Selasa, 09 Februari 2016

, ,

KKN dan Pergulatan Pikiran

Seringkali kita membayangkan hal-hal sulit yang akan kita hadapi begitu kita mendapatkan tugas di luar keinginan kita atau sesuatu hal yang menurut pemikiran kita itu sangat tidak mengenakkan. Padahal itu semua belum tentu terjadi. Bisa jadi itu hanyalah ketakutan yang kita buat oleh pikiran kita sendiri. Begitulah yang aku dan beberapa teman-teman mahasiswa alami saat harus menjalankan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Hampir sebagian benak mahasiswa menganggap KKN menjadi kegiatan yang akan hidup terisolasi di desa dan terlepas dari kenyamanan di kota, tempat kita bisa mendapatkan fasilitas dengan mudah. Ditambah lagi banyak sekali cerita-cerita, baik negatif ataupun positif dan nasehat-nasehat dari teman-teman yang sudah melakukan KKN yang membuat semangat kami kembang kempis mendengarnya.

Ketika kami akan memulai kegiatan ini, kami selalu bertanya-tanya pada diri sendiri atau mengeluh dengan sahabat. Haruskah kami melakukan KKN? Kenapa kami harus menjadi angkatan pertama yang mengikuti KKN? Kenapa kita tidak mengikuti pelatihan komputer saja supaya tidak repot sebulan meninggalkan rumah? Bagaimana kehidupan kami di desa tempat KKN nanti? Bagaimana dengan air untuk mandi? Apa yang bisa kita makan di sana? Dan hal lainnya tentang kenyamanan diri sendiri.

Namun sebagai sebuah kewajiban, KKN ini mau tak mau harus harus tetap dilaksanakan karena menjadi syarat wajib untuk lulus perkuliahan. Pihak Universitas pun membagi mahasiswanya menjadi banyak kelompok untuk ditempatkan di berbagai wilayah di daerah Bogor, Sukabumi, Banten, Subang, dan Purwakarta. Satu desa terdapat tiga kelompok dengan masing-masing terdiri dari 9-10 mahasiswa dari jurusan dan fakultas yang berbeda. Dengan kelompok inilah kami akan menghabiskan waktu selama 30 hari di desa untuk mengabdi.

Sebelum memulai masa KKN, setiap kelompok dipertemukan untuk saling berkenalan satu sama lain, membahas proker yang akan kami jalani selama di desa, dan kebutuhan apa saja yang harus dibawa. Agar proker kami sesuai dengan kebutuhan desa, beberapa orang dari kelompok kami telah melakukan survey ke tempat KKN.

Kegitan Dimulai
Untuk sebagian teman-teman KKN awal-awal kegiatan terasa lama dan berat. Baru saja tiba kami sudah menghitung hari-hari yang akan kami lalui di sini. Kami berangkat dan tiba di tempat KKN pada hari Kamis, 30 Juli 2015 di Desa Pinangsari, Subang. Kamis dan Jum’at menjadi hari kami untuk berkenalan dengan warga sekitar.

Di Desa Pinangsari, kelompok aku tinggal di dusun Gebangmalang. Di dusun ini tidak ada sekolah dasar, yang ada hanya Madrasah Diniyah (MD). Sekolah agama yang dilaksanakan di siang hari setelah anak-anak SD pulang sekolah. Warga di dusun ini menyekolahkan anak mereka di Sekolah Dasar di dusun Kedung Wungu, yang berjarak kurang lebih satu kilometer dari Gebangmalang.

Sekolah dasar ini pun sudah menjadi proker oleh kelompok KKN lain. Alhasil agar kami bisa mengajar di sekolah formal, kami harus mengajar SD di dusun lain yang jaraknya harus ditempuh dengan sepeda motor dengan jalanan yang tidak mulus. Kami mengajar hanya dua kali seminggu dan mengatur jadwal agar sepuluh orang dari kami bisa mengajar di sekolah tersebut.

Karena di dusun kami hanya ada MD, kami rutin untuk mengajar di sana setiap senin-jumat. Sore harinya kami mengajar bimbel, membantu anak-anak untuk belajar mengerjakan PR mereka, belajar mengaji, memberi tambahan ilmu lainnya seperti bahasa inggris, jerman, ataupun tari. Setiap harinya di sore hari, rumah KKN kami selalu ramai dengan anak-anak yang ingin belajar dan bermain bersama kami.

