Sabtu, 14 September 2013

Mirisnya Umat Islam Indonesia


Tidak dapat disangsikan lagi bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia. Dengan jumlah tersebut, saat ini umat Islam di Indonesia terlihat begitu mencintai agamanya. Hal ini terlihat dari banyaknya pengajian-pengajian yang dipenuhi oleh umat islam baik dari yang muda maupun yang tua. Serta munculnya jajaran para da’i terkenal yang melambung bak selebritis, hingga embel-embel bisnis dan media yang disandingkan dengan nama Islam untuk menarik minat umatnya di Indonesia.

Namun, sayangnya kenyataan ini masih belum bisa mengubah keadaan sosial umat islam sesungguhnya. Bahkan keadaan tersebut cenderung terlupakan akibat kurang tepatnya persepsi agama yang dianggap hanya sekedar berorientasi pada perbaikan individu saja.  Hal inilah yang coba diangkat Eko Prasetyo dalam bukunya Astaghfirullah: ISLAM Jangan Dijual!. Dengan sangat kritis ia mencoba menyadarkan pembaca melalui fenomena umat Islam di Indonesia yang terjadi saat ini.


Dimulai dari Pemerintah yang kehilangan powernya untuk mengurusi kepentingan sosial akibat para pejabatnya yang lebih membela perusahaan asing ketimbang rakyatnya sendiri yang menderita. Seperti kasus PT Freeport yang menggunakan tenaga pekerja dalam negeri namun penghasilan yang didapat Indonesia tak lebih dari 2% hingga permasalah lumpur panas ulah Lapindo Berantas yang saat ini kasus ganti ruginya jadi hilang kendali pemerintah.

Ditambah lembaga sosial Islam yang mengatasnamakan membantu bencana alam untuk rakyat jadi berubah haluan untuk kepentingan pengurus. Memanfaatkan kedermawanan ummat dengan dalih akan disumbangkan ke jalan Allah. Namun sayangnya kemana larinya uang umat tersebut tak ada yang tahu, lantaran kurang terbukanya kebanyakan lembaga dengan sistem keuangan (pendapatan dan pengeluaran).


Fenomena yang terjadi dalam buku terbitan tahun 2007 nyatanya seperti menceritakan keadaan umat Islam Indonesia saat ini. Menunjukkan tak adanya perubahan yang terjadi dengan kehidupan umat. Sifat kritis yang mulai perlahan tersapu ombak media atau karena hantaman globalisasi yang menderu sehingga membuat umat cenderung menjadi sekuler dan menjadi pasif dengan perubahan yang ada.

Berbeda dengan buku-buku Islam kebanyakan yang mucul seperti motivasi dan persoalan ibadah, Eko keluar dari mainstream tersebut dengan menghadir buku ini. Tanpa ragu ia juga mengkaitkan fenomena tersingkirnya perhatian terhadap permasalahan sosial akibat dorongan kapitalisme. Bahkan kehadiran para da’i menurutnya tak lepas dari kapitalisme media.

Media yang mengangkat para da’i dan membentuknya seakan mempunyai ilmu melebihi dari apa yang mereka miliki. Isi ceramah yang harus disesuaikan dengan tema acara televisi dan penyampaian yang diselipi dengan humor biasanya akan menjaring benyak peminat. Sehingga setiap pesan agama harus selalu disesuaikan dengan selera pasar ketimbang kenyataan sosial yang seharusnya diperbaiki bersama.

Bahkan menjadi seorang da’i di Indonesia kiranya hanya perlu mengikuti kompetisi dan meminta masyarakat banyak-banyak mengiriminya dukungan melalui sms. Maka jadilah ia da’i sms yang lahir melalui sms umat. Keadaan yang sempat hilang di peredaran tapi muncul kembali dengan memanfaatkan momentum Ramadhan seperti acara AKSI (Akademi Sahur Indosiar). Acara yang didukung hampir semua ustadz di Indonesia terutama mereka yang duduk menjadi juri.

Saat ini agama tak ubahnya seperti komoditi dagang yang sangat menggiurkan ditengah negara yang memiliki jumlah populasi umat Islam terbanyak di dunia. Kesempatan itu rupanya tak ingin dilewatkan para ustadz dengan berbisnis, hingga Eko memberi bab dalam bukunya ini dengan judul dari Aktivis hingga Salesman.

Beberapa ustadz yang mengembangkan sayapnya menjadi seorang yang tak hanya pandai berdakwah tapi juga sebagai entrepreneur yang menjajakan produk-produknya, dinilai Eko sebagai seorang yang justru menjerat umat menjadi konsumtif. Serta beberapa ustadz yang ikut-ikutan menjadi model iklan untuk mempromosikan produk yang sifatnya hanya untuk kepentingan perusahaan dan ustadz tersebut karena pasti mendapatkan keuntungan pribadi.

Ditambah beberapa dari mereka atau lembaga yang menaungi mereka banyak yang memasang tarif dalam setiap pertemuan. Juga seminar keagamaan yang mengharuskan pesertanya untuk merogoh kocek dalam-dalam. Permasalahan yang sangat disayangkan sebenarnya adalah terlihat kurang pekanya mereka yang cenderung memperkaya diri di saat keadaan sosial yang semakin carut marut. Maka dalam hal ini, Eko Prasetyo pun mencantumkan surat kritik yang sopan namun menyentak hati untuk para ustadz dalam bu-kunya tersebut.

Tulisan dalam buku Eko Prasetyo lebih banyak dikaitkan atas pemikiran para filsuf barat dengan keadaan sosial umat Islam. Beberapa orang mungkin akan menganggap bahwa ia adalah seorang sosialis atau komunis karena terlampau banyak memikirkan masalah sosial dan ada beberapa pemikiran Karl Marx yang ia kutip. Walaupun kata-kata mutiara seperti hadits Nabi SAW, perkataan para sahabat, serta ulama seperti Imam Ghazali ditampilkan di beberapa halaman buku yang disesuaikan dengan konteks yang menjadi pembahasan dan realitas kehidupan. Mungkin karena ia tidak mau menjadi terlalu teoritis, ia tidak menjadikan Al-Qur’an dan Hadits untuk menjadikannya rujukan dalam tulisan di bukunnya.

Buku ini tidak sepenuhnya berisi kritikan Eko atas umat islam di negerinya, tapi ia juga memberikan solusi atas permasalahan yang ada seperti mengutip pemikiran Nurcholis Majid tentang bagaimana membangkitkan etos kerja umat islam karena keadaan perpolitikan dan perekonomian umat yang kian melemah. Namun, agak sulit untuk membedakan mana yang menjadi solusi dengan kritikan sang penulis.

Hal yang menarik dari buku ini adalah saat membuka lembar pertama buku ini, kita akan disambut oleh komik jenaka yang akan terus menghiasi buku ini. Dengan usil dan menggelitik ilustrasi tersebut memberi bantuan tentang fenomena yang cukup miris terjadi pada umat Islam di Indonesia. Seperti sindiran tajam yang mampu membuat kita tertawa miris. Walaupun penempatan komik yang terkadang lebih dahulu muncul daripada wacana pembahasan, tidak mengubah esensi pesan yang ingin disampaikan.

Judul
Astaghfirullah: Islam Jangan Dijual
Penulis
Eko Prasetyo
Penerbit
: Resist Book
Terbit
April 2007
Tebal
183 Halaman
Harga
: Rp 28.000,00

Oleh. Nurul Izza



0 komentar:

Posting Komentar