Menjelang
Pemilu 2014, partai politik di Indonesia sudah bersiap siaga melakukan sosialisasi
kepada masyarakat. Tujuannya tentu agar masyarakat mau memilih parpol mereka
saat pemilu nanti, sehingga banyak anggota parpol mereka yang bisa duduk di
kursi pemerintahan.
Tak
hanya sosialisasi soal partai, mereka pun menyiapkan calon-calon pemimpin yang
menurut mereka mumpuni untuk melanjutkan kepemimpinan. Para calon pemimpin
tersebut pun rela mengelontorkan uang ratusan juta rupiah untuk sosialisasi
menjadi presiden. Berlomba-lomba memasang iklan baliho di jalan-jalan atau di televisi
dan melakukan aksi sosial untuk menarik perhatian masayarakat. Tak lebih agar mereka bisa terpilih menjadi pemimpin
negeri ini.
Di dalam kebanyakan benak mereka adalah betapa manisnya
hal yang akan diperoleh jika terpilih menjadi wakil rakyat. Rumah mewah, mobil
mahal untuk dinas, gaji puluhan juta rupiah, dan kawalan polisi ketika hendak
pergi ke manapun. Tak heran banyak orang yang berlomba-lomba menjanjikan
program-program menarik untuk kemajuan bangsa.
Sayangnya, manisnya jabatan ini hanya mereka lihat dari
luar saja. Padahal bila dilihat dari dalam penuh kepahitan yang berupa tanggung
jawab dunia akhirat yang tak bisa dianggap remeh. Tak khayal ketika kepemimpinan
ia dapatkan, mereka lupa dengan janji-janji mereka saat kampanye kepada rakyat
dan lebih memikirkan perut mereka sendiri dan keluarganya.
Padahal sejatinya seorang pemimpin harus menjadi pemimpin
yang adil terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Mengeluarkan uangnya bukan
untuk memperomosikan dirinya untuk menjadi pemimpin atau getol melakukan aksi
sosial hanya pada saat kampanye saja, melainkan untuk kepentingan rakyat yang
jadi prioritas utamanya. Seorang ulama pernah berkata, “Apabila seorang
pemimpin menjadi kaya (karena kepemimpinannya), maka dia adalah pencuri. Karena
seorang pemimpin dituntut mengeluarkan hartanya untuk orang yang dipimpinnya.”
Kenyataan pemimpin kita saat ini sungguh berbeda dengan
keadaan kaum muslimin terdahulu. Mereka tidak mau dipilih menjadi pemimpin
walaupun sebenarnya mampu karena mereka tahu menjadi pemimpin itu tidak enak.
Jika memang harus terpilih menjadi pemimpin, dengan terpaksa mereka menerima
kepemimpinan tersebut namun tetap berusaha menjalankan amanah kepemimpinan
dengan baik.
Salah satu contoh teladan kepemimpinan terbaik umat islam
adalah kepemimpinan Umar bin Khattab. Dalam kepemimpinannya tersebut beliau
terkenal sebagai pemimpin yang adil dan terkenal dengan kezuhudannya. Hingga
tercata dalam sejarah bahwa tiada pemimpin yang adil selain Umar bin Khattab.
Semasa beliau belum menjadi seorang pemimpin, Umar bin
Khattab adalah orang yang kaya. Namun ketika beliau menjadi Khalifah, beliau
merelakan seluruh hartanya untuk kepentingan kaum muslimin yang dipimpinnya.
Bahkan seumur hidup istri Umar bin Khattab tidak pernah
mencicipi manisan yang ia idamkan. Suatu kali istri Umar bin Khattab pernah
meminta untuk dibelikan manisan kepada Umar bin Khattab. Tapi
beliau menjawab bahwa uang belanja mereka tidak cukup untuk membelinya. Maka,
dari uang belanja yang diberikan oleh Umar bin Khattab, istri beliau
menyisihkan uang belanja setiap harinya agar bisa membeli manisan.
Ketika
uang terkumpul, dibelilah satu kotak manisan oleh istri beliau. Ketika Umar bin
Khattab masuk ke dalam rumah dan dilihatnya ada manisan, lalu beliau bertanya
kepada istrinya “dari mana kau membeli manisan ini? Bukankah uang belanja yang
kuberikan tidak cukup untuk membelinya?”
“Aku
menyisihkan uang belanja kita untuk membeli manisan ini,” jawab istrinya
“Kalau begitu ini milik kaum muslimin,” kata Umar bin
Khattab.
