Menyelami kehidupan di Afghanistan
Ketika travelling ke luar negeri kita pasti
cenderung memilih tempat wisata menarik seperti ke negara-negara di Eropa,
Amerika, atau Asia lainnya. Berbeda dengan kebanyakan orang, Agustinus Wibowo
justru memilih untuk travelling ke
negara-negara konflik seperti Afghanistan. Berbekal niat untuk melakukan
perjalanan ke Afrika melalui jalur darat, Agustinus melalui buku Selimut Debu
mengajak kita mengikuti petualangannya menjadi backpacker sebagai fotografer jurnalis di Afghanistan.
Agustinus
melakukan perjalanan di tahun 2006 ketika Taliban sudah tidak lagi menguasai
Afghanistan. Tetapi bukan berarti tanpa ancaman, sering kali Agustinus berada
di kota yang setiap malamnya selalu ada bom meledak seperti di kota Kabul.
Saking sering terjadinya ledakan bom, ini bukan menjadi hal yang mengkhawatir
lagi bagi warga Afgahnistan.
Berada di
Afghanistan bagaikan menembus lorong waktu ke peradaban lama. Agustinus
menyebutnya dengan dunia paralel. Di malam hari, kota di Afghanistan menjadi
gelap total.Tidak ada penerangan. Untuk berkendaraan pun butuh waktu yang lama
untuk mencapai ke kota lain. Alat angkutan di sana sangat terbatas. Sekalinya
ditemui satu angkutan, angkutan itu sudah terisi penuh oleh penumpang lainnya.
Angkutannya pun bukanlah Toyota Carry atau Toyota Kijang seperti mikrolet di
Jakarta, tetapi berupa Fallang Coach. Kendaraan yang sudah tua dan berjalan
dengan kecepatan lambat.
Di balik
keterbelakangan dan kengerian di Afghanistan, tersimpan keindahan dan keunikan negeri
ini. Orang-orang Afghanistan adalah orang-orang yang sangat menghargai tamu.
Setiap kali Agustinus menginap di rumah salah satu warganya, ia selalu dijamu
dengan baik oleh sang tuan rumah. Meskipun para wanita di sana tidak boleh
terlihat oleh tamu laki-laki, sang istri tetap menjamu dengan baik.
Keunikan di negeri ini ialah kita dapat membeli bedil yang modelnya seperti bedil buatan Amerika dengan harga yang murah. Mereka akan membuatkan bedil sesuai dengan keinginan kita dari berbagai model dan membuatnya hanya dalam hitungan hari. Tetapi jangan ditanya soal kualitasnya karena ini hanya bedil tiruan, tentu saja tidak bedil ini akan cepat rusak.
Adanya keterbelakangan Afgahnistan bukan berarti tidak ada kemewahan. Afghanistan memiliki pusat perbelanjaan dan tempat-tempat mewah. Sayangnya kemewahan ini kebanyakan dinikmati oleh orang-orang asing yang bekerja di Afghanistan. Seperti para developer dan juga orang-orang yang mengatasnamakan organisasi sosial untuk perubahan di Afghanistan yang sebenarnya tidak membawa perubahan.
Keunikan di negeri ini ialah kita dapat membeli bedil yang modelnya seperti bedil buatan Amerika dengan harga yang murah. Mereka akan membuatkan bedil sesuai dengan keinginan kita dari berbagai model dan membuatnya hanya dalam hitungan hari. Tetapi jangan ditanya soal kualitasnya karena ini hanya bedil tiruan, tentu saja tidak bedil ini akan cepat rusak.
Adanya keterbelakangan Afgahnistan bukan berarti tidak ada kemewahan. Afghanistan memiliki pusat perbelanjaan dan tempat-tempat mewah. Sayangnya kemewahan ini kebanyakan dinikmati oleh orang-orang asing yang bekerja di Afghanistan. Seperti para developer dan juga orang-orang yang mengatasnamakan organisasi sosial untuk perubahan di Afghanistan yang sebenarnya tidak membawa perubahan.
Dalam buku ini
Agustinus menulis catatan perjalanannya dengan begitu apik layaknya sebuah
novel. Ia mampu menceritakan sejarah Afghanistan yang ia akan sambungkan dengan
cerita perjalanannya tanpa terkesan dipaksakan atau menggurui. Tulisannya penuh
dengan cerita humanis orang-orang yang ia temui di sepanjang perjalanannya dan
pandangan-pandangan hidup yang ia peroleh selama perjalanan.
Seperti
keprihatinan yang ia rasakan kepada perempuan Afghanistan yang aktivitasnya
dibatasi sehingga tidak bisa hidup mandiri. Perempuan di sana hidup menjadi
tanggungan ayahnya. Ayahnya lah yang menafkahi mereka. Jika ayahnya meninggal,
maka menjadi tanggungan pamannya. Jika perempuan Afghanistan menikah, hidup
mereka akan ditanggung oleh suami. Namun jika suaminya meninggal, ia akan
menjadi tanggungan keluarganya kembali atau akan berakhir menjadi pengemis
karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk dapat hidup sendiri.
Melalui Selimut
Debu, Agustinus memberikan gambaran kehidupan di Afghanistan secara transparan,
yang baik dan juga yang buruk. Menyibak hal-hal tak terduga dan hal-hal yang menakjubkan dari negeri ini. Mengajak kita merasakan bagaimana kehidupan
masyarakat di sana. Merasakan apa yang mereka dambakan mengenai pendidikan yang
merata dan juga kehidupan yang dapat memberikan penghasilan lebih baik untuk
keluarga mereka. Serta memberikan pandangan baru mengenai
kehidupan di negeri lain yang terkenal dengan negara perang ini.
0 komentar:
Posting Komentar