuk mengambilnya dan karena ia merasa
sudah merepotkan pamannya selama di Bandung. Tapi karena pamannya memaksa
akhirnya uang itu ia terima juga.
Lisa melanjutkan perjalanan. Ditemani pamannya yang akan mengantarnya ke
Terminal Leuw Panjang dengan motor. “Kamu nanti naik bus apa?” pamannya
bertanya sambil terus mengen-darai motor. “Naik bus Rosalina Indah tujuan
Magetan, Paman. Kata teman nanti busnya lewat pesantren dan bisa langsung turun
di depannya,” jawab Lisa.
Tiba di terminal Lisa langsung membeli tiket tujuan Magetan untuk hari itu
juga. Beruntunga ia mendapat bus yang lima menit lagi akan berangkat karena
satu penumpang yang memba-talkan keberangkatnya tadi pagi.
Segera ia menuju bus yang akan mengantarnya menuju pesantren impiannya. Bus
melaju, ia pun melambaikan tangannya ke arah pamannya yang setia menunggu
sambil bus itu berlalu. Lisa tak bisa berhenti tersenyum ia senang telah
mengunjungi Vina dan Paman tersayangnya. Terlebih perjalanan selanjutnya yang
begitu ia nantikan.
Bus terus melaju dengan kecepatan sedang. Melewati jalan tol yang tidak
terlalu ramai. Pemandangan di jalan pun begitu menyegarkan mata Lisa.
Dilihatnya sawah yang terbentang luas. Betapa ia bersyukur karena bisa melihat
sawah yang hijau. “Semoga sawah-sawah ini tetap menjadi sawah dan tak akan ada
bangunan yang akan menggantikan keindahan hijau ini,” Lisa membatin. Tak hanya
sawah, hutan-hutan pun ia lewati.
Perjalanan Lisa membutuhkan waktu sehari semalam untuk mencapai tempat
tujuannya. Ia habiskan waktu selama di perjalanan dengan membaca buku dan
mendengarkan musik. Tak terasa dalam waktu tiga jam ia akan sampai. Tapi
semakin mendekati tujuan justru rasa kantuknya baru muncul. Memang semalaman ia
sulit memejamkan mata karena terlalu berse-mangat dengan perjalanannya itu.
Namun tak hanya semangat, ketika melewati hutan ia sulit tidur karena merasa
ada sesuatu hal yang aneh.
Akhirnya terpejamlah mata Lisa. Bus pun terus melaju.
Seorang laki-laki menguncangkan pelan badan Lisa, seraya berkata, “Mba,
bangun sudah sampai.” Lisa pun terbangun dan melihat bahwa langit sudah cerah
bertanda ini sudah pagi. Ia pun terhenyak ketika mendapati dirinya sudah berada
di Terminal. Laki-laki yang membangunkan Lisa pun langsung pergi ketika ia
terbangun. Lisa kaget bukan kepalang lantaran ia berada di terminal, berarti ia
berada di Magetan saat ini.Kota Ngawi yang menjadi tujuannya sudah pasti telah
terlewat.
“Bapak kalau dari sini mau ke Ngawi, jauh ya pak?” tanya Lisa kepada
Kondektur bus yang tadi ia tumpangi.
“Jauh Mba, sekitar 3 jam. Tadi kenapa tidak turun di Ngawi? Padahal tadi
saya sudah teriaki loh Mba” tanya pak Kondektur itu.
“Saya ketiduran tadi, Pak. Kira-kira kalau ke sana naik bus apa ya?”
“Naik bus ini saja, Mba,” jawab Pak Kondektur itu sambil menunjuk bus besar
bewarna kuning.
“Terima kasih ya, Pak,” Lisa pun berlalu menuju bus yang ditunjuk Pak
Kondektur tadi. Namun dilihatnya tak ada sopir di sana dan hanya 2 orang
penumpang yang duduk terpisah. Ia berpikir bahwa mungkin saja bus ini sedang ngetem menunggu penumpang hingga terisi
penuh. Karena ia tak mau menunggu terlalu lama di dalam bus, ia memutuskan
untuk pergi mencari makanan untuk sarapan.
Ia pun memilih bubur ayam untuk sarapannya. Ketika ia mengeluarkan dompet
tiba-tiba seorang lelaki berkulit coklat datang menghampirinya. Lalu ia rebut
dompetnya yang berada di tangannya itu. Ia pun langsung berteriak dan
orang-orang sekitar sontak langsung berlari mengejar pencopet itu.
Namun rejeki tidak berpihak pada Lisa saat ini. Para pengejar copet itu
gagal mengejarnya. Alhasil, ia tak memiliki uang untuk melanjutkan perjalananya
ke Ngawi. Dengan penuh perasaan sedih, ia berjalan menuju musholla terminal.