Lalu dibawanya manisan tersebut untuk kaum muslimin. Hari-hari
seterusnya Umar bin Khattab memotong
uang belanja istrinya karena dirasa cukup dan memberikan potongannya tersebut ke
dalam kas Baitul Mal untuk kaum muslimin.
Umar bin Khattab
semasa kepemimpinannya pun tak pernah tidur, melainkan ia ketiduran. Hal itu
karena siangnya beliau gunakan untuk mengurusi rakyatnya. Sedangkan, malamnya
adalah beliau gunakan untuk beribadah kepada Allah SWT.
Pernah suatu kali Umar bin Khattab sedang mencari
Geburnur untuk suatu daerah tapi tak satupun kaum muslimin yang mau. Hingga
beliau hunuskan pedang di leher salah seorang muslim seraya berkata, “kau tahu
menjadi pemimpin itu tidak enak, tapi kau menyuruhku untuk menjadi pemimpin
lantas kau sendiri tidak mau membantuku.” Akhirnya seorang muslim itupun dengan
terpaksa menerima kepemimpinan tersebut.
Disebutkan bahwa seseorang yang memiliki akhlak dan
nurani tidak akan mau dipilih menjadi pemimpin, karena ia tahu bahwa kepimpinan
itu bukanlah sesuatu yang nikmat. Bahkan ia menganggap bahwa dilantik menjadi
pemimpin adalah sebuah musibah.
Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah ke 8 dari Dinasti
Umayyah dan merupakan keturunan Umar
bin Khatttab melalui ibunya, yaitu Laila Ummu Asim binti Asim bin Umar bin
Khattab dan memiliki banyak kesamaan karakter dengan beliau. Ketika Umar
bin Abdul Aziz dilantik menjadi khalifah, beliau mengatakan bahwa dia mendapat
musibah. Bahkan beliau juga menangis karena memikirkan tanggung jawabnya atas
orang-orang miskin, orang tertindas, dan tanggung jawab lainnya yang harus ia
emban.
Berbeda dengan kebanyakan orang di zaman sekarang. Ketika
dilantik menjadi pemimpin mereka merasa senang, bangga, dan tak jarang
melakukan syukuran atas keberhasilannya terpilih menjadi pemimpin.
Karena kesadaran dan pemahaman ilmu serta iman yang
mendalam tentang tanggung jawab seorang pemimpin, Umar bin Abdul Aziz memimpin
dengan sangat adil seperti halnya Umar bin Khattab. Walaupun hanya dua setengah
tahun, kepemimpinan Umar mencapai banyak kemajuan dan keadilan tersebar di
mana-mana. Hingga tidaklah aneh jika melihat domba dan serigala jalan
berdampingan.
Selain terkenal dengan keadilannya dalam memimpin, Umar
bin Abdul Aziz juga terkenal dengan kejujuran dan keamanahannya. Ia tak pernah
mau menggunakan fasilitas Negara hanya untuk kepentingan dirinya atau
keluarganya. Bahkan seluruh hartanya beliau sumbangkan untuk Baitul Mal demi
kepentingan kaum muslimin ketika beliau terpilih menjadi khalifah.
Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa ketika Umar bin Abdul
Aziz sedang bekerja di ruang kantornya pada malam hari, datang putranya untuk
membicarakan masalah keluarga. Ketika itu, beliau segera memadamkan lampu
minyak yang ia gunakan sebagai penerang. Putranya pun heran melihat ayahnya
memadamkan lampu ketika ia datang. Lantas ia bertanya, “Mengapa ayah memadamkan
lampu itu?” Beliau menjawab, “Lampu minyak ini dibeli dengan uang Negara yang
berarti uang rakyat maka hanya digunakan untuk mengurusi masalah Negara dan
rakyat. Sedangkan, kau kemari untuk membicarakan masalah keluarga.”
Begitulah sikap pemimpin yang adil dan mengerti dengan
tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Bisa membedakan kepentingan pribadi dan
kepentingan untuk rakyat. mau mengabdi dengan sepenuh hati dan merelakan
seluruh hartanya untuk kepentingan rakyat.
Mungkin saat ini cukup sulit untuk menemukan seorang
pemimpin yang jujur dan adil seperti Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz.
Walaupun begitu semoga akan tumbuh dan hadir jiwa-jiwa pemimpin muslim sejati
seperti mereka berdua. Meskipun tahu beratnya tanggung jawab menjadi pemimpin,
justru dengan itu ia berusaha untuk memperbaiki keadaan dari kepemimpinan yang
rapuh oleh ketidakadilan dan ketidakjujuran.
Ditulis 5 Agustus 2013 untuk lomba
artikel cyberdakwah.com yang sayangnya belum dizinkan menang hehe
0 komentar:
Posting Komentar