Setiap kali keluar rumah mereka selalu menyapa kami dengan riang. Warga desa juga selalu memberi kami banyak makanan dan minuman. Keramahan mereka membuat kami menjadi orang yang sangat berarti. “Gw ga pernah merasa menjadi orang yang sangat diharapkan kaya gini sebelumnya,” ujar salah satu teman sekelompok aku yang begitu senang dipanggil oleh anak-anak.

Menjadi seorang mahasiswa yang datang dari kota, orang-orang di desa menganggap kami sebagai seorang intelektual yang serba bisa dan memiliki banyak uang. Seperti cerita temanku di dusun lain yang kedatangan ibu-ibu Qosidahan untuk diajari lagu Qosidah terbaru. Aku dan teman-teman ku juga disuruh menjadi MC, membaca sholawat, dan memimpin bacaan Yasin saat pengajian ibu-ibu tiap jumatnya. Saat acara 17 Agustus tiba, kami juga dengan senang hati menerima tawaran untuk ikut serta menjadi panitia dengan menyumbangkan tenaga, ide, dan dana.

Selama menjalani KKN, mengetahui kehidupan di desa, permasalahan dan kebutuhan orang-orang di sana, aku akhirnya mengerti arti penting dari kegiatan KKN ini. Seperti perkataan Seorang pejabat P & K yang dikutip Gunawan Mohammad dalam esainya di Catatan Pinggir 1, bahwa KKN adalah cara efektif bagi mahasiswa untuk mengetahui informasi secara langsung dari masyarakat. Kehadiran mahasiswa memang dibutuhkan untuk membantu warga di desa dari segi pendidikan untuk anak-anak mereka atau ide untuk perkembangan desa. Inilah yang disebut mengabdi, mengamalkan ilmu yang kami dapatkan dari ruang kelas perkuliahan.

Sebagai mahasiswa, kami bertekad bahwa harus ada hal-hal bermanfaat yang bisa kami tinggalkan untuk desa ini melalui proker kami. Untuk anak-anak supaya mereka bisa membaca, mengaji, bisa berbahasa asing, dan mengetahui ilmu lainnya. Untuk ibu-ibu dengan kegiatan prakarya agar dan membuat plang dan penunjuk arah di desa.

30 hari KKN yang kami bayangkan ternyata tidak seburuk yang kami pikirkan. Kami masih bisa merasakan berjalan-jalan ke pasar untuk menghilangkan penat walau hanya seminggu sekali secara bergantian. Menikmati makanan yang biasa kami temukan di rumah, melihat Alfamart dan Indomaret menjadi sebuah rasa syukur. Kami pun jadi lebih pandai bersyukur begitu mendapat kiriman makanan walau hanya satu plastik telur ayam negeri.

Aku dan teman-teman KKN yang semula tidak saling kenal pun menjadi semakin dekat, saling mengerti sikap setiap orang dan saling memahami. Walau masih banyak keunekan yang akhirnya kami simpan sendiri karena khawatir kedekatan kami menjadi luntur atau sekalipun diucapkan akan menjadi tak berarti. Tak ada perubahan.

Banyak cerita dan kenangan yang akhirnya kami bawa pulang ke rumah. Celoteh dan tingkah laku anak-anak. Cinta lokasi yang terjadi. Kehangatan warga desa yang membuat kami ingin datang kembali lagi jika ada waktu. Hingga rasa bangga karena proker yang sudah kami laksanakan. Menumbuhkan kembali Qosidah di Dusun Gebangmalang yang mati suri setelah 20 tahun, mengadakan prakarya kain flanel untuk ibu-ibu, ikut berpartisipasi untuk lomba agustusan di desa maupun dusun, membuat plang jalan, dan mengajarkan ilmu-ilmu untuk anak-anak di desa.

You’ll never know until you try. Dari pengalaman ini, aku belajar, daripada terlalu banyak berpikir dan menerka apa yang akan terjadi, lebih baik jalani dan lakukan saja dengan baik. Begitu!

0 komentar:

Posting Komentar