Ia duduk di teras Musholla sambil menangis karena uang dan handphone berada di dalam dompetnya itu.
Seorang gadis kecil pun menghampirinya. “Kakak kenapa?” tanya gadis itu dengan
logat jawa yang kental sambil duduk di sebelah kirinya. “Dompet kakak tadi
dicopet, dek,” jawab Lisa seraya menyeka air matanya.
“Kakak jangan sedih ya ka. Nanti pasti Allah ganti,” gadis polos ini
mencoba menghibur Lisa dan ia pun hanya bisa tersenyum. “Namamu siapa, dek?”
tanya Lisa. “Rima, kalau kakak?” “Nama kakak Lisa.”
“Kakak ikut aku yuk, ketemu guru ngaji aku. Siapa tau ibu guruku bisa
membantu kakak,” ajak Rima. Dengan agak ragu Lisa akhirnya mengikuti ajakan
gadis kecil berkulit sawo matang ini.
Setelah berjalan agak jauh , akhirnya mereka tiba di sebuah rumah sederhana
yang terbuat dari bilik bambu. Rumah sederhana ini tidak memiliki tapi di
sebelah kanan rumah itu terdapat pohon mangga yang cukup besar. Mereka
berduapun mengetuk pintu setelah melewati pagar.
Keluarlah seorang wanita cantik berkulit putih menggunakan jilbab merah
marun. “Eh ada Rima, Rima sama siapa?” sambut wanita ini setelah melihat Rima
dan Lisa berada di hadapannya.
“Ini Kak Lisa, bu. Tadi kakak ini dompetnya kecopetan di terminal,” jelas
Rima.
“Astaghfirullah, mari masuk dulu kalau begitu,” ajak Ibu Guru.
Setelah duduk, Lisa pun menceritakan mengapa dirinya bisa sampai di Magetan
dan akhirnya kecopetan. Ibu Guru itu pun akhirnya menyuruh Lisa untuk bermalam
beberapa hari di rumahnya. Lisa pun tak ada pilihan lain karena ia tidak
mempunyai sepeser uang untuk kembali ke rumah.
“Ibu Guru ini mengajar di tempat Rima bersekolah ya?” tanya Lisa penasaran
karena ketika ia tanya pada Rima, ia tak mau memberitahu, biar Ibu Guru yang
cerita saja katanya.
“Memang Rima tadi tidak cerita toh?” tanya ibu Guru dengan logat jawa yang
hampir mirip dengan Rima. “Dia tidak mau bu, katanya biar ibu saja yang
cerita,” jelas Lisa sambil tertawa.
“Dasar Rima ini,” tawa ibu Guru sambil membelai kepala Rima yang duduk di
sebelah kirinya. “Ibu sebenarnya tidak mengajar di sekolah. Ibu ini dulu pindah
dari kecamatan sebelah dan memutuskan untuk mengaji Rima dan teman-temannya di
sini. Tapi karena ibu tahu ternyata mereka belum bisa baca dan tulis, saya
memutuskan untuk mengajar mereka baca dan tulis di balai desa. Tidak hanya
anak-anaknya saja, orang tua mereka juga ada yang ikut belajar bersama. Dan
mereka lebih senang memanggil saya dengan sebutan Ibu Guru” jelas ibu Guru.
“kalau begitu, bolehkah saya ikut membantu ibu mengajar mereka selama saya
di sini?” tanya Lisa bersemangat. “Oh, tentu boleh, ibu justru senang sekali
ada yang membantu,” jawab Ibu Guru gembira. “Nanti sore kamu bisa ikut ibu ke
balai desa untuk mulai mengajar,” lanjut Ibu Guru
Wajah Lisa yang tadi sedih akibat kecopetan, berubah menjadi cerah karena
ia bisa membantu Ibu Guru untuk mengajar warga desa setempat. Lisa memberanikan
diri untuk meminta tolong Ibu Guru untuk menghubungi orang tuanya bahwa ia
sudah sampai di Jawa Timur. Ia tidak mau menceritakan apa yang terjadi pada
dirinya, khawatir orang tuanya akan mencemaskannya. Ia pun berpesan bahwa
selama beberapa hari ke depan ia tidak bisa dihubungi dengan alasan handphone selama berada di Jawa Timur
tidak bisa di hubungi.Orang tuanya menganggap bahwa Lisa sudah tiba di
pesantren dan peraturan di sana tidak mengizinkan Lisa menggunakan handphone.
