Minggu, 06 April 2014

Berkaca Kepada Kepemimpinan Dua Umar

Menjelang Pemilu 2014, partai politik di Indonesia sudah bersiap siaga melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Tujuannya tentu agar masyarakat mau memilih parpol mereka saat pemilu nanti, sehingga banyak anggota parpol mereka yang bisa duduk di kursi pemerintahan.

Tak hanya sosialisasi soal partai, mereka pun menyiapkan calon-calon pemimpin yang menurut mereka mumpuni untuk melanjutkan kepemimpinan. Para calon pemimpin tersebut pun rela mengelontorkan uang ratusan juta rupiah untuk sosialisasi menjadi presiden. Berlomba-lomba memasang iklan baliho di jalan-jalan atau di televisi dan melakukan aksi sosial untuk menarik perhatian masayarakat. Tak lebih agar mereka bisa terpilih menjadi pemimpin negeri ini.

Di dalam kebanyakan benak mereka adalah betapa manisnya hal yang akan diperoleh jika terpilih menjadi wakil rakyat. Rumah mewah, mobil mahal untuk dinas, gaji puluhan juta rupiah, dan kawalan polisi ketika hendak pergi ke manapun. Tak heran banyak orang yang berlomba-lomba menjanjikan program-program menarik untuk kemajuan bangsa.

Sayangnya, manisnya jabatan ini hanya mereka lihat dari luar saja. Padahal bila dilihat dari dalam penuh kepahitan yang berupa tanggung jawab dunia akhirat yang tak bisa dianggap remeh. Tak khayal ketika kepemimpinan ia dapatkan, mereka lupa dengan janji-janji mereka saat kampanye kepada rakyat dan lebih memikirkan perut mereka sendiri dan keluarganya.


Padahal sejatinya seorang pemimpin harus menjadi pemimpin yang adil terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Mengeluarkan uangnya bukan untuk memperomosikan dirinya untuk menjadi pemimpin atau getol melakukan aksi sosial hanya pada saat kampanye saja, melainkan untuk kepentingan rakyat yang jadi prioritas utamanya. Seorang ulama pernah berkata, “Apabila seorang pemimpin menjadi kaya (karena kepemimpinannya), maka dia adalah pencuri. Karena seorang pemimpin dituntut mengeluarkan hartanya untuk orang yang dipimpinnya.”

Kenyataan pemimpin kita saat ini sungguh berbeda dengan keadaan kaum muslimin terdahulu. Mereka tidak mau dipilih menjadi pemimpin walaupun sebenarnya mampu karena mereka tahu menjadi pemimpin itu tidak enak. Jika memang harus terpilih menjadi pemimpin, dengan terpaksa mereka menerima kepemimpinan tersebut namun tetap berusaha menjalankan amanah kepemimpinan dengan baik.

Salah satu contoh teladan kepemimpinan terbaik umat islam adalah kepemimpinan Umar bin Khattab. Dalam kepemimpinannya tersebut beliau terkenal sebagai pemimpin yang adil dan terkenal dengan kezuhudannya. Hingga tercata dalam sejarah bahwa tiada pemimpin yang adil selain Umar bin Khattab.

Semasa beliau belum menjadi seorang pemimpin, Umar bin Khattab adalah orang yang kaya. Namun ketika beliau menjadi Khalifah, beliau merelakan seluruh hartanya untuk kepentingan kaum muslimin yang dipimpinnya.

Bahkan seumur hidup istri Umar bin Khattab tidak pernah mencicipi manisan yang ia idamkan. Suatu kali istri Umar bin Khattab pernah meminta untuk dibelikan manisan kepada Umar bin Khattab. Tapi beliau menjawab bahwa uang belanja mereka tidak cukup untuk membelinya. Maka, dari uang belanja yang diberikan oleh Umar bin Khattab, istri beliau menyisihkan uang belanja setiap harinya agar bisa membeli manisan.

Ketika uang terkumpul, dibelilah satu kotak manisan oleh istri beliau. Ketika Umar bin Khattab masuk ke dalam rumah dan dilihatnya ada manisan, lalu beliau bertanya kepada istrinya “dari mana kau membeli manisan ini? Bukankah uang belanja yang kuberikan tidak cukup untuk membelinya?”

“Aku menyisihkan uang belanja kita untuk membeli manisan ini,” jawab istrinya

“Kalau begitu ini milik kaum muslimin,” kata Umar bin Khattab.

