Tidak dapat disangsikan lagi bahwa Indonesia adalah
negara dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia. Dengan jumlah tersebut,
saat ini umat Islam di Indonesia terlihat begitu mencintai agamanya. Hal ini
terlihat dari banyaknya pengajian-pengajian yang dipenuhi oleh umat islam baik
dari yang muda maupun yang tua. Serta munculnya jajaran para da’i terkenal yang
melambung bak selebritis, hingga embel-embel bisnis dan media yang disandingkan
dengan nama Islam untuk menarik minat umatnya di Indonesia.
Namun, sayangnya kenyataan ini masih belum bisa mengubah
keadaan sosial umat islam sesungguhnya. Bahkan keadaan tersebut cenderung
terlupakan akibat kurang tepatnya persepsi agama yang dianggap hanya sekedar
berorientasi pada perbaikan individu saja. Hal inilah yang coba diangkat Eko Prasetyo
dalam bukunya Astaghfirullah: ISLAM Jangan
Dijual!. Dengan sangat kritis ia mencoba menyadarkan pembaca melalui
fenomena umat Islam di Indonesia yang terjadi saat ini.
Dimulai dari Pemerintah yang kehilangan powernya untuk
mengurusi kepentingan sosial akibat para pejabatnya yang lebih membela
perusahaan asing ketimbang rakyatnya sendiri yang menderita. Seperti kasus PT
Freeport yang menggunakan tenaga pekerja dalam negeri namun penghasilan yang
didapat Indonesia tak lebih dari 2% hingga permasalah lumpur panas ulah Lapindo
Berantas yang saat ini kasus ganti ruginya jadi hilang kendali pemerintah.
Ditambah lembaga sosial Islam yang mengatasnamakan
membantu bencana alam untuk rakyat jadi berubah haluan untuk kepentingan pengurus.
Memanfaatkan kedermawanan ummat dengan dalih akan disumbangkan ke jalan Allah.
Namun sayangnya kemana larinya uang umat tersebut tak ada yang tahu, lantaran
kurang terbukanya kebanyakan lembaga dengan sistem keuangan (pendapatan dan
pengeluaran).
Fenomena yang terjadi dalam buku terbitan tahun 2007
nyatanya seperti menceritakan keadaan umat Islam Indonesia saat ini.
Menunjukkan tak adanya perubahan yang terjadi dengan kehidupan umat. Sifat
kritis yang mulai perlahan tersapu ombak media atau karena hantaman globalisasi
yang menderu sehingga membuat umat cenderung menjadi sekuler dan menjadi pasif
dengan perubahan yang ada.
Berbeda dengan buku-buku Islam kebanyakan yang mucul
seperti motivasi dan persoalan ibadah, Eko keluar dari mainstream
tersebut dengan menghadir buku ini. Tanpa ragu ia juga mengkaitkan fenomena
tersingkirnya perhatian terhadap permasalahan sosial akibat dorongan
kapitalisme. Bahkan kehadiran para da’i menurutnya tak lepas dari kapitalisme
media.
Media yang mengangkat para da’i dan membentuknya seakan
mempunyai ilmu melebihi dari apa yang mereka miliki. Isi ceramah yang harus
disesuaikan dengan tema acara televisi dan penyampaian yang diselipi dengan
humor biasanya akan menjaring benyak peminat. Sehingga setiap pesan agama harus
selalu disesuaikan dengan selera pasar ketimbang kenyataan sosial yang
seharusnya diperbaiki bersama.
Bahkan menjadi seorang da’i di Indonesia kiranya hanya
perlu mengikuti kompetisi dan meminta masyarakat banyak-banyak mengiriminya
dukungan melalui sms. Maka jadilah ia da’i sms yang lahir melalui sms umat.
Keadaan yang sempat hilang di peredaran tapi muncul kembali dengan memanfaatkan
momentum Ramadhan seperti acara AKSI (Akademi Sahur Indosiar). Acara yang
didukung hampir semua ustadz di Indonesia terutama mereka yang duduk menjadi
juri.