***
Seminggu sudah Lisa berada di Magetan. Ia begitu menikmati suasana di sana
dan mulai berbaur dengan warga desa. Ibu Guru yang tinggal sendiri di rumahnya
itu pun sudah menganggap Lisa seperti anaknya sendiri. Selain membantu Ibu Guru
mengajar, Lisa juga membantu menjaga kios Ibu Guru yang memiliki di pasar dekat
kampung tersebut. Keberadaan Lisa sangat bermanfaat untuk Ibu Guru dan warga
desa. Sesekali ia sempat ikut kerja bakti yang diadakan kampung itu.
Lisa juga menjadi begitu akrab dengan Rima. Rima suka sekali mengajak Lisa
jalan-jalan ke sekitar kampung dan bermain bersama.
Sampai di suatu malam tiba-tiba ia teringat orang tuanya saat sedang sholat
isya berjamaah dengan Ibu Guru. Setelah selesai sholat dan mencium tangan Ibu
Guru, buru-buru ia merapikan sajadah. Ia langsung menuju kamar karena tiba-tiba
ia tak bisa membendung air matanya. Ibu Guru pun heran melihat tingkah Lisa
yang tidak biasanya.
Akhirnya Ibu Guru pun masuk ke kamar Lisa. “Ada apa denganmu, nduk?” tanya
Ibu Guru sambil mengusap-usap kaki Lisa yang sedang tengkurap. Lisa pun segera
membalikkan badan dan bangun, “tidak apa-apa kok, Bu Guru.”
“Kamu jangan bohong, pasti ada sesuatu yang kamu pikirkan, toh?” tanya Ibu
Guru dengan penuh keibuan.
“Saya rindu orang tua saya di Jakarta, bu,” akhirnya Lisa menceritakan
kerinduannya pada orang tuanya.
“Kamu ingin pulang ke Jakarta?”
“Ia, bu tapi saya masih betah di sini dan senang dengan orang-orang di
kampung ini”
“Ibu tahu itu, tapi orang tuamu pasti merindukanmu juga. Apa kamu ingin
pulang besok?”
“Tapi saya tidak punya ongkos untuk kembali ke Jakarta, bu.”
“Tenang saja, nduk. Ibu akan belikan tiket ke Jakarta untukmu.”
“Jangan, bu. Saya semakin merepotkan ibu jadinya.”
“Ibu tidak merasa direpotkan kok,
wong kamu malah telah membantu ibu
dan warga desa ini,” Ibu Guru meyakinkan.
Lisa pun menerima tawaran Ibu Guru. Segera ia merapikan pakaiannya untuk
siap-siap berangkat besok pagi.
Pagi hari nya. Rumah Ibu Guru dipenuhi oleh anak-anak dan warga desa.
Mereka mendapat kabar dari Ibu Guru bahwa Lisa akan berangkat ke Jakarta.
Mereka sedih mengetahu bahwa ia akan pergi. Mereka sangat senang dengan
keberadaan Lisa dan berat hati untuk meninggalkannya. Tapi mereka juga memahami
bahwa Lisa memiliki orang tua yang pasti merindukannya.
Lisa pun berat untuk meninggalkan kampung ini. Kampung yang seakan menjadi
tempat tinggalnya yang kedua. Tempat dia bertemu dengan orang-orang yang begitu
baik dan menyayanginya seperti keluarga. Namun ia memiliki tanggung jawab
kepada orang tua dan kuliahnya, maka ia harus pergi.
Ia pergi menuju terminal diantar oleh Ibu Guru dan warga desa. Setelah
dibelikan tiket oleh Ibu Guru, warga desa rupanya telah menyiapkan buah tangan
untuknya sebagai rasa terima kasih karena telah mengajar mereka. Lisa pun
menerimanya dan mengucapkan terima kasih kepada mereka. Namun ia mencari Rima
seorang gadis kecil yang juga telah menolongnya. Tapi rupanya ia tidak ada.
Kepada Ibu Guru dan warga desa ia berkata, “terima kasih telah memberikan
saya tempat tinggal, kasih sayang serta pelajaran berharga, Bu. Saya tidak akan
melupakan jasa ibu yang telah menolong saya dan juga warga desa yang telah
memberikan pelajaran yang begitu berharga tentang kehidupan. Insya Allah jika
saya ada kesempatan, saya akan berkunjung lagi.”
Setelah menyalami Ibu Guru dan warga desa, ia pun akhirnya menaiki bus yang
akan mengantarkannya pulang.
Bus berjalan. Ia melambaikan tangannya kepada Ibu Guru dan warga desa, dan
Rima pun baru muncul di depan Ibu Guru sambil menangis dan melambaikan tangan
ke arahnya.
0 komentar:
Posting Komentar