Lalu dibawanya manisan tersebut untuk kaum muslimin. Hari-hari seterusnya  Umar bin Khattab memotong uang belanja istrinya karena dirasa cukup dan memberikan potongannya tersebut ke dalam kas Baitul Mal untuk kaum muslimin.

 Umar bin Khattab semasa kepemimpinannya pun tak pernah tidur, melainkan ia ketiduran. Hal itu karena siangnya beliau gunakan untuk mengurusi rakyatnya. Sedangkan, malamnya adalah beliau gunakan untuk beribadah kepada Allah SWT.

Pernah suatu kali Umar bin Khattab sedang mencari Geburnur untuk suatu daerah tapi tak satupun kaum muslimin yang mau. Hingga beliau hunuskan pedang di leher salah seorang muslim seraya berkata, “kau tahu menjadi pemimpin itu tidak enak, tapi kau menyuruhku untuk menjadi pemimpin lantas kau sendiri tidak mau membantuku.” Akhirnya seorang muslim itupun dengan terpaksa menerima kepemimpinan tersebut.

Disebutkan bahwa seseorang yang memiliki akhlak dan nurani tidak akan mau dipilih menjadi pemimpin, karena ia tahu bahwa kepimpinan itu bukanlah sesuatu yang nikmat. Bahkan ia menganggap bahwa dilantik menjadi pemimpin adalah sebuah musibah.

Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah ke 8 dari Dinasti Umayyah dan merupakan keturunan Umar bin Khatttab melalui ibunya, yaitu Laila Ummu Asim binti Asim bin Umar bin Khattab dan memiliki banyak kesamaan karakter dengan beliau. Ketika Umar bin Abdul Aziz dilantik menjadi khalifah, beliau mengatakan bahwa dia mendapat musibah. Bahkan beliau juga menangis karena memikirkan tanggung jawabnya atas orang-orang miskin, orang tertindas, dan tanggung jawab lainnya yang harus ia emban.

Berbeda dengan kebanyakan orang di zaman sekarang. Ketika dilantik menjadi pemimpin mereka merasa senang, bangga, dan tak jarang melakukan syukuran atas keberhasilannya terpilih menjadi pemimpin.

Karena kesadaran dan pemahaman ilmu serta iman yang mendalam tentang tanggung jawab seorang pemimpin, Umar bin Abdul Aziz memimpin dengan sangat adil seperti halnya Umar bin Khattab. Walaupun hanya dua setengah tahun, kepemimpinan Umar mencapai banyak kemajuan dan keadilan tersebar di mana-mana. Hingga tidaklah aneh jika melihat domba dan serigala jalan berdampingan.

Selain terkenal dengan keadilannya dalam memimpin, Umar bin Abdul Aziz juga terkenal dengan kejujuran dan keamanahannya. Ia tak pernah mau menggunakan fasilitas Negara hanya untuk kepentingan dirinya atau keluarganya. Bahkan seluruh hartanya beliau sumbangkan untuk Baitul Mal demi kepentingan kaum muslimin ketika beliau terpilih menjadi khalifah.

Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa ketika Umar bin Abdul Aziz sedang bekerja di ruang kantornya pada malam hari, datang putranya untuk membicarakan masalah keluarga. Ketika itu, beliau segera memadamkan lampu minyak yang ia gunakan sebagai penerang. Putranya pun heran melihat ayahnya memadamkan lampu ketika ia datang. Lantas ia bertanya, “Mengapa ayah memadamkan lampu itu?” Beliau menjawab, “Lampu minyak ini dibeli dengan uang Negara yang berarti uang rakyat maka hanya digunakan untuk mengurusi masalah Negara dan rakyat. Sedangkan, kau kemari untuk membicarakan masalah keluarga.”

Begitulah sikap pemimpin yang adil dan mengerti dengan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Bisa membedakan kepentingan pribadi dan kepentingan untuk rakyat. mau mengabdi dengan sepenuh hati dan merelakan seluruh hartanya untuk kepentingan rakyat.

Mungkin saat ini cukup sulit untuk menemukan seorang pemimpin yang jujur dan adil seperti Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz. Walaupun begitu semoga akan tumbuh dan hadir jiwa-jiwa pemimpin muslim sejati seperti mereka berdua. Meskipun tahu beratnya tanggung jawab menjadi pemimpin, justru dengan itu ia berusaha untuk memperbaiki keadaan dari kepemimpinan yang rapuh oleh ketidakadilan dan ketidakjujuran.

Ditulis 5 Agustus 2013 untuk lomba artikel cyberdakwah.com yang sayangnya belum dizinkan menang hehe

0 komentar:

Posting Komentar