Saat ini agama tak ubahnya seperti komoditi dagang yang
sangat menggiurkan ditengah negara yang memiliki jumlah populasi umat Islam
terbanyak di dunia. Kesempatan itu rupanya tak ingin dilewatkan para ustadz
dengan berbisnis, hingga Eko memberi bab dalam bukunya ini dengan judul dari Aktivis hingga Salesman.
Beberapa ustadz yang mengembangkan sayapnya menjadi
seorang yang tak hanya pandai berdakwah tapi juga sebagai entrepreneur yang menjajakan produk-produknya, dinilai Eko sebagai seorang yang justru menjerat umat menjadi
konsumtif. Serta beberapa ustadz yang ikut-ikutan menjadi model iklan untuk
mempromosikan produk yang sifatnya hanya untuk kepentingan perusahaan dan
ustadz tersebut karena pasti mendapatkan keuntungan pribadi.
Ditambah beberapa dari mereka atau lembaga yang menaungi
mereka banyak yang memasang tarif dalam setiap pertemuan. Juga seminar
keagamaan yang mengharuskan pesertanya untuk merogoh kocek dalam-dalam.
Permasalahan yang sangat disayangkan sebenarnya adalah terlihat kurang pekanya mereka
yang cenderung memperkaya diri di saat keadaan sosial yang semakin carut marut.
Maka dalam hal ini, Eko Prasetyo pun mencantumkan surat kritik yang sopan namun
menyentak hati untuk para ustadz dalam bu-kunya tersebut.
Tulisan dalam buku Eko Prasetyo lebih banyak dikaitkan
atas pemikiran para filsuf barat dengan keadaan sosial umat Islam. Beberapa
orang mungkin akan menganggap bahwa ia adalah seorang sosialis atau komunis
karena terlampau banyak memikirkan masalah sosial dan ada beberapa pemikiran
Karl Marx yang ia kutip. Walaupun kata-kata mutiara seperti hadits Nabi SAW,
perkataan para sahabat, serta ulama seperti Imam Ghazali ditampilkan di
beberapa halaman buku yang disesuaikan dengan konteks yang menjadi pembahasan
dan realitas kehidupan. Mungkin karena ia tidak mau menjadi terlalu teoritis,
ia tidak menjadikan Al-Qur’an dan Hadits untuk menjadikannya rujukan dalam
tulisan di bukunnya.
Buku ini tidak sepenuhnya berisi kritikan Eko atas umat islam
di negerinya, tapi ia juga memberikan solusi atas permasalahan yang ada seperti
mengutip pemikiran Nurcholis Majid tentang bagaimana membangkitkan etos kerja
umat islam karena keadaan perpolitikan dan perekonomian umat yang kian melemah.
Namun, agak sulit untuk membedakan mana yang menjadi solusi dengan kritikan
sang penulis.
Hal yang menarik dari buku ini adalah saat membuka lembar
pertama buku ini, kita akan disambut oleh komik jenaka yang akan terus
menghiasi buku ini. Dengan usil dan menggelitik ilustrasi tersebut memberi
bantuan tentang fenomena yang cukup miris terjadi pada umat Islam di Indonesia.
Seperti sindiran tajam yang mampu membuat kita tertawa miris. Walaupun
penempatan komik yang terkadang lebih dahulu muncul daripada wacana pembahasan,
tidak mengubah esensi pesan yang ingin disampaikan.
Judul
|
: Astaghfirullah: Islam Jangan Dijual
|
Penulis
|
: Eko Prasetyo
|
Penerbit
|
: Resist Book
|
Terbit
|
: April 2007
|
Tebal
|
: 183 Halaman
|
Harga
|
: Rp 28.000,00
|
Oleh. Nurul Izza
0 komentar:
Posting Komentar